Hari-hari telah berlalu, hingga sampai tiba waktunya besok Akira memberangkatkan diri. Beberapa pelaratan telah tersusun rapi dengan ransel merah bertulisan KARATE dalam huruf kanji Jepang. Di dalamnya berisi satu baju tegi, face mask, body protect, handball, dan sepatu khusus karate.
Perasaan Akira sedikit cemas memikirkan pertandingan esok yang akan ia tempuh berhari-hari. Walaupun Kakek Wijaya telah mengatakan apapun hasilnya akan terus membuat bangga SMA Aryasatya. Tetapi, Akira tidak ingin mengecewakan untuk yang kedua kalinya. Dirinya harus mendapatkan gelar juara 1 kembali, untuk mengejar ketertinggalannya.
Sejenak Akira melepaskan penat dengan membuat jus alpukat yang kebetulan Bi Mar membeli beberapa buah alpukat untuk dirinya. Suasana rumah ini sedikit sepi, padahal ibu dan ayahnya sedang ada di rumah, walaupun masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Akira pun berinisiatif untuk berpamitan keberangkatannya besok. Dengan menggenggam segelas jus, ia mulai melangkah keluar, lalu berbelok ke arah double pintu yang selalu tertutup. Ia mengetuk pelan hingga sayup-sayup mendengar suara seseorang yang mengatakan 'masuk'.
"Yah!" panggil Akira pelan.
Romi mengangkat kepalanya sejenak, lalu melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya. Mata tajam itu menatap Akira dalam diam.
Akira melangkah pelan sambil menunduk. Tidak biasanya Romi menatap dirinya seperti itu. Namun, ia harus memberanikan diri untuk mengatakan semuanya, walaupun Romi tidak akan mendengarkannya.
"Besok Akira berangkat. Ayah, doakan Akira untuk menang di sana nanti." Akira tersenyum tipis sambil menatap Romi berkaca-kaca.
Romi menghembuskan napasnya pelan. "Iya."
Hati Akira sedikit menghangat mendengar jawaban dari Romi. Demi apapun perasaannya kali ini sangat senang, walaupun hanya jawaban singkat yang ia dapatkan. Tetapi, tidak menutup kemungkinan Romi masih menyayangi dirinya.
"Makasih, Yah." Akira melenggang pergi dengan perasaan menghangat. Jus alpukat yang hanya tinggal setengah gelas ia tandaskan sambil menutup pintu, lalu melangkah lagi ke arah dapur untuk mengembalikan gelasnya.
Sementara Romi hanya tersenyum kecut melihat raut wajah senang Akira yang berbinar-binar. "Saya mengatakan itu hanya untuk membuat kamu cepat-cepat pergi dari sini, bukan untuk mendoakan kamu cepat pulang."
***
"Hati-hati di jalan nanti ya, Ra. Jangan lupa makan, mandi, dan berkabar sama kita. Kalau ada waktu kita bakal nonton lo di sana," ujar Devin tidak bisa menyembunyikan wajah sedihnya.
Akira tertawa kecil. "Iya,iya, sayang. Kamu baik-baik ya sama Ken. Jangan bertengkar terus, karena nanti aku enggak ada di sini untuk misahin kalian berdua."
"Aku bakal rindu sama kamu, Ra." Ken memeluk tubuh Akira erat.
Kedua laki-laki itu nampak sangat berat berpisah dengan Akira. Wajah terlihat kusut saat melihat Akira tiba dengan ransel besar yang di genggamnya, serta celana training karate lengkap dengan jaket merahnya.
Namun, tidak menutup kemungkinan untuk kedua laki-laki melepaskan Akira, meski hanya sebentar. Karena kepergian Akira untuk memberikan kebanggaany bagi sekolahnya. Terutama keluarga serta teman-temannya yang terus memberi semangat. Bahkan Kakek Hasbi hadir untuk mengantarkan Akira menaiki bus yang ada di sekolah.
