Berdiri bak patung pancoran membuat Akira sedikit kesal, lalu menatap Ken. Laki-laki itu nampak asik dengan gelembungan balon yang diciptakan dari permen karet. Matanya memandangi anak-anak melintas.
Sementara Devin terlihat asik dengan ponselnya. Laki-laki itu di mana pun dan kapan pun pasti akan bermain game online. Padahal Akira berkali-kali menghela napas kasar, namun tidak membuat laki-laki bertubuh menjulang tinggi itu mengalihkan perhatiannya.
Ken menoleh sekilas pada Akira. "Tadi jadi nganterin anak baru?"
Akira menatap Ken sambil mengangguk singkat. Lalu, matanya menatap salah satu kerumunan laki-laki, di sana terlihat Alvaro yang terdiam memandangi sekeliling dengan pandangan datar.
Namun, perempuan mungil itu tidak memperdulikan Alvaro. Ia malah asyik menjawab pertanyaan Ken yang sempat ia tunda beberapa saat untuk memastikan penglihatannya. "Jadi. Dia anak kelas atas." Kaki mungil Akira menendang pelan batu-batu kerikil di bawahnya.
"Oh. Kelas 12," sahut Devin memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menatap Akira yang menaikkan satu kakinya, lalu bertumpu pada kaki kiri dan menyandarkan tubuhnya di kursi.
Bagaikan kekasih, Akira diampit oleh dua laki-laki yang sama gagahnya. Namun, lama kelamaan Akira merasa lapar. Karena sejak bel istirahat mereka bertiga tidak mampir ke kantin. Hanya duduk di taman sambil memakan permen karet milik Ken, tetapi Akira yang memang tidak menyukainya hanya diam.
Cyra yang sejak tadi sudah melenggang ke kantin membuat Akira sedikit bersyukur. Kalau tidak pasti teman sebangkunya itu akan merengek pada dirinya untuk mengantarkan ke kantin. Tentu saja Cyra merupakan perempuan yang sangat manja.
Kepala Akira bersandar pada pundak Devin. "Kalian nggak mau ke kantin?"
Kompak Devin dan Ken menatap Akira sambil menggeleng pelan. Lalu, meluruskan kaki panjangnya. Kaki Akira terlihat sangat mungil dan paling pendek. Hal tersebut membuat Akira menekuk kembali kakinya sambil menegakkan tubuh, menatap sekeliling yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan sepi.
Tanpa sengaja mata Akira kembali bertabrakan dengan Alvaro. Entah sejak kapan laki-laki itu berada tidak jauh dari Akira. Padahal tadi ia melihat Alvaro tidak ada di sana. Namun, ia mulai merasa tidak nyaman saat Alvaro menatapnya terlalu intens.
Ken melihat gerak-gerik aneh dari Akira pun bertanya, "Lo kenapa? Kalau lapar, ayo ke kantin."
"Ayo!" ajak Akira dan bangkit dari bangkunya. Berbalik arah menatap kedua sahabat laki-laki yang terlihat malas.
"Vin. Ayo!" Ken menepuk pelan pundak Devin.
Mau tak mau Devin pun bangkit dan berjalan malas mengikuti kedua sahabatnya yang bergelayut manja seperti sepasang kekasih. Untung saja ia dan Ken tidak mempunyai pacar dan belum memiliki gebetan. Bisa mati jika ia terus-terusan bersama dengan Akira. Satu-satunya sahabat perempuan yang sangat manja.
Tanpa Akira sadari, Alvaro sama sekali tidak melepaskan pandangannya. Ia terus menatap Akira yang bergelayut manja dengan Ken. Namun, yang membuat dirinya tidak percaya adalah bagaimana bisa Akira mempunyai dua pacar sekaligus.
"Gila itu cewek," gumam Alvaro tersenyum samar. Ia merasa tergelitik melihat tingkah laku Akira yang sangat berbeda dengan tadi.
***
"Ra, beneran nggak mau kita antar aja?"
Suara Devin yang lagi-lagi membuat Akira kesal. Entah sudah berapa kali ia mendengar pertanyaan itu. Dan jawabannya masih sama.
"Nggak, Vin. Gue bisa pulang sendiri kok. Lo lupa kalau gue karate?" ejek Akira sambil tertawa kecil.
