"Kamu ikut ke jurnas, Ra?" tanya Kakek Hasbi membuat Akira menatapnya sekilas, lalu kembali menatap ke arah luar jendela.
Setelah menempuh perjalanan beberapa saat, Akira memutuskan untuk mampir ke salah satu keda. Ia ingin memakan sarapan pagi ini, sebab perutnya sudah berbunyi meminta asupan. Dan suara itu sangatlah mengganggu pendengaran. Karena berkali-kali Kakek Hasbi menahan tawa kala mendengar perut Akira bergemuruh.
"Ikut, Kek. Malam ini Akira latihan."
"Gor Ciracas atau ke Cempaka Putih?"
"Gor mungkin. Teh Echa belum ngasih kabar lagi."
"Latihannya jangan terlalu keras ya, Ra. Ingat kesehatan kamu lebih penting."
"Kakek, Akira hanya ikut ke jurnas, bukan mempertaruhkan nyawa demi peperangan. Memang atau kalah Akira sekarang lagi enggak menargetkan itu. Karena masih ada kejuaraan lain yang mau Akira capai."
"Bagus kalau kamu tahu itu. Karena sekuat apapun seorang perempuan, pasti membutuhkan laki-laki untuk melindunginya. Kakek hanya enggak mau kamu terlampau kuat menjadi lupa akan kodrat kamu sebagai perempuan."
"Iya, Kek. Akira paham."
Selepas itu, tidak ada suara yang kembali menyahutnya. Hanya suara dentingan sendok dengan garpu yang mengisi kesunyian kedai. Bahkan hanya segelintir orang yang datang. Itu pun sama seperti yang Akira lakukan.
Hingga dentingan pintu kedai berbunyi pelan. Terlihat dua sosok laki-laki gagah memasuki kedai dengan salah satu laki-laki itu nampak mengitari seluruh ruangan. Hingga pandangannya terpaku pada punggul mungil yang menduduk rendah di hadapan seorang lelaki paruh baya yang menatapnya cerah.
Alvaro yang merasa penasaran pun mulai menghampirinya. Dengan langkah tegas, namun pasti. Ia mengabaikan tatapan protes kakeknya yang menatap Daffa sambil mengerutkan dahinya bingung.
Menyadari seseorang mendekat, Kakek Hasbi menatap Alvaro datar. Sementara Akira nampak tidak peduli dan memakan sarapannya tanpa beban. Ia memang sangat tidak peduli dengan urusan kakeknya itu.
"Lo di sini juga?" sapa Alvaro membuat Akira mengangkat wajahnya.
Alis tebal sedikit menyatu itu berkerut bingung melihat kehadiran Alvaro di sini. "Lihat gue di sini kan, Kak?"
Bukannya marah Alvaro malah merasa sedikit penasaran. Bagaimana bisa perempuan ini sangat ketus padanya. "Kebetulan banget, ya."
"Mungkin," sahut Akira singkat.
Kakek Hasbi tersenyum kecil melihat ketidakramahan Akira pada sesosok laki-laki di sampingnya ini. Padahal Alvaro bukanlah seperti laki-laki yang lain. Namun, entah kesalahan apa hingga membuat Akira sebegitu kesalnya.
"Teman sekolah Akira?" tanya Kakek Hasbi membuat Alvaro mengangguk.
"Iya, saya kakak kelasnya. Kalau boleh tahu, Bapak siapanya Akira?" balas Alvaro sopan.
"Saya Kakeknya. Salam kenal," ujar Kakek Hasbi berjabat tangan dengan Alvaro.
Bagai kembang api di tahun baru, hati Alvaro bersorak gembira. Kini ia tahu bahwa Akira sama-sama dekat dengan kakeknya. Ini dapat memudahkan Alvaro untuk mendekati Akira. Ia semakin penasaran dengan perempuan mungil ini.
Setelah pesanannya selesai, Kakek Wijaya mulai menghampiri Alvaro dan duduk tepat di samping meja yang kini Alvaro duduki. Melihat cucunya yang tak kunjung beranjak, Kakek Wijaya pun menghampirinya dengan pandangan yang tertuju pada Kakek Hasbi.
"Hasbi? Tidak menyangka kita akan bertemu di sini," sapa Kakek Wijaya ramah.
"Kebetulan saya mampir ke sini untuk sarapan sebentar. Kalau kamu kenapa harus sarapan di luar. Apa sudah bosan makan makanan rumah?" ejek Kakek Hasbi setengah bercanda.
"Oh tentu tidak. Aku datang ke sini menuruti perintah Si Perut Besar. Kalau bukan karena dia, mungkin aku sudah tepat waktu," balas Kakek Wijaya tidak mau kalah.
