"Kamu kenapa? Kenapa melamun? Apa ada masalah, Vin?" tanya Yena ibunya. Kevin tersenyum ke arah ibunya yang tengah terbaring lemah tidak berdaya di rumah sakit.
Yena tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit karena mengalami serangan jantung. Kevin yang tengah dalam perjalanan menuju tempat pertemuan, memutar balik mobilnya menuju rumah sakit. Saking khawatirnya Kevin terhadap sang ibu, ia lupa segalanya. Ia lupa untuk memberi kabar kepada Kamila.
Tapi setidaknya ia bisa bernafas lega karena kondisi sang ibu perlahan membaik meski masih harus dipantau di ruang intensif. "Ada apa Vin?" Yena kembali bertanya.
"Ngga ada apa-apa Ma."
"Jangan bohong sama Mama. Kamu pasti lagi sembunyiin sesuatu dari mama, iya kan." Kevin menggaruk kepalanya. "Katakan, ada apa? Apa ada masalah sama kantor?"
"Sebenarnya kemarin Kevin ada pertemuan penting yang sudah lama dijadwalkan sama Kamila. Tapi Kevin ngga jadi datang karena mau fokus sama penyembuhan Mama."
"Ya ampun! Aduh bagaimana dong. Kamila pasti kesusahan, Vin. Mama jadi ngga enak sama Kamila," ucap Yena merasa bersalah. "Ma, ini semua bukan salah mama. Siapa yang mau mama tiba-tiba kena serangan kayak kemarin, ngga ada yang mau Ma. Sudah mama istirahat saja. Urusan Kamila dan kantor biar Kevin yang ngurusin. Kevin ngga mau mama banyak pikiran dan makin lama tinggal di rumah sakit, oke."
"Tapi Vin..."
"Ssstt... Mama percaya saja sama Kevin ya." Yena menganggukkan kepalanya. Kevin benar, ia harus banyak istirahat agar cepat keluar dari rumah sakit. Mungkin nanti dirinya akan ikut menjelaskan kepada Kamila. Kevin tersenyum. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh ibunya.
"Ma, Kevin mau telpon dulu sebentar ya." Yena mengangguk.
Kevin keluar dari kamar mamanya dan kembali mencoba menghubungi Kamila. Lagi-lagi gadis itu tidak bisa ia hubungi. Kevin semakin yakin jika Kamila benar-benar marah kepadanya.
***
Keesokan harinya, Kevin tidak bisa menemukan keberadaan Kamila. Gadis itu tidak masuk kerja dan tidak ada keterangan apapun tentangnya. Kevin kelabakan sendiri karena semua jadwalnya Kamila yang menyiapkan. Tapi untungnya Kamila tidak lupa mengirim semua jadwalnya melalui email.
"Kamu ngga masuk kerja tapi ngirim jadwal kerja. Bagus banget!" gerutu Kevin kesal.
Ia menatap laporan pekerjaan sekaligus mengingatkan jadwalnya seharian ini. Ia pun mengetik email balasan untuk Kamila.
[Kamu dimana? Kenapa ngga masuk kantor?] email send.
Kevin menatap layar komputernya cukup lama tapi tidak ada email balasan lagi dari Kamila. Kevin benar-benar marah dibuatnya. Amarahnya tersulut gara-gara Paula dan teman-temannya datang ke kantor dan memaksa masuk ke ruang kerjanya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan wanita itu. Tidak bisakah ia diam sebentar dan tidak mengganggunya?!
"Apa lagi?! Aku lagi sibuk, banyak kerjaan," ucap Kevin dingin. Tatapannya lurus menatap layar komputer sambil membaca berkas yang masuk.
"Sayang, kamu kemana sih kemarin. Aku nyariin kamu tahu ngga. Kamu kan sudah janji mau temenin aku, kok kamu malah pergi sama si Babu sih. Sebel," gerutu Paula kesal.
"Babu? Siapa yang kamu bilang babu." Kevin tidak suka Paula mengatai orang yang tidak tidak.
"Itu loh beb, babu kamu si Kamila. Kamu pasti pergi sama dia kan kemarin."
"Dia sekretaris aku, bukan babu. Kamu ngga bisa bedain ya mana sekretaris, mana babu?"
"Whatever. Pokoknya di mata aku dia cuma babu," ucap Paula. "Kamu pikir kamu siapa?! Berani mengatai orang lain Babu. Aku paling ngga suka ya kamu ngata-ngatain Kamila seperti itu!"
