Uap panas terus mengepul hingga membumbung tinggi ke udara. Suara sahut-sahutan antara wajan dengan sudip membolak-balikkan nasi yang terus diaduk. Harum khas makanan tercium di setiap indera penciuman. Termasuk Akira yang tak henti-henti tersenyum menikmati harum khas makanan yang begitu semerbak.
Sangat berbeda dengan laki-laki yang ada di hadapan Akira, nampak sedikit tidak nyaman dan berkali-kali mengibaskan tangannya sambil terbatuk pelan. Entah apa yang membuat Alvaro memutuskan untuk makan di pinggir jalan. Padahal ia mampu membawa Akira ke restoran mahal, tetapi dengan tegas perempuan itu menolak dan alhasil di sinilah mereka sekarang.
Sebuah kawasan di daerah Bekasi Barat, Wisata kuliner, begitulah nama tempatnya. Akira yang sangat hafal dengan tempat ini pun melenggang pergi tanpa memperdulikan Alvaro. Ia sangat terlena melihat jajaran pedagang makanan kesukaannya. Tepat ketika mereka masuk sudah disuguhi pedagang sate, soto ayam, dan nasi goreng.
Dan pilihan Akira jatuh pada nasi goreng milik Pak Jamal. Saking hafalnya dengan tempat ini, dirinya bahkan hafal semua nama pedagang yang ada, termasuk nama pedagang arum manis yang berada di paling ujung. Sepertinya ia harus mampir sebelum pulang.
"Gimana? Suasananya enak, 'kan?" Mata Akira menatap Alvaro dengan berbinar.
"Ya, sedikit." Baru kali ini dirinya makan di pinggir jalan. Tidak buruk, dan sangat menyenangkan. Apalagi bisa melihat wajah Akira yang begitu cerah.
"Ini nasgor paling enak milik Pak Jamal." Sebuah piring di suguhi tepat di hadapan Akira. Dirinya ber-high five dengan Pak Jamal. Bapak dari pedagang nasi goreng itu sekilas seperti anak muda jika bersanding dengan Akira.
"Neng Akira bisa saja," sahut Pak Jamal tersenyum lebar sambil melenggang pergi.
Sejenak Alvaro memperhatikan betapa lahapnya Akira memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Dalam hatinya sedikit tergelitik melihat perempuan mungil yang ada di hadapannya ini sangatlah rakut. Belum ada beberapa menit, nasi yang ada di piring Akira telah kandas. Hanya tersisa sepasang sendok dan garpu. Tidak ada sebutir nasi pun di sana.
"Kakak kok enggak makan?" tanya Akira menatap Alvaro bingung.
Hati Daffa bergetar kala mendengar Akira menyebut dirinya dengan 'kakak'. Ah manis sekali wajah perempuan mungil ini dengan mata kecil yang berkerlip di bawah bohlam lampu yang berwarna putih terang.
"Ini lagi gue makan," jawab Alvaro menunjukkan sendok yang penuh dengan nasi.
Kepala Akira mengangguk pelan sambil meraih gelas yang berisikan es teh. Seperti biasa, ia akan memakan es batu tersebut hingga tak tersisa. Memiliki kebiasaan memakan es batu memang sudah mendarah daging untuk Akira. Bahkan ia pernah dengan tampang bodo amat memakan es batu di salah satu kedai kopi Janji Jiwa. Tentu saja suara gemeletuk es batu membuat beberapa pengunjung menatap Akira aneh.
Alvaro melirik pipi Akira yang mengembung lucu. Seulas senyum menawan tercetak jelas, namun terlihat samar kala ia menutupinya dengan tangan yang tengah memegang gagang sendok. Tetapi, Akira melihat jelas senyuman Alvaro.
"Kakak ngetawain apa?" tanya Akira sambil berusaha mempertahankan es batunya agar tidak jatuh sia-sia.
"Lo lucu."
***
"Bi, Mamah sama Ayah belum pulang?" tanya Akira menghampiri salah satu asisten rumah tangganya. Ia adalah Bi Marsiah atau biasa dipanggil Bi Mar.
Melihat kedatangan Akira, Bi Mar tersenyum kecil. "Nona ketinggalan bus, ya?"
