Bus kecil itu berlenggak-lenggok ke kanan dan ke kiri. suara deruman mesin nampak sangat halus seperti irama di musim hujan. Kebetulan sekali hari ini cuaca sedang dingin, langit pun seakan meredupkan matahari ketika ingin memancarkan cahaya. Tidak ada kilauan sinar matahari yang biasa dilihat oleh mata telanjang.
Rintik-rintik kecil mulai menyapu jendela samping bus. Menyiasakan aliran kecil yang turun hingga ke bawan. Akira tersenyum kecil. Ia suka sekali dengan hujan, tetapi kali ini bukan hujan, melainkan gerimis kecil.
Di pinggiran toko nampak beberapa kendaraan sibuk menghentikan lajunya, terutama para driver ojek online yang sibuk memakai jas hujan. Sebenarnya hari ini tidak ada ramalan cuaca akan turun hujan, tetapi semua telah sirna kala hujan lebar mulai mengguyur Kota Bekasi.
Bus kecil itu mulai memasuki tol Bekasi Barat, terlihat beberapa kendaraan mengantri untuk memasuki tol. Kartu kecil itu terulur menyentuh sebuah tap. Akira yakin perjalanan kali ini akan melelahkan, karena dirinya akan sibuk ketika di bandara nanti.
Kepala Akira menoleh ke arah Teh Echa yang kebetulan duduk di samping dirinya. Perempuan berwajah tegas itu nampak asik melihat layar ponsel yang menampilkan sebuah drama yang Akira yakin itu adalah drama Korea. Karena terlihat dari wajah serta gerak-gerik mereka yang sedikit berbeda dengan drama kesukaan Akira.
Akira menghela napas pelan sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Kepalanya ia tolehkan ke arah luar jendela yang mulai nampak kabur dengan air yang terus turun. Ingatan Akira mengarah pada kejadian beberapa saat yang lalu.
"Hah?" beo Akira tak mengerti.
Tawa Alvaro lepas hingga tubuhnya sedikit terguncang. Pegangan di bahu Akira pun terlepas, karena tangannya sibuk memegangi perut yang terkocok geli. Entah mengapa jika di dekat Akira, Alvaro selalu merasa dirinya sangat bahagia.
"Enggak boleh ya gue rindu sama lo?" tanya Alvaro meredakan tawanya.
Alis tebal Akira bertaut bingung. "Ya gimana sih," gumam Akira menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Alvaro membenarkan letak poni tipi Akira, lalu tersenyum menawan. "Baik-baik di sana. Jangan lupa kalau bangun tidur pemanasan dulu, takutnya lo cidera. Enggak ada gue di sana, jadi lo harus bisa jaga diri sendiri."
"Dikira gue anak kecil," gerutu Akira pelan.
Bibir tipis nan kecil milik Akira membentuk lengkungan indah. Bayangan di mana Alvaro menggoda dirinya masih sangat jelas. Ia pun tidak menampik bahwa tidak tertarik pada laki-laki menawan itu. Tetapi, Akira tidak semudah itu akan jatuh cinta, karena ia takut akan seperti kejadian lalu ketika dirinya sakit hati akibat kandasnya hubungan dengan Rifqi. Salah satu senior yang Akira sukai dulu.
Keadaan bus sangat hening, hanya segelintir orang yang bercakap-cakap dalam volume kecil. Memang sebelum keberangkatan hari ini, mereka harus memaksimalkan latihan agar tidak akan mengecewakan untuk pertandingan nanti. Makanya ada beberapa orang yang sudah terlelap dalam alam bawah sadarnya.
Hanya Akira dan Teh Echa yang masih setia membuka mata disaat semuanya tertidur. Jika biasanya mereka berdua akan tertidur, sangat berbeda dengan kali ini. Sebab, Akira memang sudah tidak ingin tidur. Apalagi di dalam perjalanan yang cukup menyenangkan ini.
"Ra, enggak tidur?" celetuk Teh Echa sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil.