Sudah habis kesabaran Kevin menghadapi tingkah Paula yang seenaknya. "Kamu kok malah belain dia sih. Yang jadi pacar kamu siapa? Orang dia memang babu kok."
Kevin menatap tajam Paula. "Lebih baik kamu pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi ke kantor tanpa seijin ku karena hubungan kita berakhir sampai disini."
"Apa?! Kamu mau kita putus?" Paula menatap Kevin tidak percaya. Begitu juga dengan kedua antek-anteknya. "Iya. Sudah lama aku ingin mengakhiri hubungan ini tapi dulu aku masih ragu. Tapi aku tidak akan ragu lagi untuk memutuskan hubungan ini. Selamat tinggal," ucap Kevin dengan santainya di hadapan Paula.
Jujur Kevin tidak pernah selega ini sebelumnya. "Ngga. Kamu becanda kan sayang. Kita ngga mungkin putus hanya karena masalah sepele, iya kan," ucap Paula ketar ketir.
"Apa wajah ku sedang bercanda?" Kevin menatapnya tajam dan datar.
"Ngga. Aku ngga mau kita putus sayang. Kenapa harus putus kalau selama ini kita baik-baik saja."
"Iya bener Vin. Kalian berdua serasi tahu," Diandra membela Paula yang sudah menangis. Kevin mendecih sebal. "Lebih baik bawa dia keluar. Mulai hari ini jangan sembarangan datang kalau tidak ada janji sebelumnya. Silahkan pergi." Kevin mengusir Paula dan teman-temannya.
"Ngga... aku ngga mau!"
"Kalau begitu kita pakai cara kekerasan." Kevin memencet tombol yang berada di mejanya. Ia menghubungi pihak sekuriti untuk mengusir Paula dan teman-temannya. Tidak perlu menunggu lama dua orang keamanan datang dan membawa ketiganya keluar dari ruangannya.
***
"Uhuk... uhuk..."
Kamila perlahan membuka matanya. Tubuhnya benar-benar tidak berdaya. Sejak kemarin ia tidak makan dan mium obat dengan benar, alhasil semalaman ia mengalami demam. Tidak ada yang bisa ia mintai tolong karena hanya dia sendiri yang berada dirumah.
Ia mengelus tenggorokannya yang teramat serak dan kering. Perutnya keroncongan, kehausan dan demam yang cukup tinggi. Kamila mencoba untuk bangun tapi terasa berat. "Ibu..." ucapnya sedih. Air matanya menetes membasahi pipi. Kamila teringat ibunya yang telah lama meninggal. Jika dirinya sakit, Nurma sang Ibu akan merawat dirinya. Membuatkan minuman hangat yang hanya bisa ibunya yang membuat. Ditengah kerinduannya kepada sang mama, pintu rumahnya diketuk dengan keras dari luar.
"Kamila... Buka pintunya!" Teriak Kevin menggedor pintu rumahnya.
Kamila mengerang saat mencoba bangun dari tidurnya. Teriakan dan gedoran Kevin di pintu rumahnya tidak berhenti sampai Kamila membukakan pintu. "Aku tahu kamu didalam rumah. Cepat buka pintunya, Mil."
Dengan susah payah, Kamila berhasil bangun dan turun dari ranjang. Kepalanya keleyengan dan penglihatannya kabur. Jalannya terseok-seok menuju pintu rumah. "Kamila... Buka pintunya," teriak Kevin lagi.
"Tunggu sebentar," ucap Kamila dengan suara seraknya.
Kamila meraih gagang pintu dan dengan sisa tenaga yang ada ia membuka kunci pintu dan ia sudah tidak ingat apa-apa lagi. Kamila pingsan tepat saat Kevin membuka pintu rumahnya. Beruntungnya Kevin berhasil meraih tubuh Kamila dengan cepat sebelum membentur tanah.
"Kamila, bangun. Mil kamu kenapa? Bangun Mil."
Kevin mengguncang tubuh Kamila tapi gadis itu tidak bergeming. "Ya Allah... badan kamu panas, Mil," cicit Kevin. Ia menggendong Kamila menuju mobil dan membawa gadis itu ke rumah sakit.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Kevin benar-benar khawatir. Sesekali ia menyentuh dahi Kamila dengan tangannya. Suhu tubuh Kamila semakin panas dan juga gadis itu meracau. "Ngga... Kevin ngga sama gue. Gue ngga bohong. Sumpah," cicit Kamila. Kevin mengerutkan dahinya, sepertinya ada sesuatu yang terjadi kepada Kamila dan Kevin ingin tahu.