Ketiganya melangkah bersama ke arah pagar. Sepanjang koridor banyak yang menatap Akira dengan sorotan geli, namun tidak dapat dipungkiri ada pula yang menatap dirinya kesal. Secara Ken adalah ketos dan Devin ketua eskul basket, sementara dirinya hanya sebuah keberuntungan bisa bersahabat dengan laki-laki tampan tanpa celah.
"Latihan lagi kapan, Ra?" Kali ini Ken mengalihkan pertanyaan Devin. Sebenarnya ia juga muak mendengar pertanyaan yang sejak keluar kelas tadi sudah dipertanyakan.
Akira terlihat menimang sesuatu. "Gue belum mutusin, sih. Takut dojo nggak ada yang jaga. Kalau gue latihan," ujarnya dengan nada sedikit lesu.
"Gue bantuin, Ra." Suara Devin terdengar semangat.
Sementara Akira menilai Devin dari atas sampai bawah dengan pandangan sedikit tidak percaya. "Nggak! Dojo gue jadi apa kalau lo yang ngelatih," tolak Akira mentah-mentah. Ia tidak yakin jika Devin yang memegangnya. Bisa kabur semua para murid manisnya itu.
"Mampus!" hina Ken dengan tertawa mengejek.
Akira menghentikan langkahnya. "Udah sana lo semua! Gue mau tunggu bus di sini."
Seketika Ken menatap Akira dengan garang. Sama halnya dengan Devin yang menatap Akira seperti ingin memakan hidup-hidup. Keduanya sekilas nampak seperti pacar cemburuan Akira.
"Apa lo lihat-lihat!" tanya Akira galak, membuat kedua laki-laki itu spontan mengendurkan wajahnya dan tersenyum lebar.
"Beneran, Ra. Lo nggak mau diantar kita?" Wajah Ken terlihat sangat bersungguh-sungguh membuat Akira tertawa geli.
"Iya, sayang." Akira menepuk pelan lengan Ken dan Devin secara bergantian. Lalu, tersenyum manis. Kedua sahabat laki-laki ini nampak sekali ingin mengantarkan dirinya, padahal jarak rumah Akira dan rumah kedua laki-laki sangatlah terpaut jauh dan tidak searah, membuat Akira harus berpikir matang untuk merepotkannya.
Setelah kepergian kedua sahabatnya, Akira berdiri di trotoar sambil memperhatikan anak-anak yang mengedarai motor mereka. Dalam hati, Akira ingin sekali mengendarai kendaraan roda dua itu, tetapi dirinya tidak berani meminta kepada kedua orang tuanya.
Tanpa sadar Akira melewati bus yang seharusnya ia naiki. Karena terus melamun, ia sampai tidak ingat bahwa hanya satu bus yang akan melintas ketika sore hari seperti ini. Itu artinya ia harus berjalan sampai rumah.
Karena kecerobohannya inilah membuat Akira sedikit kesal dan menyusuri pinggiran trotoar yang dipenuhi pejalan kaki, tetapi tidak semua dari mereka berjalan ke arah yang sama seperti Akira. Kebanyakan dari mereka berbelok ke arah gang-gang kecil. Dan Akira berakhir dengan kesendirian.
Berkali-kali ia menghela napas pelan sambil menyeka peluh yang ada di dahinya. Kini bandana hitam itu bertransformasi menjadi ikat rambut. Karena sejak tadi ia berkeringat dan rambut-rambutnya sedikit lepek. Hal yang sangat Akira benci.
Tanpa disadari perut Akira sangat perih. Ia belum makan sejak istirahat tadi, hanya minum dan memutuskan untuk tidur di kelas. Kebiasaan Akira ketika sedang malas. Karena di rumah dapat ia pastikan tidak ada waktu tidur.
Suara klakson tiba-tiba mengejutkan Akira. Lalu, kaki mungilnya memerintahkan ia untuk menepi dan berbalik menatap seseorang yang ada di belakangnya. Alis tebal dan hampir bertaut itu menukik bingung melihat seseorang yang sama persis dengan orang yang hampir saja menabrak dirinya.
