Chereads / TEARS OF DEATH / Chapter 8 - 11. Egois

Chapter 8 - 11. Egois

Entah setan apa yang merasuki Jenia hingga wanita itu menganggukkan kepalanya pelan. Ia bahkan melupakan janjinya untuk tidak berhubungan lebih dengan laki-laki yang bukan suaminya. Namun, mata Dzaky seakan membuat dirinya terhipnotis.

Perlahan Dzaky mulai mencium bibir Jenia lembut. Kali ini ia tidak memberikan sentuhan-sentuhan memaksa, selain memabukkan dan candu. Ia bahkan menyesap bibir bagian bawah Jenia yang terlihat lebih besar dari biasanya. Ia tertawa dalam hati melihat bibir yang biasanya tipis, kini membengkak akibat ulahnya sendiri.

Setelah puas dengan bibir Jenia, Dzaky mulai mendengus leher putih mulus nan harum itu. Ia suka sekali dengan wangi bunga mawar di tubuh wanita itu. Ia sesekali mengecap pelan membuat Jenia mendesah tertahan. Kening Dzaky berkerut dalam, dirinya terlihat tidak terima dengan perbuatan Jenia.

Dengan tersenyum licik, Dzaky meremas dada yang sedari tadi membumbung tepat di dadanya, empuk dan sedikit keras. Ia yakin bahwa Jenia sama seperti dirinya. Haus dan meminta dipuaskan.

"Ah." Sebuah desahan lolos membuat Jenia spontan menutup wajahnya. Ia sangat malu mendengar desahan yang sangat keras itu. Bagaimana bisa ia mendesah sedangkan Dzaky belum mendesah sama sekali. Harga dirinya sebagai wanita terhormat tercoreng sudah.

"Saya tahu kamu sama hausnya dengan saya," ucap Dzaky tepat di depan wajah Jenia yang meredup.

Tidak biasanya Dzaky bermain-main seperti ini. Tetapi, saat melihat wajah Jenia yang berbeda dari biasanya, ia mulai tertarik untuk bermain-main sejenak.

Jantung Jenia berdebar keras saat mata Dzaky meneliti setiap inchi wajahnya. Ia bahkan tidak bisa menahan rona pipi yang menguar begitu saja. Laki-laki yang menyandang gelar direktur utama di perusahaan WA Company Group seakan tengah bermain-main dengan dirinya.

Tetapi, Jenia sendiri tidak mengerti apa yang harus ia lakukan. Baru pertama kali dirinya berada di kungkungan laki-laki seperti saat ini. Namun, yang menarik perhatiannya adalah sebuah benda keras di bawah sana yang terus menggesek-gesek area sensitifnya.

Kedua lengan Jenia mulai mengalungi tekuk Dzaky. Ia akan mencoba mencium laki-laki itu seperti apa yang telah dirinya lakukan tadi.

Melihat Jenia yang merespon semua sentuhannya, Dzaky tersenyum senang. Ia bahkan sangat menikmati ciuman kaku yang sedang di lakukan Jenia. Namun, yang berbeda adalah Jenia yang kali ini memimpin ciumannya.

Ketika Jenia sibuk dengan ciumannya, tangan Dzaky tidak tinggal diam. Dirinya mulai membuka kancing cardingan hingga kemeja yang nampak sangat kekecilan bagi Jenia itu pun tidak luput dari pergerakannya. Ia yakin bahwa payudara milik Jenia sangatlah besar. Bagaimana bisa selama ini dirinya tidak memperhatikan betapa mulusnya tubuh Jenia.

Jenia melepaskan ciumannya sambil terengah-engah kehabisan napas. Lalu, matanya melotot ke arah payudara yang kini sudah tidak ada di tempatnya. Bahkan ia mengerjapkan mata melihat Dzaky yang mulai turun ke arah payudara itu, lalu mengecapnya pelan.

Jenia sudah tidak tahan lagi. Akal sehatnya seakan memimpin dirinya untuk kembali sadar. Ia pun bangkit membuat Dzaky kebingungan. "Pak, saya enggak bisa."

"Kenapa?" tanya Dzaky dengan suara sedikit meninggi.

Air mata Jenia meleleh. Ia tidak bisa berhubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya. Tanpa pikir panjang, Jenia membenarkan pakaiannya yang hampir terlepas.

Sedangkan Dzaky hanya terdiam kaku. Mendadak semua nafsunya hilang seketika melihat air mata Jenia. Baru kali ini ia mendapati seorang wanita yang terang-terang menolak disaat mereka berdua di nafsu yang sama.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar enggak bisa," ucap Jenia pelan dengan air mata yang terus membanjiri pipi mulusnya.