Akira menoleh sambil menggeleng pelan. "Belum ngantuk."
Teh Echa terlihat meraih sesuatu di dalam tas besarnya hingga sebuah cemilan berbungkus besar membuat Akira mengerutkan dahinya bingung. Dengan gerakan lembut, perempuan berwajah tegas itu menyobek bagian atas pelan, lalu mulai mengambil satu per satu kripik singkong dan memasukkan ke dalam mulutnya.
"Tadi cowok yang peluk kamu itu, siapa?" tanya Teh Echa menatap Akira penasaran.
"Kakak kelas," jawab Akira sambil sibuk mengunyah keripik singkong milik senpai-nya.
"Kayaknya dia suka sama kamu, Ra."
"Dih, enggaklah. Dia itu baru masuk sekolah beberapa minggu yang lalu."
"Tapi, enggak menutup kemungkinan dia suka sama kamu, 'kan?"
"Akira itu realistis, Teh. Mana bisa dalam waktu sesingkat itu dia suka sama aku."
"Suka itu relatif, Ra."
***
Sekelompok anak laki-laki berpakaian tak rapi itu nampak bersenda gurau di warung belakang milik Bu Mila atau biasa dipanggil Bumil, yang merupakan daerah kekuasaan anak-anak nakal di SMA Aryasatya. Hal yang baru saja Alvaro ketahui. Karena dirinya pun terjebak di situasi yang menyebalkan.
Mata tajam Alvaro menatap keempat temannya yang sibuk mengepulkan asap putih yang membentuk gumpalan kecil. Ia sengaja tidak ikut merokok, sebab Kakek Wijaya mengabarkan akan datang ke SMA Aryasatya, dan itu artinya ia harus waspada dalam bertingkah sebelum kakeknya ini akan memberikan hukuman yang sangat menyebalkan, yaitu mempimpin rapat presdir yang berkali-kali lebih membosankan daripada belajar.
"Al, lo kenapa enggak ikut ngerokok sama dua orang itu?" celetuk Zulfan mendudukkan bokongnya tepat di samping Alvaro sambil menggenggam segelas air jeruk. Matanya memandangi Junaid dan Razan yang berjongkok di bawah pohong mangga dengan jari tangan kanannya diselipi sebatang rokok berwarna putih.
Kepala Alvaro menatap Zulfan tanpa ekspresi sambil menjawab, "Males."
Zulfan hanya mengangguk singkat, lalu mulai sibuk melihat-lihat kotak masuk email yang menampilkan beberapa pesan belum terbaca. Alvaro sedikit penasaran dengan apa yang Zulfan kerjakan pun mengintip.
"Lo direktur, Zul?!" tanya Alvaro setengah berteriak.
Zulfan buru-buru membungkam mulut Alvaro dengan tangan kirinya. Mata tajam itu mengelilingi warung Bumil yang masih tampak asik dengan kegiatannya masing-masing. Melihat tidak ada yang sadar dengan ucapan Alvaro tadi, Zulfan pun menghela napas lega. Matanya menatap Alvaro tajam, membuat laki-laki itu meringis ngeri.
"Iya, tapi lo jangan bilang siapa-siapa," ujar Zulfan pelan sembari matanya sibuk meneliti setiap kalimat yang terjejer rapi.
Satu hal yang Alvaro tahu, ternyata teman-temannya ini bukanlah orang yang sembarangan. Buktinya Razan adalah seorang pemilik café besar yang berada di wilayah Bekasi Timur, lalu sekarang Zulfan adalah seorang direktur di salah satu perusahaan yang ia tidak tahu. Sepertinya Alvaro harus benar-benar mengenal teman barunya ini.
"Kok bisa?" Kali ini Alvaro tidak bisa membendung rasa penasarannya.
"Ya bisalah. Kan orang tua gue bosnya."
"Maksud gue lo kerja sambil sekolah begini."
