Setelah pergulatan besar dengan batinnya, pagi ini Alvaro bersiap untuk melakukan rutinitasnya dengan bersekolah. Kali ini ia menggunakan sepeda gunung pemberian ayahnya waktu lalu. Alvaro merasa tidak ada salahnya menggunakan sepeda, karena sekolah tidak akan ada yang tahu bahwa dirinya cucu dari pemilik sekolah itu.
Dengan tas punggung hitam yang sudah terparkir cantik, Alvaro mulai mengayuh sepedanya menuju gerbang mansion. Sedikit melelahkan memang perjalanan dari mansion menuju gerbang utama. Sebenarnya ada saja gerbang samping yang sering digunakan para maid, tetapi ia cukup malas untuk melintas di sana. Ada banyak teman sekelasnya yang kebetulan tinggal di daerah ini.
Tentu saja ia merasa tidak nyaman akan keberadaan sebagai siswa baru di sekolahnya. Karena jika sampai ada berita tersebar bahwa Kakek Wijaya adalah kakeknya Alvaro, sudah pasti siswi di sekolah semakin gencar mendekati dirinya.
Padahal ia hanya menginginkan satu perempuan saja, yaitu Akira Khanzarumi. Setelah melihat-lihat identitasnya saat mendaftar sekolah, Alvaro baru mengetahui bahwa Akira tinggal di salah satu perumahan yang sangat jauh dari tempatnya bersekolah.
Pertanyaan banyak bermunculan di benak Alvaro setelah mengetahui kebenaran tersebut. Ia sedikit tidak yakin dengan Akira yang selalu bersikap aneh ketika ada seseorang yang ingin mengantarnya pulang. Hingga sebuah ide muncul di kepala Alvaro. Sepertinya sepulang sekolah nanti ia harus membuntuti Akira. Kebetulan sekali dengan dirinya yang membawa sepeda.
Dengan gerakan mengayuh dengan semangat, Alvaro mulai menyusuri jalanan perumahan yang cukup sepi. Seperti biasa, ada segelintir para pekerja kantoran yang memanaskan mobilnya di depan rumah. Hal yang paling biasa dilakukan dirinya adalah mampir ke salah satu rumah mungil yang ada di sana.
"Bang Dzaky!" panggil Alvaro sambil mengetuk pintu dengan cat berwarna putih gading.
Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang yang membalasnya dari dalam. Seketika Alvaro memundurkan langkahnya sambil melihat-lihat taman kecil Dzaky yang semakin hari semakin terlihat keindahannya.
Double pintu itu terbuka lebar menunjukkan seorang laki-laki lengkap dengan wajah khas bangun tidur. "Ngapain lo mampir ke rumah gue pagi-pagi buta."
Tanpa mengindahkan perkataan Dzaky, Alvaro melangkah masuk ke dalam. Matanya menyusuri setiap inchi ruangan yang ada di sana. Ia takut memergoki Dzaky tengah bersama wanita di sini, sebab disitulah keselamatan dirinya akan terganggu.
"Hari ini rumah gue enggak ada cewek. Lo santai aja," sahut Dzaky mengetahui isi pikiran Alvaro.
"Bagus. Gue mau numpang sarapan di sini. Lo ada bahannya, kan?" tanya Alvaro sambil melepaskan tas punggungnya di atas sofa, lalu melangkah ke arah dapur kecil yang berada tepat di ujung ruangan.
"Kakek lo udah miskin sampai enggak bisa ngasih makan?" sahut Dzaky dengan nada mengejek.
"Kakek enggak sanggup melihat gue yang setiap hari semakin tampan," balas Alvaro tersenyum menawan.
"Lo semakin hari semakin enggak sadar kalau gue yang lebih tampan." Kali ini Dzaky menyahut sambil menyisir rambutnya dengan jari-jari.
