Chereads / TEARS OF DEATH / Chapter 1 - 2. Pemandu Murid Baru

TEARS OF DEATH

🇮🇩alexha
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 27k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 2. Pemandu Murid Baru

Mata hitam nan tajam itu terus menatap ke arah lelaki paruh baya tanpa mengalihkannya sedikit pun. Alisnya bertaut ujung dengan menukik di bagian ekornya. Tebal dan sangat menawan. Mewarisi seluruh kegagahan milik Arsyasatya. Dia adalah pendiri SMA Aryasatya.

Tidak nampak tua meskipun guratan halus terlihat di sekitar matanya. Lelaki itu nampak gagah memandangi cucunya dengan semburat senyum tipis. Hatinya tergelak kala mengingat kejadian dimana ia menyeret tubuh cucunya sendiri hingga sampai di Jakarta.

Tidak mudah membawa seorang laki-laki yang tubuhnya jauh lebih kuat dari dirinya. Namun, Itu semua tidak menjadi kendala bagi seorang lelaki paruh baya yang bernama Raden Wijaya Aryasatya.

Siapa yang tidak kenal dengan keluarga Aryasatya yang memiliki peran penting untuk membangun negara ini. Banyak cabang perusahaan yang bergerak di bidang properti maupun teknologi, termasuk SMA Aryasatya ini. Meskipun sekolah swasta milik pribadi, tetapi tetap saja tidak mencoreng predikatnya sebagai sekolah terfavorit.

"Kakek, Alva bisa cari sekolah lain, tapi enggak harus SMA Aryasatya juga. Bagaimana kalau mereka tahu bahwa Alva cucu dari pemilik sekolah itu?"

Setelah sekian lama memandangi wajah kakeknya yang tidak juga membuka mulut. Akhirnya Alvaro mengalah. Ia tahu, jika kakeknya ini adalah orang yang sangat otoriter. Apalagi menyangkut soal dirinya yang merupakan satu-satunya cucu penerus keluarga Aryasatya.

"Kakek akan urus semuanya," kata Kakek Wijaya singkat.

Melihat ketenangan dari Pak Tua Aryasatya membuat Alvaro sedikit geram. Bagaimana bisa Pak Tua itu tidak mengerti perasaan Alvaro. Sudah cukup dirinya dipuja hanya karena marganya. Ia tidak ingin masa remajanya ini akan hancur seperti masa kecilnya. Alvaro muak dengan orang-orang yang mendekatinya hanya karena ia tampan dan tentu saja banyak uang.

Alvaro meraup wajahnya dan bangkit. "Terserah, Kakek."

Kakek Wijaya tahu rasanya Alvaro yang dulu bukanlah Alvaro yang sekarang. Jika Alvaro kecil suka dengan segala fasilitas yang ia berikan. Alvaro yang sekarang justru muak dan tidak peduli dengan fasilitas yang dirinya berikan. Sedikit rasa bersalah menyusup di hati Kakek Wijaya.

"Maafin, Kakek." Setelah mengatakan hal tersebut yang tidak akan didengar oleh Alvaro. Kakek Wijaya bangkit, ia harus menyelesaikan perpindahan Alvaro dengan tangannya sendiri. Dirinya harus menyaksikan bahwa identitas Alvaro tidak akan terkuak hingga laki-laki itu lulus dengan menyandang marga keluarganya yang terdengar agung.

Sejenak para staf TU sibuk mengisi data-data Alvaro, sementara Kakek Wijaya dengan wajah berkharisma yang tidak pernah luntur memandangi satu per satu staf-nya. Ia tidak ingin membuat Alvaro tidak gembira. Ia harus membuat Alvaro senang. Kesenangan Alvaro adalah sebuah keharusan untuknya.

Banyak yang harus mereka siapkan untuk memangkas habis data identitas Alvaro. Semua itu mereka lakukan demi Kakek Wijaya.

Awalnya mereka mengira kedatangan Kakek Wijaya hanya untuk melihat kinerja dari masing-masing staf, tapi ternyata dugaannya salah. Lelaki paruh baya itu membawa sebuah tas tangan yang ia letakkan di atas meja dengan pandangan datar.