Karena pagi-pagi sekali Kakek Hasbi datang menjemput dirinya. Padahal hari ini kakeknya ada jam rapat pagi, tetapi rela mengantarkan Akira dengan wajah sendunya. Kali ini Akira tidak hanya pergi sehari atau dua hari, melainkan full sampai akhir pekan tiba. Itu artinya tenaga Akira akan terkuras habis-habisan.
"Ya udah, Akira berangkat dulu," pamit Akira menatap kedua sahabat laki-lakinya. Hati Akira sedikit merasa kecewa saat tidak mendapati kehadiran Cyra.
Kakek Hasbi memeluk tubuh mungil Akira sejenak. "Jaga kesehatan di sana. Jangan terlalu lelah. Kalau pusing langsung makan coklat yang udah Kakek siapkan, jangan sampai lupa!"
"Iya, Kek. Akira berangkat dulu. Doakan Akira agar bisa mengharumkan nama sekolah," ucap Akira sambil melepaskan pelukannya dan tersenyum kecil.
Lain halnya dengan Alvaro yang hanya menatap Akira dari kejauhan dengan beberapa teman laki-lakinya. Hatinya sedikit tidak rela melepas kepergian Akira untuk bertanding, tetapi dirinya juga tidak bisa melarangnya. Sebab, ini adalah salah satu cara untuk mengharumkan nama sekolah kakeknya sendiri.
Kelima laki-laki kompak menatap senyum Akira yang tak pernah luntur. Di sana Akira nampak terharu sekaligus senang melihat banyak orang peduli pada dirinya. Membuat salah satu laki-laki dengan seragam dikeluarkan menepuk bahu Alvaro pelan.
"Sana samperin! Lo kalau diem-diem di sini enggak bakalan dilihat Akira," celetuk Razan membuat Alvaro menatapnya kesal.
"Iye, Al. lo mah diem-diem mulu kalau deketin cewek. Gimane ntu cewek mau ngelihat lo," sahut Junaid sedikit kesal.
Alvaro menatap satu per satu teman barunya itu dengan alis terangkat. "Gue harus bilang apa?"
Seketika Faisal menatap wajah Alvaro tidak percaya. Bagaimana bisa laki-laki berwajah tampan ini sama sekali tidak tahu cara mendekati seorang perempuan. Padahal dari yang ia tahu, Alvaro sering kali menjadi pembicaraan dari tetangga kelas yang berada dalam satu lantai, karena wajahnya yang nyaris sempurna.
"Lo bilang selamat jalan atau sukses pertandingannya juga Akira bakalan senang. Apalagi lo yang bilang. Al. Karena setahu gue, Akira itu tipe cewek yang beda dari yang lain," ujar Zulfan dengan wajah meyakinkan.
Alvaro mencerna perkataan Zulfan yang sedikit benar. Setelah dirinya beberapa kali berbincang dengan Akira, ia sedikit tahu bahwa Akira tipe perempuan yang selalu menyesuaikan diri dengan lawan bicara. Dan tipe pendengar yang baik.
Faisal terlihat gemas melihat Alvaro yang tidak kunjung berangkat padahal bus Akira sebentar lagi akan pergi. Sontak ia langsung memanggil Akira dengan lantang, membuat perempuan mungil itu menyipitkan matanya.
"Ra! Sini," panggil Faisal mengkode agar Akira menghampirinya.
Akira sedikit bingung melihat Faisal memanggil dirinya seperti. Namun, tidak menutup kemungkinan dirinya berlari kecil menghampiri beberapa kakak kelas yang duduk. Padahal dari beberapa kakak kelas itu ada Alvaro yang terus menatapnya sendu.
"Ada apa, Kak?" tanya Akira sesaat menghampiri Faisal.
Faisal mengkode agar Alvaro cepat mengatakannya. Sementara Alvaro seakan mengerti kode Faisal pun bangkit dan menggenggam pergelangan tangan Akira lembut. Membuat perempuan mungil itu sedikit berontak, tetapi tidak lama. Karena Alvaro buru-buru mengkode agar perempuan itu mengikutinya.
Di dalam genggaman lembut nan hangat itu, bibir Akira tersenyum kecil. Entah kenapa hatinya merasa berbunga-bunga hanya mendapatkan perlakuan kecil seperti itu.