"Iya, Bi. Tapi, tadi Akira diantar kakak kelas. Jadi, enggak malam banget."
"Nyonya sama Tuan pulang malam, Nona mau apa?"
"Enggak, Bi. Aku udah makan di luar."
"Ya sudah. Sekarang Nona mandi habis itu temani Bibi buat kue."
Alis tebal hampir menyatu itu menukik ke atas dengan ujung yang sedikit naik. "Kue? Kue untuk apa?"
"Nyonya sama Tuan kan mau merayakan ulang tahun Kakek Hasbi. Nona lupa, ya."
Seketika Akira menepuk dahinya pelan. "Untung Bibi mengingatkan."
"Jadi, Nona harus mandi dulu, sekalian Bibi mencari bahan-bahannya di minimarket."
"Ok, Bi."
Akira pun meluncur ke lantai atas di mana tempat kamarnya berada. Sekilas ia melihat ruangan yang nampak gelap. Sepertinya Bi Mar lupa menyalakan lampu, ia pun memutuskan untuk menyalakan lampu. Tetapi, ada sebuah amplop yang menarik perhatiannya. Merasa sangat penasaran, Akira pun melangkah masuk. Ini adalah ruang kerja sekaligus ruang pribadi mamahnya.
Hospital Center. Begitulah kop yang ada di atas amplop berwarna hijau. Tidak ada nama lagi selain nama rumah sakit serta alamat yang tidak jauh dari tempat Akira bersekolah. Namun, ia tidak ingin mengambil pusing dan segera pergi dari ruangan tersebut. Ia harus bergegas mandi sebelum Bi Mar kembali.
Air dingin menyerap pori-pori kulit Akira. Meninggalkan rasa dingin yang menyejukkan. Cermin di hadapannya beruap. Ini pasti ulahnya tadi ketika menyalakan air panas sekaligus air dingin secara bersamaan.
Tangan kiri Akira terulur untuk mengusap, sekilas ia bisa melihat wajahnya sendiri yang dipenuhi bulir-bulir air. Tangannya yang usil membentuk angka 2020 di pojok cermin. Entah apa maksud dari angka tersebut.
Setelah selesai dengan segala hal termasuk memberi makan pada Pushy. Akira menuruni tangga satu per satu. Pandangannya tertuju pada dapur yang nampak belum ada tanda-tanda Bi Mar. Sepertinya wanita paruh baya itu belum kembali. Ia pun memutuskan untuk jalan-jalan mengelilingi taman kecil. Akira penasaran bagaimana tumbuhnya tanaman anggrek milik Romi.
Siapa tahu ayahnya Akira ini sangat gemar sekali mengoleksi berbagai jenis anggrek. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Perempuan mungil itu tersenyum melihat tanaman yang awalnya kecil menjadi lumayan besar. Hingga ponselnya berdering nyaring, membuat Akira merogoh saku kausnya.
"Teh Echa, tumben nelpon. Ada apa?" sapa Akira sambil melangkah masuk. Terdengar helaan napas dari seberang membuang Akira mengerutkan dahinya bingung.
"Lo latihan kapan? Gue ada waktu luang sekitar lo berangkat jurnas."
Suara Teh Echa terdengar semangat membuat Akira menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Enggak tahu, Teh. Gue masih bimbang soal latihan."
"Masalah pelatihan di dojo tenang aja. Gue udah usulin dari cabang dan mereka sanggup gantiin lo sementara waktu. Tapi, tinggal lo aja mau gimana."
"Oke, Teh. Akira ikut."
"Besok malam mulai latihan gimana? Kalau sekarang gue takut lo ada perlu."
"Siap, Teh. Nanti gue kabarin lagi."
Tepat setelah telpon Akira berakhir terdengar suara seseorang masuk dari depan, sepertinya itu suara Khansa dan Romi. Tidak ramai hanya terdengar gemuruh langkah kaki yang tak beraturan. Akira pun melenggang keluar, ia ingin menyambut kedua orang tuanya.
Senyuman Akira terukir lebar, tangannya terkepal senang sekaligus bahagia. Ia bahkan hampir saja menjatuhkan diri kala bergegas melangkah keluar. Saking bersemangatnya melihat orang tuanya pulang. Namun, senyum Akira luntur ketika mendapati itu bukanlah kedua orang tuanya, melainkan Bi Mar beserta Kakek Hasbi.