"Awalnya enggak mudah, Al. Susah bagi waktu antara pekerjaan sama belajar. Tetapi, lama kelamaan gue nyaman ngelakuin keduanya. Bahkan gue mau lanjut kuliah habis ini."
"Yang tahu lo kerja siapa?"
"Cyra, anak kelas 11 IPA 1."
Sejenak Alvaro mengingat nama Cyra yang baru saja Zulfan sebutkan. Sepertinya ia tidak asing dengan nama tersebut. Walaupun dirinya jarang berkelana di koridor kelas 11, tetapi ia sering mendengarnya dari anak-anak kelasnya yang begitu mengincar Cyra. Perempuan modis berwajah cantik.
"Selama itu belum ada lagi?"
"Belum. Itu juga karena Cyra adik gue."
"Apa?!"
Zulfan memukul lengan Alvaro keras. Ia sangat kesal dengan respon Alvaro yang terlalu lebay. Padahal ini hal yang biasa saja menurutnya.
"Lama-lama satu sekolah tahu gara-gara mulut lo yang besar itu," sinis Zulfan.
"Bentar, gue terlalu syok atas kebenaran teman-teman baru gue," ujar Alvaro tenang.
Disaat kedua laki-laki itu nampak asik berbincang, tiba-tiba Faisal datang dengan membaca senampan gorengan pisang kesukaan Alvaro. Sontak kedua laki-laki berbinar melihat makanan kesukaan semua orang yang hidup di Indonesia.
Tanpa ragu-ragu Zulfan mencomot dua pisang sekaligus sambil mematikan layar ponselnya, lalu ia letakkan tepat di atas meja. Sementara Alvaro mengambil nampan-nampannya, ia takut pisang ini akan habis jika dibiarkan di depan laki-laki rakus seperti Zulfan.
"Gue mau Alva," protes Zulfan saat Alvaro menyembunyikan gorengan pisang itu di belakang tubuh besarnya.
"Minta sama Faisal sana!" sahut Alvaro dengan mengunyah gorengan itu dengan nikmat.
Sedangkan Faisal hanya menggeleng pelan sambil tertawa kecil saat Alvaro tak mau kalah dengan Zulfan yang terus menerus menggeliki pinggang Alvaro, membuat laki-laki itu menggeliat geli sambil berusaha mempertahankan pisang gorengnya.
***
"Akira balik kapan?" tanya Cyra pada kedua laki-laki yang kompak menulikan telinganya.
Sejak kepergian Akira pagi itu, Cyra memang tidak sempat mengantarkan karena dirinya terlambat ke sekolah. Akibat mobilnya sedikit bermasalah di jalan ketika perempuan modis itu hendak berangkat ke sekolah. Ia pun sedikit melupakan keberangkatan Akira hari ini.
Sudah berkali-kali Cyra menanyakan hal yang sama, tetapi tidak ada jawaban yang keluar seakan dirinya itu hanyalah angin yang mampir sejenak. Padahal berkali-kali Cyra meminta maaf atas kejadian tadi pagi. Namun, tidak semudah itu Devin memaafkan, terlebih Ken yang sangat menyayangi Akira.
Merasa terus diabaikan Cyra pun marah. Wajah perempuan modis itu nampak memerah menahan amarah. Ken yang sedari sudah tahu bahwa Cyra pun malah semakin membiarkan perempuan itu marah, karena bagaimanapun juga itu salahnya yang terlalu tidak peduli.
Kedua telapak tangan Cyra menggebrak meja milik kedua sahabat Akira itu keras, membuat seisi kelas menatapnya bingung. Namun, tak urung mereka kembali menyibukkan diri, tak menghiraukan wajah Cyra yang terlihat amat sangat marah.
"Kalian kenapa, sih?! Gue kan udah bilang kalau tadi pagi gue ada sedikit masalah. Lagipula kalian enggak bilang kalau hari ini Akira berangkat. Jadi, mana gue tahu," omel Cyra menatap kedua laki-laki itu tajam.