"Saya ingin Alvaro sekolah di sini dengan posisi sama seperti yang lainya. Saya tidak mau salah satu dari kalian bersikap tidak adil. Kalau Alvaro nakal, hukumlah. Begitupun sebaliknya." Kakek Wijaya memandangi seluruh staf TU.

"Baik, Pak." Suara Bu Sindy terdengar pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu merupakan salah satu staf TU bagian data siswa, yang artinya Cindy memegang peran penting dalam keberlangsungan ketenangan hidup Daffa di sekolah ini.

Setelah puas dengan kinerja para staf, Kakek Wijaya mulai meninggalkan ruang TU. Sepertinya Alvaro akan betah bersekolah di sini, walaupun laki-laki itu tidak akan pernah memandang dirinya sebagai sang kakek, melainkan Ketua Yayasan Aryasatya Group.

Seketika pandangan matanya mengarah pada salah satu siswi yang terlihat serius memandangi mading. Langkah Kakek Wijaya tegas dengan wajah datar, namun sangat menawan. Itu adalah Akira. Salah satu murid kebanggaan sekolahnya.

Mendengar langkah kaki mendekat, Akira menoleh dan tepat mengarah pada Kakek Wijaya yang tersenyum tipis. Ia tahu itu adalah Ketua Yayasan. Tetapi, untuk apa datang menghampiri dirinya?

"Bapak dengar kamu ikut jurnas," kata Kakek Wijaya menghentikan langkahnya tepat di samping siswi kebanggaannya.

Mata Akira mengerjap pelan sambil mengangguk kaku. Ia sedikit terkejut melihat lelaki paruh baya itu. Jika dulu ia senang, sangat berbeda dengan sekarang. Setelah insiden dirinya kalah dalam seleksi kota, Akira sangat malu berhadapan dengan pendiri sekolah SMA Aryasatya itu.

"Bapak harap kamu sungguh-sungguh. Lupakan kejadian kemarin. Anggaplah itu sebuah pelajar untuk kamu lebih kuat lagi," ucap Kakek Wijaya memegang bahu mungil Akira. Ia sudah menganggap siswi itu adalah cucunya sendiri.

"Tapi, Akira takut bakalan ngecewain Bapak lagi." Kepala Akira menunduk dalam.

"Bapak percaya bahwa kamu bisa!" Kakek Wijaya menepuk bahu Akira pelan.

Perasaan Akira sedikit menghangat dengan sikap Kakek Wijaya. Dengan mata yang berkaca-kaca Akira menatap wajah lelaki paruh baya di hadapannya sambil berkata, "Akira pasti lolos, Pak!"

Melihat wajah bersemangat Akira membuat Kakek Wijaya tersenyum tipis dan mengangguk sebelum melenggang pergi meninggal siswi mungil tersebut. Ia yakin bahwa Akira pasti akan gemilang dengan mengikuti ajang ke jurnas yang akan di adakan di Batam nanti. Sebuah kebanggaan yang perlu diapresiasikan. Salah satu siswi didikannya menjadi juara nasional.

***

"Dari mana, Ra?" Wajah Cyra mendominasi ketika Akira membuka matanya.

Setelah berbincang sebentar dengan Kakek Wijaya, Akira memang memutuskan untuk ke kelasnya saja. Dan kebetulan sekali di kelasnya sedang tidak ada orang. Merasa kantuk menyerang akibat menonton film drama Cina yang ia tuntaskan semalam, akhirnya Akira terlelap di jajaran baru belakang. Itu adalh bangku milik Devin dan Ken. Tetapi, entah mengapa Cyra bisa menemukan dirinya.

Tangan Akira terulur ke samping sambil perlahan bangkit. Ia pun menggerakkan tangannya yang sedikit kebas dan menatap teman-temannya yang sudah berkumpul.

"Dari mana, Ra?" tanya Cyra sambil mengibaskan lehernya dengan sebuah buku di tangannya.

"Dari bawah," ujar Akira singkat.