Kali ini Akira memasang wajah segarang mungkin. Sementara laki-laki itu menyandarkan motornya dan melepaskan tautan helm. Seketika mata Akira membulat. Itu adalah Alvaro.
"Gue kira lo diantar sama kedua pacar lo itu," ejek Alvaro tanpa memperdulikan wajah Akira yang menajam.
Perempuan mungil itu melangkah mendekati Daffa sambil berkacak pinggang. "Ternyata lo yang hampir nabrak gue tadi pagi."
Memang tadi pagi ia hampir menjadi korban tabrak lari. Dan itu karena kecerobohannya yang tidak sempat menoleh ke kanan dan kiri. Alhasil ia tidak mau menanggung malu harus memasang wajah tembok di depan laki-laki ini. Ia berharap tidak akan bertemu lagi.
Perkataan Akira membuat kerutan di dahi Daffa tercetak jelas. "Ralat, lo yang hampir nabrak gue."
Seketika Akira malu sekaligus bercampur marah. Dengan tampang tidak peduli ia melenggang pergi meninggalkan Alvaro yang berlari mengejarnya. Lalu, mencekal tangan kanannya membuat Akira menoleh sekilas dengan pandangan setajam silet.
"Gue perhatiin dari tadi lo jalan, jadi gue datang untuk menawarkan tumpangan kalau lo bersedia," ujar Alvaro menatap Akira tulus. Ia tahu perempuan mungil ini tengah menahan lapar.
Jika ditanya Alvaro tahu dari mana, biarlah hanya Alvaro yang tahu. Sebab, takdir selalu mempermainkan hati manusia. Karena gengsi Akira yang terlalu besar, ia pun menepis tangan Alvaro dengan sedikit keras.
"Nggak. Makasih," tolak Akira halus.
Lagi-lagi Alvaro mencekal pergelangan tangan Akira. "Gue tahu lo lapar. Setidaknya kalau lo enggak mau gue antar pulang. Lo harus mau gue ajak makan." Langkah kaki Alvaro yang panjang membuat Akira sedikit kesusahan menyamainya.
Dengan berat hati, Akira pun menaiki motor besar Alvaro setelah beberapa saat beradu argument yang tentu saja Akira kalah. Dan lebih menuruti kemauan laki-laki itu tanpa harus bertanya. Karena ia yakin tidak akan ada habisnya.
***
Mulut kecil Akira berkali-kali bergumam mengabaikan tatapan bingung dari laki-laki yang sejak tadi sudah memperhatikannya. Mata tajam bak tatapan elang itu tepat mengarah pada bibir yang bergerak-gerak lucu, ia ingin menerka apa yang tengah dikatakan perempuan mungil itu. Ia sungguh penasaran.
Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan. Hanya senyuman tipis yang diakhiri kerutan di ke dua alisnya. Satu hal yang Alvaro tahu, Akira memiliki kebiasaan menukikkan alisnya atau mengerutkan dahinya ketika sedang bingung.
"Nanti lo balikin gue di tempat semula, ya." Mata kecil Akira menatap tepat pada mata hazel milik Alvaro. Ia baru sadar bahwa laki-laki di hadapannya ini tidak hanya tampan, melainkan sangat tampan. Entah mengapa Alvaro mempunyai warna mata yang sering berubah-ubah seiring berjalannya waktu.
Terpaku pada tatapan Akira membuat Alvaro sedikit kebingungan. Mata coklat terang itu mampu membuat dirinya tersihir meski hanya sesaat. Namun, efek yang ditimbulkannya sangatlah besar. Bahkan hampir membuat dirinya kehilangan akal untuk tidak mengarungi perempuan yang sangat menggemaskan ini.
"Emang kalau gue ke rumah lo kenapa?" tanya Alvaro menatap tepat pada titik kejujuran Akira.
Sejenak Akira mengalihkan pandangannya, ia tidak nyaman dengan tatapan Alvaro yang terlalu menelisik. "Gue nggak butuh tumpangan."
"Oh, ya?" Alvaro mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Akira.
Dengan wajah setenang mungkin Akira menjawab, "Lo bukan siapa-siapa gue dan nggak seharusnya lo peduli sama gue."
"Kalau gue suka sama lo dari pandangan pertama gimana?"