Merasa terus ditatap, akhirnya Devin pun menyerah. Laki-laki bertubuh sedikit lebih besar dari Ken itu menyandarkan tubuhnya dengan sesekali menghela napas pelan. Lalu, mulai bangkit dari tempat duduknya dan meraih pergelangan tangan Cyra agar mengikuti langkahnya.
Sedangkan Ken memasukkan ponselnya ke dalam saku celana sambil melangkah ringan mengikuti langkah Devin yang terlihat sedikit jauh dengan jaraknya yang berjalan santai. Matanya tak lepas memandangi sekeliling lapangan SMA Aryasatya yang digunakan para pemain voli tanpa seragam olahraga.
Tujuan Devin mengarah pada rooftop sekolah yang sebetulnya dikunci, tetapi entah dari mana laki-laki itu mendapatkan kuncinya, sehingga dengan mudah melangkah masuk. Di dalam tidak sedikit barang-barang yang tidak terpakai, mulai dari bangku yang rusak, hingga beberapa persediaan air galon serta seragam-seragam baru yang tidak terpakai.
Ken mendudukkan diri di salah satu bangku lipat yang berada tepat di sisi tembok yang menjulang tinggi, di sampingnya ada kipas ac yang berputar cukup kencang. Berbeda dengan Devin yang menyuruh Cyra untuk duduk di meja tempat beberapa seragam baru yang tergeletak, sedangkan Devin menduduki salah satu pipa besar.
"Lo tahu kenapa kita bawa ke sini?" tanya Ken pelan.
Kepala Cyra menggeleng pelan dengan amarah yang masih menggebu-gebu.
"Kita mau ngomong sesuatu sama lo," sahut Devin bangkit dari duduknya.
"Ngomong apa?�� tanya Cyra mengerutkan dahinya bingung.
"Tujuan lo temenan sama Akira apa?" tanya Devin dengan suara tegas.
Sejenak Cyra mencerna perkataan Devin. Sudah jelas jika dirinya berteman sudah pasti ingin mempunyai teman, lantas apalagi kalau bukan itu? Dan kenapa juga harus Devin pertanyakan yang sudah jelas-jelas tahu jawabannya.
"Akira kan teman gue, wajar dong kalau gue temenan sama dia."
"Tapi lo enggak benar-benar temenan sama dia, Ra!" bentak Ken marah.
Cyra terjengit mendengar bentakan Ken. Baru kali ini ia kembali mendengar suara itu, setelah akhir-akhir ini Ken lebih santai.
"Maksud lo apa?" balas Cyra tak mengerti.
Devin tersenyum sinis. "Gue tahu selama ini akal busuk lo. Selama ini lo enggak benar-benar temenan sama Akira. Jadi gue minta, lo jauh-jauh sama Akira. Karena dia enggak butuh teman palsu seperti lo, Cyra."
"Kalian ngomongin apaan sih?"
"Jangan pura-pura bego. Selama ini gue tahu kalau lo temenan sama Akira itu karena dia terlalu polos, tapi suatu saat gue bakal bongkar semua kebusukkan lo, Ra."
Setelah mengatakan hal yang sejak tadi di tahan, Ken pun melenggang pergi sambil menendang bangku ia duduki hingga terjatuh dan menimbulkan bunyi dentuman yang sangat keras, membuat Cyra memejamkan matanya terkejut.
Sedangkan Devin menatap Cyra tersenyum sinis sambil menggelengkan kepalanya pelan tanpa mengucapkan apa-apa. Kedua laki-laki itu nampak sangat misterius saat ini. Bahkan Cyra sendiri saja tidak tahu apa yang telah dirinya perbuat hingga sampai seperti ini.
"Apa salah gue sama Akira?" bisik Cyra pelan.
Perempuan modis yang biasanya terlihat segar dan sangat anggun, kini berubah menjadi sesosok perempuan berwajah kusut. Langkah gontainya menuruni tangga satu per satu sambil memikirkan maksud dari perkataan Ken tadi.