"Tadi kita semua dihukum gara-gara berisik. Untung banget lo enggak ada di kelas pas kita lagi jamkos," sahut Cyra sebal.

Wajah Akira terlihat penasaran. "Emang dihukum apaan? Kok gue enggak lihat tadi."

"Kita disuruh bersihin rooftop, basement, dan yang terakhir tangki air. Entah kesialan apa kelas kita hari ini sampai tangko air aja jadi bahan hukuman." Cyra merebahkan tubuhnya di sandaran kursi sambil memejamkan mata lelah. Roknya terlihat sedikit lembab dengan sepatu yang kotor karena debu.

Mata Akira mengarah pada Devin dan Ken yang terlihat berbincang dengan anak laki-laki di kelasnya. Pakaian mereka tidak jauh beda dengan Cyra. Hanya Akira satu-satunya siswi di kelas yang masih bersih dan wangi. Hatinya tergelitik melihat betapa kacaunya mereka.

"Akira! Lo dipanggil Bu Yasmin di ruangannya." Suara Dicka memecahkan hayalan Akira yang hendak tertawa sejak tadi.

Dengan langkah ringan Akira meninggalkan kelasnya. Semoga saja tidak ada hukuman kedua untuk kelasnya. Ia sedikit kasihan dengan beberapa dari mereka yang bahkan sampai ganti seragam akibat menceburkan dirinya di tangki air.

Sesaat Akira bertanya-tanya untuk apa guru piket itu memanggil dirinya.

"Ibu manggil saya?" tanya Akira ketika sampai di pintu ruangan yang kebetulan terbuka.

Di sana nampak Bu Yasmin tengah sibuk dengan beberapa tumpukan kertas di mejanya. Sementara yang menjadi perhatian Akira adalah laki-laki berseragam abu-abu terlihat kusut memandangi ponselnya yang menunduk. Sama sekali tidak mengalihkan wajahnya saat Akira bertanya tadi.

"Akira, Ibu minta tolong sama kamu untuk mengantarkan Alvaro ke kelasnya. Tadi Ibu sudah mencari Ken, tetapi Ibu rasa kamu cocok untuk mengantarkannya," kata Bu Yasmin sambil menatap Akira penuh.

Akira ingat, pakaian Ken sedikit lusuh. Itu pasti penyebab Bu Yasmin tidak ingin meminta bantuan kepada laki-laki itu. Pasti guru piket ini sudah mengetahui kelasnya yang dihukum massal dengan cara sadis. Membersihkan tangka air yang muat beberapa orang.

"Baik, Bu." Akira mengangguk patuh, lalu menatap Alvaro yang memasukkan ponselnya ke dalam saku celana sambil meraih tasnya yang tergeletak. Sama sekali belum menatap Akira.

"Tolong antarkan di kelas 12 IPS 1, ya. Setelah itu kamu bisa kembali," ucap Bu Yasmin diakhiri senyuman tipis. Lalu, kembali berkutat dengan pekerjaan yang sempat tertunda.

Lagi-lagi Akira mengangguk sebelum mengundurkan diri. Tak lupa ia menutup pintu ruangannya, siapa tahu Bu Yasmin ingin menutupnya, tetapi karena pekerjaan yang menumpuk membuat guru muda itu malas untuk bangkit.

Pandangan Akira mengarah pada sesosok laki-laki kusut di hadapannya. Ia tadi sempat mendengar laki-laki itu menggerutu, tetapi dengan suara yang tidak jelas membuat dirinya mengerutkan dahi bingung. Merasa sangat aneh dengan tingkah laki-laki di hadapannnya.

Merasa jenuh Akira pun mulai membuka suara. "Anak baru, ya?"

Alvaro menoleh sekilas siswi mungil ini nampak sekali ingin berkenalan dengan dirinya. Tetapi, ia tidak harus bersikap angkuh. Jelas-jelas siswi ini sedari tadi seperti boneka yang sangat menggemaskan dengan mata coklat berkelip ceria.

"Iya, gue Alvaro." Suara Alvaro terdengar berat.