Rasa sesak menyelusup menjadi satu dengan rasa bahagia. Secepat mungkin Akira mengubah air mukanya agar terlihat tidak kecewa. "Kakek!!!" seru Akira sambil merentangkan tangannya.
Merasa ada seseorang yang memanggilnya, Kakek Hasbi pun menoleh dan terkejut melihat Akira yang tersenyum sangat lebar. Ia pun membalas pelukan Akira dengan tak kalah erat. "Kakek pikir kamu latihan hari ini."
Kepala Akira menggeleng pelan. "Mana mau Akira latihan kalau hari ini Hari Spesial Kakek."
Kakek Hasbi tertawa kecil. "Kata Bi Mar, kamu mau buat kue, ya? Ayo Kakek Bantu, pastii seru."
"Ayo, Kek." Akira menarik lengan Kakek Hasbi pelan. Membawanya ke arah dapur yang diikuti Bi Mar dari belakang. Wanita paruh baya itu tersenyum sendu.
Tanpa sadar malam pun tiba. Namun, tidak ada tanda-tanda kedatangan Khansa dan Romi. Sejujurnya Akira sangat berharap orang tuanya itu tiba dengan cepat malam ini. Hingga rasa sesak menyelinap masuk di lubuk hati Akira. Matanya berkaca-kaca memandangi kue yang telah siap untuk menjadi pesta kecil-kecilan.
Sebuah tepukan mengejutkan Akira. Ia adalah Kakek Hasbi. Sejak tadi lelaki umur setengah abad itu memandangi Akira dengan tatapan sendu. Ia tahu bahwa Akira tengah memikirkan kedatangan Khansa. Hari ini memang sedikit aneh.
"Jangan melamun," tegur Kakek Hasbi tersenyum tipis.
"Gimana kue buatan Akira, Kek?" tanya Akira berusaha mengalihkan perhatian. Ia yakin jika tidak cepat-cepat bertanya, sudah pasti Kakek Hasbi akan sedih. Ia tidak ingin memberi beban untuk kakeknya lagi.
Sejenak Kakek Hasbi menatap wajah Akira sendu. Ditatapnya bola mata coklat terang itu di bawah gemerlap cahaya. Seredup langit malam ini, tanpa bintang dan bulan. Bagaikan malam-malam yang lalu. Seakan mendukung suasana hati Akira.
"Bagus, Kakek suka."
Ketika Akira dan Kakek Hasbi sibuk berbincang tiba-tiba Bi Mar datang sambil tergopoh-gopoh. Raut wajahnya sedikit panik membuat Akira mengerutkan dahinya bingung. Sementara Kakek Hasbi hanya diam dan memperhatikan wanita paruh baya itu menetralkan napasnya yang tidak teratur.
"Bi Mar kenapa?" tanya Akira memegang bahu Bi Mar.
"Enggak, Non. Bibi hanya kelelahan tadi terima telpon sambil buru-buru naik ke lantai atas," jawab Bi Mar tertawa kecil.
Seketika Akira melepaskan pegangan di bahu Bi Mar. Ia sedikit kesal dipermainkan oleh wanita paruh baya itu. Hampir saja dirinya ingin melempar Bi Mar ke pluto. Biar tidak melihat dirinya lagi. sedangkan Kakek Hasbi tersenyum tipis melihat kekesalan di wajah Akira.
"Telpon dari siapa, Bi?" tanya Kakek Hasbi.
"Fakhrie, Tuan Besar. Dia mencari Nona Khansa," jawab Bi Mar.
Kakek Hasbi menghela napas pelan sambil melenggang pergi. Akira yang melihat keanehan dari wajah kakeknya hanya diam membisu. Ia tidak ingin mencampuri urusan orang dewasa, walaupun di hatinya merasa sangat penasaran, tetapi lebih baik diam dan menunggu Kakek Hasbi sendiri yang bercerita padanya.
Bi Mar mengelus punggung Akira lembut. Seakan wanita paruh baya itu tahu bagaimana perasaannya saat ini.