Akira dan Alvaro spontan merasa sangat tidak mengerti dengan tingkah laku dari masing-masing kakeknya. Seperti sudah bersahabat sejak lama. Kompak mereka bertatapan sambil mengendikkan bahunya acuh.
Namun, kedua lelaki paruh baya itu nampak asik berdua dan tidak memperdulikan tatpan dari cucu mereka yang seakan ingin menelannya mentah-mentah. Sesekali tertawa kecil hingga kerutan halus di sekitar matanya tercetak jelas.
Akira meletakkan sendok dan garpunya perlahan. Lalu, menatap ke arah sisinya yang terlihat segelintir anak-anak bermain di taman. Sepertinya weekend pagi ini akan ramai dengan para keluarga yang menghabiskan akhir pekan mereka dengan bersantai. Tidak seperti sebelumnya yang terlihat sunyi dan sepi.
Senyum kecil di bibir polos tanpa make up itu nampak berwarna merah muda cerah. Sangat terlihat sekali bahwa Akira tidak pernah menggunakan pewarna bibir dan semacamnya. Jantung Daffa berdetak kuat saat mendapati senyuman indah dari Akira. Perempuan mungil itu tidak sadar menjadi bahan tontonan lelaki muda dengan senyuman yang ikut terbit.
"Biasa aja kali, Mas." Kakek Wijaya mendekatkan bibirnya tepat di telinga Alvaro, membuat lelaki muda itu menatap sang kakek kesal, lalu beralih pada Akira yang ikut menatap dirinya dengan tatapan tanya.
Alis tebal sedikit menyatu itu terangkat satu. Bibir yang tadi menampilkan senyuman, kini berganti datar. Menatap satu per satu, lalu kembali menandaskan minumannya dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Itulah Akira, sesosok perempuan tangguh yang mampu meleburkan hati Alvaro dalam sekejap.
"Kamu sudah selesai? Kalau begitu, ayo kita lanjut!" ajak Kakek Hasbi menepuk pelan punggung tangan Akira.
"Tapi, Akira bayar ini dulu. Kakek duluan aja," sahut Akira sambil memasukkan ponsel ke dalam tas kecil miliknya, lalu ia meraih dompet yang tergeletak di atas meja. Dan tanpa persetujuan Kakek Hasbi, Akira melenggang pergi. Tak lupa ia berpamitan pada Kakek Wijaya.
Sementara Kakek Hasbi hanya menggeleng sambil tersenyum maklum. Lalu, berpamitan pada sepasang keluarga kecil itu. Entah rencana Tuhan yang selalu datang tiba-tiba atau memang takdir yang datang mempertemukan Daffa.
Semenjak kepindahan dirinya di SMA Aryasatya, Alvaro selalu dihantui bayang-bayangan Akira. Sesosok perempuan cuek sekaligus ramah dalam waktu yang bersamaan. Seperti kemarin ketika dirinya bertemu dan berbincang sebentar, Akira nampak seperti sesosok teman yang asik untuk diajak berdiskusi. Tidak seperti sekarang yang nampak acuh tak acuh, bahkan mengabaikan dirinya yang jelas-jelas nampak di samping Kakek Wijaya.
"Kamu suka sama Akira?" celetuk Kakek Wijaya menepuk bahu Alvaro pelan.
Sepintas Alvaro tersenyum kecut, kemarin ia memang sedikit mengagumi sesosok itu. tetapi, entah kenapa ia merasa bahwa Akira terlalu cuek padanya. Rasa ketertarikan itu perlahan memudah, namun ia tidak bisa memastikannya.
"Ayo, Kek! Hari ini janji kan mau Alvaro bantu-bantu di kantor," ujar Alvaro mengalihkan pembicaraan, membuat Kakek Wijaya seketika melupakan pertanyaannya tadi.
"Oh ya, hampir saja kita lupa. Kalau begitu kita harus cepat, Alva. Hari ini Hotel Arysatya akan kedatangan tamu dari luar negeri. Kakek mengajak kamu untuk dapat membantu Kakek di sana. Belum terlambat untuk menghadiri pertemuan itu," tutur Kakek Wijaya sambil beranjak dari meja. Ia sibuk mengetikkan sesuatu di ponsel pintarnya.
Sementara Alvaro menghembuskan napasnya perlahan, lalu berlari kecil menyusul kakeknya yang telah siap di kemudi mobil. Hari ini kakeknya sengaja mengemudikan mobil sendiri. Dan entah mantra apa hingga Daffa mau mengikuti perkataannya.