Seketika Akira menatap penuh laki-laki yang kini berganti posisi di sampingnya, belum jalan meskipun berkali-kali mendesah pelan. Rasa lelah dan malas menjadi satu.

"Oke. Kita bisa jalan bersama sampai lo di kelas. Kebetulan kelas gue ada di bawah tepat kelas lo. Jadi, kalau ada perlu panggil gue aja," sahut Akira sambil melenggang pergi meninggalkan Alvaro yang menatap punggung mungil itu datar.

Kakeknya itu benar-benar mengenalkan Alvaro sebagai murid biasa. Tidak ada marga yang tercantum di identitasnya sebagai murid baru. Hanya Alvaro Kenzi tanpa marga Aryasatya yang selalu melekat di dalam dirinya.

Melangkah pelan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku membuat Alvaro terlihat sangat tampan. Apalagi garis keturunan Aryasatya yang mengalir kental di dalam diri Alvaro. Sepintas ia melihat siswi yang memekik kala ia tak sengaja menatapnya sekilas.

Merasa mendengar sesuatu, Akira pun menghentikan langkahnya yang spontan membuat Alvaro terjengit akibat menghentikan langkahnya tiba-tiba. Lalu, menatap Akira dengan wajah bingung. Siswi ini sama sekali belum menatapnya dengan pandangan memuja. Hanya bersahabat dan banyak tersenyum, dan itu salah satu kegemaran Alvaro. Menatap wajah manisnya Akira yang tersenyum ringan.

Baru saja Alvaro menginjak sekolah ini, tetapi hampir satu sekolah mengetahui dirinya sebagai murid baru. Itu pasti berkat siswi-siswi yang suka bergosip. Siapa lagi kalau bukan mereka, karena sejak tadi yang memekik kegirangan hanyalah mereka.

"Dia teriak-teriak kenapa, sih?" Alis tebal yang hampir menyatu itu menukik bingung dan menatap sekelilingnya yang diperhatikan beberapa siswi. Bahkan ada yang terang-terangan melihatnya dari jendela. Sontak Akira yang tidak mengetahuinya pun menjerit ketakutan. Ia sungguh takut dengan makhluk yang bernama hantu.

Alvaro menggeleng pelan menatap wajah polos Akira. Ia jadi penasaran, mengapa perempuan mungil ini nampak sangat polos. Padahal jelas-jelas mereka tengah meneriaki dirinya yang terlewat tampan. Namun, entah mengapa dengan sikap ini membuat Akira semakin menggemaskan di matanya.

"Bukannya biasa kalau ada murid baru?" Bukannya menjawab, Alvaro justru bertanya balik.

Kepala Akira menggeleng pelan. "Waktu itu ada murid baru juga, tapi enggak sampai seperti ini. Mereka jamkos kali, ya."

"Berarti gue satu-satunya murid baru yang membuat gempar sekolah?" Senyum mengejek dari Alvaro membuat Akira sedikit kesal.

"Enggak juga, ah." Langkah kaki Akira semakin cepat dan hampir berlari menaiki tangga. Namun, dengan mudah Alvaro menyusulnya. Jika dua langkah dari perempuan mungil itu, maka satu langkah untuk Alvaro berjalan. Sebab, tinggi mereka terpaut jauh. Akira hanya sebatas pundaknya saja, tidak lebih.

Perasaan Akira sedikit kesal dengan ucapan Alvaro tadi. Bagaimana bisa laki-laki itu percaya diri jika siswi yang baru saja melihatnya itu hanya karena ketampanannya. Jika semua orang tampan, apakah ada orang jelek?

Akira berusaha mempercepat langkahnya. Ia melihat papan nama yang bertuliskan '12 IPS 2' tidak jauh darinya. Ya, sebentar lagi Akira akan terbebas dari Alvaro. Itu artinya hanya kali ini ia berurusan dengan laki-laki aneh yang bernama Alvaro.

Sekilas Akira menatap wajah Alvaro yang ternyata lebih tegas daripada Ken, dan lebih gagah daripada Devin. Alvaro tampan dengan segala yang dimilikinya. Sederhana, namun berkelas.