Seketika Alvaro hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia sama sekali tidak ingin berdebat dengan kakak sepupunya ini, selain akan kalah bicara. Ia pasti akan menjadi bahan bullying yang empuk.
Disaat Alvaro menyibukkan diri di dapur, Dzaky berpikiran untuk membersihkan diri. Hari ini ia ada rapat, dan itu artinya beberapa manit lagi dirinya harus segera meninggalkan rumah yang sangat amat nyaman untuk melanjutkan mimpi indahnya.
Setelah menyelesaikan segala aktivitas paginya, Dzaky mulai menghampiri mini bar. Dengan senyum lebar yang terpatri di sana, membuat ketampanan lelaki yang hampir memasuki kepala tiga itu semakin terlihat jelas kematangannya.
Ekor mata Alvaro menangkap seseorang yang memasuki dapur. Ia tahu bahwa pagi ini Dzaky ada rapat sehingga mengharuskan dirinya mampir ke rumah mungil ini dengan alasan meminta makanan. Hal yang sangat sering dilakukan Alvaro dengan segala perhatiannya.
"Gimana gue udah tampan belum?" tanya Dzaky sambil menduduki salah satu kursi bulat yang ada di mini bar.
"Salah satu kemalasan gue itu, disaat lo narsistik parah." Alvaro tersenyum sinis sambil menata setiap piring makanan. Tidak perlu bersusah payah. Hanya beberapa potong roti dengan selai, lalu semangkuk besar nasi goreng setan ala Daffa yang berisikan sosis dan bakso yang dipotong dadu.
"Lupakan sikap narsis gue. Kayaknya sarapan kali ini nikmat bener, Al. Ada sesuatu yang mau lo omongin atau ada udang dibalik bakwan?" tanya Dzaky menatap Alvaro intens. Tidak biasanya Alvaro memasak sarapan begitu enaknya sampai sebanyak ini.
"Bagus." Alvaro menjentikkan jarinya sambil menatap Dzaky penuh. "Gue mau tanya soal cewek."
Seketika Dzaky tersedak nasi yang tengah ia telan sampai terbatuk-batuk membuat Alvaro buru-buru menyodorkan gelas yang berisikan air mineral penuh. Sebab, wajah Dzaky sangat parah dengan warna kemerahan memenuhi wajahnya.
"Sumpah demi apa lo nanyain cewek sama gue!" seru Dzaky histeris.
"Goblok!" Alvaro memukul lengan Dzaky keras. Laki-laki itu sedikit tidak terima atas perkataan kakak sepupunya.
"Bentar-bentar," kata Dzaky menangkis pukulan Alvaro hingga laki-laki itu menghentikan hujamannya, lalu menatap Dzaky datar.
"Lo beneran Alvaro adik sepupu gue, 'kan?" tanya Dzaky memastikan.
"Iyalah gue Alvaro sepupu lo, kambing. Bisa-bisanya lo meragukan ketampanan gue," balas Alvaro sambil mengerutkan dahinya kesal.
"Iya tahu. Masalahnya, ini hal yang sangat besar karena tiba-tiba lo nanyain masalah cewek sama gue. Kan lo tahu sendiri kalau gue sama brengseknya sama lo, Alva. Mana bisa gue ngasih saran masalah cewek sama adik sepupu gue sendiri. Yang ada lo malah sesat kalau ngikutin gue."
"Nih ya gue kasih tahu, sejak gue kenal sama makhluk yang bernama perempuan. Enggak pernah sekalipun gue berhubungan serius sama mereka. Mungkin benar sebutan brengsek itu buat gue, tapi seenggaknya gue enggak benar-benar berhubungan sama perempuan yang perempuan itu sendiri enggak mau sama gue."
"Dan kalaupun perempuan itu suka sama gue, ya gue enggak pernah maksa mereka buat ngelupain gue. Jadi, lo salah besar kalau tanya masalah cewek yang mau lo deketin sama gue," jelas Dzaky panjang lebar.