Dzaky perlahan mendekat. Direngkuhnya tubuh mungil itu. Ia sedikit merasa bersalah akibat perbuatannya tadi. Kali ini ia sadar bahwa tidak semua wanita itu akan menyerahkan diri seperti yang sudah-sudah. Jenia adalah satu-satunya perempuan yang berani menolaknya padahal ia sendiri tahu bahwa sekretaris cantik ini menyukai dirinya.

"Saya tahu. Maafkan saya," sesal Dzaky mencium puncak kepala Jenia.

Seketika tangis Jenia pecah. Di dalam pelukan Dzaky, ia mulai terinsak. Bahkan mempererat pelukannya. Hampir saja dirinya menjadi wanita terbodoh seumur hidup hanya merelakan perasaan sukanya terhadap Dzaky.

***

Langit jingga mulai merayap pelan. Burung-burung kecil terbang bebas melayang di angkasa. Awan-awan putih menyelimuti langit dengan serat-serat yang membentuk aneka ragam. Senyum Akira terbit kala dirinya menebak salah satu awan yang berbentuk kepala beruang putih. Mata kecil itu nampak menyipit kala melihat sinar yang maenyilaukan mata.

Tangan kanannya menggenggam tote bag yang berisikan tegi dan sebotol air minum. Kali ini ia berangkat lebih awal dari biasanya. Karena sudah beberapa hari ini Akira membolos latihan hanya untuk bersenang-senang.

Dengan berjalan kaki, Akira mulai menyusuri trotoar jalan raya yang mulai dipadati beberapa kendaraan. Banyak aktivitas yang dilakukan dari mereka. Ada yang asik menjajakan makanan, mengamen ketika lampu merah tiba, sampai ada yang menyebar brosur launching sebuah toko.

Tangan kanan Akira menerima sebuah lembaran kertas yang berisikan lanching toko. Alisnya bertaut bingung saat membaca jejeran kalimat yang membentuk indah. Ada sebuah gambar yang menarik perhatiannya, yaitu sebuah lomba menulis.

"Sepertinya menarik," ucap Akira tersenyum kecil, lalu melipat kertas itu hingga membentuk kotak kecil. Kemudian, ia memasukkannya ke dalam tote bag sambil memperhatikan keadaan sekitar yang mulai gelap.

Sandal jepit polkadot putih itu nampak sedikit longgar di kaki mungil Akira. Tetapi, perempuan itu sama sekali tidak memperdulikannya. Ia semakin senang jika apapun yang dipakainya selalu longgar.

Langkahnya menyusuri Perumahan Pekayon Indah, lalu berbelok ke arah Timur memasuki jalan raya yang lumayan macet. Kali ini Akira harus mempercepat langkahnya. Beberapa anggota polisi menyapa dirinya ketika menyebrang.

Tidak sedikit pelanggaran lalu lintas yang membuat Akira tidak mengerti. Sudah tahu salah kenapa harus pula dilanggar. Ketika ditegur pun tidak terima, lalu dimana letak hukum yang adil untuk para pelanggar?

Kepala Akira menggeleng pelan, lalu kembali melangkah menyusuri Pekayon Indah. Kali ini tujuannya adalah Islamic Center. Tempat di mana Teh Echa akan melatih dirinya. Mata Akira menangkap beberapa anak yang sibuk memakai sabuk. Namun, pandangannya bukan pada pemakai sabuk, melainkan seorang perempuan berwajah tegas yang sibuk memberi arahan pada murid-muridnya.

"Teteh Echa!" panggil Akira sambil berlari kecil.

Perempuan dengan sabuk DAN 5 itu menoleh. "Akira? Teteh kira kamu enggak latihan hari ini."

"Latihan dong. Masa mau bolos terus," sahut Akira setengah becanda, lalu mulai mengeluarkan baju teginya.

"Kita sampai malam ya, Ra. Soalnya besok kamu seminggu lagi berangkat ke jurnas," ujar Teh Echa sambil membaca sebuah proposal Kejuaraan Nasional Batam.

Kepala Akira mengangguk pelan sambil menyibukkan diri dengan memakai sabuk. Kali ini ia tidak hanya sendiri. Ada beberapa sabuk hitam yang kebetulan berlatih juga. Namun, jantung Akira seakan meronta-ronta ingin keluar saat matanya menangkap sebuah siluet laki-laki yang sangat dirinya ingat.

"Teh, itu siapa?" tanya Akira menjunjuk salah satu laki-laki dengan sabuk hitam yang sama.

"Oh, dia Alvaro. Anggota baru kita. Sekitar beberapa bulan ini dia latihan di sini. Katanya sih pindahan dari Eropa. Kamu kenalan dulu gih," titah Teh Echa membuat mata Akira melotot terkejut.

"Dia kakak kelas aku di sekolah, Teh." Mata Akira mengerjap pelan untuk memastikan itu benar-benar nyata dan tidak hanya bayangannya saja.

"Bagus dong," pungkas Teh Echa tertawa kecil.