***
Kedua laki-lai itu nampak bergumam pelan menatap perempuan modis yang tengah memoles wajahnya. Dimulai dari lipstick, eye shadow, blus on, hingga beberapa kali men-touch up bedak padat yang telah berulang kali di sapunya. Nampak modis dan sedikit berlebihan. Bahkan ia tidak akan pernah lupa dengan eye liner dan glither warna keemasan untuk sentuhan terakhir di sudut matanya.
Seakan puas dengan penampilannya hari ini, Cyra tersenyum lebar dan menampilkan deretan gigi behel miliknya. Entah penampilan norak apalagi hingga ia berdandan semeriah itu. Padahal Devin hanya mengatakan mereka bertiga ingin pergi mengunjungi mansion Kakek Hasbi. Tetapi, penampilan adalah hal yang paling Cyra junjung tinggi.
"Gila. Kita cuma datang berkunjung bukan lamaran. Lagipula lo enggak harus seheboh ini pakai acara dandan segala," protes Ken kesal. Wajahnya nampak sedikit kusut karena terlalu lama menunggu.
Jika kebanyakan lelaki selalu protes ketika menemani pacarnya berdanda, itu adalah hal yang benar. Sebab, untuk apa berdandan rapi, lalu kembali menjadi kucel dengan bau ketiak yang semerbak seperti bunga bangkai.
"Ken Anderson ... martabat cewek itu ada di penampilannya. Bagaimana bisa gue dapat pacar kalau dandan aja malas," sahut Cyra memutar bola matanya malas. Ia terlalu kesal menanggapi perkataan Ken yang terus menerus mempersoalkan dandanannya.
Devin menggebrak meja pelan. "Tapi, enggak harus seheboh kayak lo mau pergi ke sirkus. Dandanan lo ini mirip badut di Ancol tahu enggak?!"
Daripada berdebat panjang, akhirnya Cyra menutup mulutnya rapat-rapat dan mulai memasukkan satu per satu alat make up ke dalam kotak. Hari ini ia sengaja membawa kotak make up, karena walau bagaimanapun penampilan adalah hal yang peling utama di hidupnya.
"Serah lo! Gue tunggu di bawah, kalau sampai lima menit enggak keluar. Gue tinggal lo!" ancam Ken kesal, lalu melenggang pergi meninggalkan kamar Cyra.
Sementara Devin hanya diam sambil melenggang pergi. Tapi, sebelum itu ia sempat menatap Cyra dengan gelengan kepala. Entah apapun itu artinya, menurut Cyra pasti tidak sedap.
"Punya teman seperti Cyra ada enak dan ada enggak enaknya. Kenapa dia harus seribet itu kalau Akira saja bisa sederhana," gerutu Devin membanding-bandingkan sahabatnya. Ia terkadang tidak habis pikir dengan tingkah Cyra yang terlalu heboh.
Apa tidak rusak wajahnya jika harus diberi dandanan seperti orang dewasa. Padahal di umur yang belia ini, seharusnya Cyra mensyukuri memiliki wajah seperti bayi. Namun, karena terus menerus dipolesi make up membuat wajah itu sedikit terlihat lebih dewasa daripada umurnya. Berbanding balik dengan Akira yang sangat tidak sinkron dengan umurnya.
Akira adalah sahabat tertua diantara ketiganya. Karena perempuan mungil itu dilahirkan pada bulan kedua, yaitu Februari. Tetapi, karena perempuan mungil itu tidak memperdulikan make up, alhasil wajahnya terlihat lebih muda daripada Cyra yang nyatanya terlahir di tahun sesudah Akira.
Sementara Devin memiliki tahun yang sama dengan Cyra. Hanya bulan dan hari saja yang berbeda. Lalu, disusul Ken. Laki-laki setengah ramah itu memiliki tahun dan bulan yang sama dengan Akira, tetapi wajahnya jauh lebih muda daripada Akira. Karena Ken mewarisi gen wajah cantik di keluarga besarnya. Alhasil wajah Ken menjadi pesaing berat Akira ketika dijajarkan para wajah cantik. Entah keberuntungan atau sebuah kesialan bagi Ken Anderson.
"Gue rasa setelah balik dari mansion Kakek Hasbi bakalan berendam seharian. Bisa sawan kalau dekat-dekat Cyra terus," sungut Ken memandangi wajah Cyra kesal.
Dari sekian banyak teman-temannya, Ken hanya tidak menyukai Cyra. Padahal Cyra sendiri merupakan pribadi yang cukup baik. Meskipun sering mengabaikan Akira, tetapi di luar dari permasalahan itu semua. Hanya Cyra yang selama ini ia benci, perasaan tak suka yang terkadang membuat dirinya sendiri bingung. Namun, ia tidak memusingkan itu semua. Kali ini ia harus bersantai dengan Akira. Perempuan mungil itu sepertinya sudah menunggu kedatangan yang sangat mendadak ini.