Sejenak Alvaro merenungkan perkataan Dzaky, ada benarnya kata laki-laki itu. selama ini Dzaky tidak pernah serius berhubungan dengan perempuan mana pun. Karena yang ada otaknya hanyalah seks tanpa pernikahan.
Sedikit benar perkataan Dzaky yang menyebutnya salah besar, tetapi selain Dzaky tidak ada lagi laki-laki yang bisa Alvaro tanyakan. Selama ini ia terlalu lama tinggal di Eropa sehingga tidak pernah mempunyai sahabat laki-laki di tanah air sendiri. Mungkin akan sangat menyebalkan jika bertanya pada teman-temannya yang jauh di sana.
Karena mereka pasti akan menyuraki Alvaro telah bertekuk lutut dengan perempuan yang menjunjung tinggi pernikahan. Dan karena sahabatnya yang di Eropa-lah Alvaro bersikap layaknya haus seks seperti ini. Belum genap delapan belas tahun, Alvaro telah mencoba banyak sekali perempuan. Bahkan jika dikumpulkan mampu membuat reuni mantan wanita one night stand.
"Siapa sih cewek yang berhasil membuat lo luluh gini, Al?" tanya Dzaky penasaran.
"Cewek, namanya Akira. Dia adik kelas gue di sekolah," jawab Alvaro lesu. Pikirannya melayang jauh memperkirakan betapa sulitnya mendapatkan Akira.
Dzaky mengusap dagunya pelan. "Sejauh yang gue tahu, lo masih bisa dekatin dia, Al. Walaupun lo sama dia beda kelas dan yang pasti beda angkatan juga."
"Gimana caranya?" Alvaro mencondongkan tubuhnya lebih mendekati Dzaky, membuat laki-laki itu sedikit memundurkan tubuhnya ke belakang.
"Pas istirahat. Rasanya enggak aneh lagi kalau lo dekatin Akira istirahat. Karena selain istirahat enggak ada waktu buat lo pendekatan sama dia," jawab Dzaky dengan nada serius. Kali ini ia menampilkan sikap dewasanya, tidak ada candaan khas yang selalu terlontar ringan.
Kepala Alvaro mengangguk pelan, lalu membereskan mangkuk serta kawan-kawannya. Sementara Dzaky hanya menggeleng pelan sambil tersenyum geli. Hatinya tergelitik mengetahui Alvaro telah menyukai salah satu perempuan dengan pandangan pertama.
***
"Cyra mana?" tanya Akira menghampiri bangku kedua sahabat laki-lakinya itu sambil menggenggam segelas kopi yang sempat ia beli di pinggir jalan tadi.
Kali ini Akira menempuh jarak sekolahnya menggunakan angkutan umum. Ia berpikiran untuk menaiki bus setelah pulang sekolah nanti. Sebab, ia tadi tertinggal bus sehingga membuat dirinya berjalan gontai menuju jalan utama di depan gerbang perumahannya.
Di sana banyak sekali angkutan umum yang berjejer rapih dengan warna yang berbeda-beda. Selain beda warna, beda pula tujuan masing-masing angkutan tersebut. Akira melihat di sisi belakang angkutan sambil membaca-baca arah tujuannya.
Jujur saja, baru kali ini Akira menggunakan angkot. Biasanya ia akan meminta Ken atau Devin menjemputnya di depan persimpangan jalan. Tetapi, kali ini ia memutuskan untuk mencoba hal baru. Tentu saja sedikit tidak nyaman berhimpitan di dalam angkot. Terlebih saat Akira naik sudah ada beberapa penumpang yang menatapnya penuh intimidasi.
"Telat mungkin. Lo tumben naik angkot, biasanya minta jemput sama kita." Devin menyerahkan kipas lipat yang biasa Dita bawa.
"Mencoba hal baru." Akira menyambar kipas tersebut cepat, lalu mendudukkan diri di atas meja sambil mengipasi lehernya yang penuh dengan keringat.