Fokus Akira lagi-lagi dibuyarkan akibat Alvaro. Laki-laki itu tidak menunjukkan wajah terkejutnya sama sekali saat melihat dirinya berada dalam satu latihan. Tetapi, ia berusaha bersikap santai saat memberi pemanasan. Walaupun mata Akira sempat bertabrakan beberapa kali dengan Alvaro.

Hembusan napasnya sedikit gusar mendengar titah Teh Echa saat dirinya berpasangan dengan Alvaro. Jika kebanyakan laki-laki akan lumpuh dengan Akira, sangat berbeda dengan Alvaro. Bahkan laki-laki itu tidak menunjukkan kelemahan sedikit pun membuat ia kewalahan.

"Atur napas sama kendalikan emosi lo. Jangan biarkan lawan tahu semua pergerakan lo," celetuk Alvaro sambil menyerahkan sebotol air mineral di pangkuan Akira.

Sesaat Akira tersihir dengan ketampanan Alvaro di bawah sinar lampu yang menerangi lapangan. "Kak, sejak kapan lo ikutan dojo ini?" tanya Akira tanpa mengincahkan celetukkan Alvaro tadi. Kali ini pertanyaannya lebih penting dari apapun. Ia tidak ingin mati penasaran hanya berasumsi kehadiran laki-laki itu.

"Dua bulan yang lalu, sebelum gue pindah sekolah." Wajah Alvaro terlihat santai sambil meluruskan kaki-kaki yang sedikit pegal.

"Kenapa bisa tahu ada dojo di sini?" tanya Akira lagi.

"Gue temannya Echa. Wajar sih kalau gue tahu semua tempat latihan dia di sini," jawab Alvaro dengan kening berkerut bingung.

Akira menganggukkan kepalanya pelan. Alasan Alvaro sedikit masuk akal walaupun dirinya tidak percaya penuh.

"Kaget lihat gue di sini?" tebak Alvaro sambil tertawa geli.

"Iyalah!" sahut Akira sedikit keras membuat beberapa pemegang sabuk hitam menatap dirinya bingung.

Alvaro tidak bisa menahan tawanya kala melihat wajah malu-malu Akira. Perempuan mungil itu nampak sangat menggemaskan saat menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan sambil menahan teriakan.

"Minum dulu," pungkas Alvaro membuat Akira buru-buru membuka botol minum yang diberikan laki-laki itu.

***

"Cyra!!!" teriak Akira saat sambungan video call-nya diangkat.

Di layar ponselnya tampak wajah Cyra seperti orang menahan kesal. Lalu, menggerutu pelan yang Akira tidak dengar.

"Berisik banget lo," ujar Cyra kesal.

Akira tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putih rapinya. Mata kecil itu menyipit hingga membentuk bulan sabit. Wajah menggemaskan Akira memang akan selalu seperti anak balita.

"Kenapa lo senyum-senyum gitu? Ngeri gue lihatnya," tanya Cyra dengan wajah sehorror mungkin.

"Gue kan tadi latihan, Ra. Tahu enggak? Di sana gue ketemu Alvaro. Gila enggak tuh!" jawab Akira sambil merebahkan diri. Terlihat layar ponselnya sedikit bergoyang dan berpindah posisi.

"Oh. Eh tahu enggak, Ra? Kak Luthfi mau balik ke sini nyamperin gue." Cyra memajukkan ponselnya hingga tepat di depan wajah.

Sejenak Akira mencerna perkataan Cyra. "Wah, bagus dong! Sebentar lagi kan kita liburan. Pasti Kak Luthfi mau ngajak lo jalan-jalan."

"Iya, Ra. Gue seneng banget," sahut Cyra tersenyum senang.

"Kalau gitu gue mandi dulu," pamit Akira sambil menutup video calls secara sepihak.

Seketika Cyra yang hendak menjawab buru-buru menutup mulutnya kembali sembari menatap layar ponselnya yang sudah kembali ke menu awal. Perasaannya sedikit kesal akibat Akira yang tidak mendengarkan ceritanya. Padahal jarang sekali Cyra senang seperti ini.

Sementara di sisi lain, Akira tersenyum kecut menatap ponsel dengan layar hitam pekat. Ia sudah tidak ada rasa lagi bercerita pada siapapun. Hati tertawa pelan saat meratapi tingkah Cyra yang selalu semaunya sendiri. Padahal Akira jarang sekali bercerita, dan baru kali ini ia bercerita perihal pengalamannya tadi.

Tingkah Cyra itu menunjukkan seakan dirinya adalah seseorang yang tidak berguna dan hanya digunakan untuk mendengarkan ceritanya saja. Keegoisan inilah terkadang yang membuat Akira tidak nyaman dengan perempuan modis itu. Meskipun ia berteman baik, tetapi tidak pernah satu pun hal penting akan dirinya lontarkan pada Cyra. Karena itulah sifat asli Cyra. Hanya ingin dimengerti tanpa ingin mengerti orang lain.