Alvaro membawa Akira ke arah parkiran dekat gedung para pengurus sekolah. Di sana terlihat sepi, walaupun ada segelintir guru yang menatap mereka berdua dengan pandangan tidak mengerti.
Langkah Alvaro terhenti membuat Akira mengerutkan dahinya bingung, lalu mengintip ke depan untuk melihat apa yang terjadi, tetapi buru-buru ia urungkan saat Alvaro membalikkan tubuhnya. Membuat Akira sedikit memundurkan langkahnya saat ia rasa jaraknya terlalu dekat.
Kedua lengan kokoh Alvaro bertengger di bahu mungil Akira. Ia menundukkan kepala sedikit untuk mensejajarkan wajah dirinya dan Akira yang sedikit lebih rendah. Ia tatap dalam-dalam bola mata coklat terang itu di bawah sinar matari. Dan baru ia sadari, Akira memiliki mata yang sangat indah.
Sementara jantung Akira meronta-ronta untuk keluar dari rongga dadanya. Melihat mata Alvaro dalam jarak dekat. Ia baru sadar warna bola mata Alvaro yang sebenarnya adalah warna merah kehijauan. Sangat cantik.
"Gue enggak tahu harus ngomong apa sama lo. Tetapi, gue berharap lo bisa balik ke sini membawa kebanggaan yang luar biasa buat gue," ucap Alvaro tersenyum menawan.
Siapapun tolong Akira. Perempuan mungil itu tidak sanggup melihat senyuman Alvaro yang jarang sekali ia lihat, bahkan tidak pernah. Dengan gerakan kaku, Akira menganggukkan kepalanya tanpa melepaskan tatapan dari mata Alvaro yang terus terpaku.
Melihat kegugupan Akira, Alvaro tertawa dalam hati. Jauh lebih menggemaskan wajah Akira disaat perempuan itu terlihat kaku. Namun, lama kelamaan tatapannya jatuh pada bibir warna alami yang merah muda tanpa lip tint. Alvaro sangat ingin mencium bibir menggoda itu.
Sementara Akira yang sadar akan tatapan Alvaro pun memutuskan untuk diam. Ia sama gugupnya melihat bibir bawah Alvaro yang sedikit tebal. Namun, ia terus menunggu apa yang akan Alvaro lakukan.
Alvaro perlahan mendekatkan wajahnya, membuat Akira memejamkan matanya. Sejenak laki-laki tampan itu menatap wajah menggemaskan Akira. Perempuan mungil itu memili bulu mata yang sangat lentik dengan alis tebal yang hampir menyatu.
Setelah bersiap apa yang akan Alvaro lakukan, Akira menahan napas sejenak. Ia tahu bahwa Alvaro tengah memandangi wajahnya dengan jarak yang sangat dekat. Jantungnya pun seakan ingin keluar.
Namun, semakin lama kening Akira berkerut saat menyadari Alvaro tak kunjung melakukan apa yang ia ingin lakukan. Sesaat Akira merasa sangat malu sekali melihat senyum geli yang Alvaro saat dirinya membuka.
"Minta gue cium. Hmm?" goda Alvaro membuat pipi Akira merona.
"Enggak ada. Gue juga enggak berharap," balas Akira kesal. Ia sangat-sangat malu melihat wajah Alvaro, andaikan ia bisa lenyap saat itu juga. Mungkin tidak akan seperti ini.
Tangan kanan Alvaro mencubit hidung mungil Akira gemas. "Masa? Terus lo tutup mata itu berharap gue apain?"
Pipi Akira semakin memerah hingga ke belakang telinga. Bagaimana bisa ia gugup seperti ini hanya karena perkataan Alvaro yang jelas-jelas ia tolak dengan garis keras di dalam hati.
"Udah, ah. Bus gue udah mau berangkat," sahut Akira sambil membalikkan tubuhnya hendak melenggang pergi. Tetapi, pergerakannya kalah cepat dengan Alvaro yang langsung menariknya ke dalam pelukan hangat.
"Gue pasti rindu banget sama lo," bisik Alvaro tepat di telinga Akira.