"Gaya-gayaan hal baru. Nanti kalau dempetan sama cowok aja langsung lo tendang." Kali ini Ken menyahut dengan nada sedikit mengejek.
Akira menatap Ken kesal. "Kali ini gue toleransi, tapi kalau dia sengaja ya maaf-maaf aja."
"Sama aja, jamilah," sahut Devin tertawa kecil.
"Ra, lo dicariin anak baru tuh!" celetuk Dita sambil melangkah ke arah bangkunya.
Seketika Akira menatap punggung Dita penasaran, lalu bangkit menghampiri bangku Dita yang kebetulan bersisian dengan Devin. Perempuan bermata sipit itu menganggukkan kepalanya singkat untuk meyakinkan Akira.
Setelah yakin, Akira menoleh ke arah Devin, lalu menyerahkan kipas lipat itu sambil melenggang pergi ke arah pintu kelas. Sekilas ia melihat seorang laki-laki di sana. Akira penasaran melihat Alvaro kembali menghampiri dirinya. Kali ini tepat di depan kelas yang bahkan Akira tidak pernah mengatakan berada di mana kelasnya.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Akira penasaran.
Alvaro menoleh ketika mendapati Akira tepat di depan dirinya sambil mengerutkan dahi. Alis tebal milik perempuan itu nampak membingkai cantik. Sangat khas orang Asia yang biasa Alvaro jumpai. Tetapi, sangat berbeda dengan perempuan mungil itu yang cantik dengan cara alaminya sendiri.
Alvaro berdehem pelan. "Nanti istirahat lo ke kantin?"
Akira semakin tidak percaya dengan tingkah laki-laki itu. Bagaimana bisa Alvaro jauh-jauh datang hanya untuk menanyakan perihal istirahat. Padahal saat itu tiba Alvaro bisa menanyakan pada Akira, tidak seperti saat ini.
"Iyalah, gue biasa ke kantin kok. Emang kenapa sih?" Kali ini Akira tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Kepala Alvaro menggeleng pelan. "Kedua cowok itu pacar lo?"
Akira menolehkan kepalanya tepat mengarah pada Devin dan Ken yang menatap dirinya penasaran. Perempuan mungil itu semakin tidak mengerti arah pembicaraan Alvaro yang terkesan aneh dan misterius. Untuk apa laki-laki itu menanyakan hubungan dirinya dengan kedua laki-laki itu yang jelas-jelas sahabat dirinya sendiri.
"Dia pacar gue. Ada masalah?" sahut Akira spontan.
Seketika wajah Alvaro tidak bisa menahan keterkejutannya mendengar perempuan mungil yang ada di hadapannya ini mempunyai dua pacar sekaligus dalam satu kelas. Hal yang paling membuat Daffa tidak mengerti adalah bagaimana bisa.
"Oh, oke. Kalau gitu gue ke kelas dulu," pamit Alvaro buru-buru pergi dari hadapan Akira. Ia semakin tak terkendali saat menghirup wangi teh yang selalu bersanding dengan tubuh mungil sekaligus manis di hadapannya.
Kali ini Akira memakai ikat rambut dengan bandana hitam yang berpita di sebelah kanan. Biasanya perempuan mungil itu menggunakan bandana polos dengan lipatan yang selalu berada di atas. Entah apa yang membuat Akira membuat dirinya berbeda dari biasanya.
Justru hal tersebut membuat Alvaro semakin tidak berkutik. Jantungnya terus meronta-ronta saat bertatapan dengan Akira. Pipinya seakan memanas kala Akira menatap dirinya intens. Sepertinya tingkah Alvaro mencerminkan anak-anak SD yang baru mengenal cinta. Walaupun kenyataannya seperti itu, ia tidak akan mengaku. Karena mengaku sama saja menurunkan harga dirinya sendiri