Chereads / The Black Swan Behind (Bahasa Indonesia) / Chapter 23 - Calvin Lee (1)

Chapter 23 - Calvin Lee (1)

Emma berdehem sebagai bagian dari salah tingkahnya.

"Ma.. maaf. Aku terlalu semberono." Ucap gadis itu sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Melihat wajah bersalah Emma, Calvin langsung tertawa sambil mengibaskan tangannya di depan hidung "Ah.. Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri dan pertanyaan seperti itu sudah biasa dilemparkan kepadaku. Sungguh, aku sudah biasa." Ia mengedipkan sebelah matanya dengan ramah.

Meski begitu, suasana menjadi canggung diantara mereka berdua. Sebenarnya Emma itu gadis yang banyak bicara. Tapi ia selalu menjaga omongannya karena takut salah bicara. Seperti sekarang ini, ia takut salah bicara lagi dan kebingungan mencari topik.

"Orang tuaku sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat. Sejak itu, dari kelas empat SD, aku tinggal bertiga bersama nenek dan kakak laki-lakiku." Carita Calvin sendiri.

"Aku turut berduka.." Ucap Emma dengan wajah sedih. "Aku juga kehilangan ibuku saat masih kecil. Aku tau kau sangat kehilangan." lanjutnya.

"Trimakasih." Ucap Calvin.

"Lalu bagaimana dengan nenek dan kakak laki-lakimu? Apa mereka sekarang sudah tidak tinggal bersamamu lagi?" Tanya Emma.

Calvin mengangguk pelan "Ya. Mereka sudah ada di surga bersama kedua orang tuaku. Aku ditinggal sendiri di sini." Ia tertawa kecil. Seakan menghibur dirinya sendiri agar tidak terlihat terlalu menyedihkan.

"Ah… Begitu.. Maaf.." Emma menyentuh dadanya sendiri karena agak terkejut. Ia kembali merasa tidak enak pada pria di hadapannya itu. Pasti Calvin sangat kesepian selama ini.

"Iya, Tidak apa." Sahut Calvin. Lalu ia menarik nafas dalam. "Nenekku meninggal dua tahun setelah kematian kakakku. Maaf jika membebanimu dengan ceritaku ini.." ia kembali tertawa dengan wajah tidak enak.

Emma menggeleng "Jangan berpikiran begitu. Selama ini, aku berpikir untuk memiliki teman yang bisa saling menceritakan masalah. Apa pun itu, kalau bisa akan aku bantu. Setidaknya, kau bisa merasa sedikit lega setelah menuangkan keluh kesahmu. Itu yang dinamakan teman, kan?"

Mendengar kejujuran Emma, Calvin merasakan hangat di dadanya. Ia tersenyum lembut. Sebenarnya, ia tidak pernah menceritakan masalah hidupnya ini kepada siapa pun. Meski terkenal sebagai pria yang ramah, sejatinya Calvin tidak pernah memiliki teman dekat. Ia tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya dan terlalu sibuk pada tujuannya sendiri. Namun ia melihat sesuatu yang berbeda pada gadis yang bernama Emma itu. Bukan karena parasnya yang cantik, namun ia dapat melihat kejujuran dan ketulusan pada kedua mata indah Emma.

"Kau benar. Trimakasih sudah mau berteman denganku. Tapi Emma.. Sebaiknya aku memberitahukan hal ini dahulu kepadamu. Sebelum nantinya kau menyesal telah berpikir untuk menjadikan aku sebagai temanmu." Ucap Calvin.

Dahi Emma berkerut "Kenapa? Apa masalah gangster yang saat itu kau bicarakan dengan Troy?"

Calvin mengangguk "Itu salah satunya."

"Aku tidak masalah dengan itu. Aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan ikut campur pada masalah kalian yang tidak jelas. Kau yang bilang, bahwa perempuan tidak terlibat dalam masalah gangster, kan?"

"Kau benar. Tapi masalahnya bukan hanya pada gangster, Emma. Masalah itu ada di dalam diriku. Aku adalah pria bermasalah dengan masa lalu yang buruk. Jika kau melihatku sebagai pria yang baik, kau salah. Karena hatiku penuh dengan kebencian." Akunya.

Kening Emma semakin berkerut "Apa yang terjadi, Calvin?"

"Nenekku meninggal karena sakit. Meski sudah tua, tapi ia adalah wanita yang sehat. Tapi tubuhnya menjadi sangat lemah mulai sakit-sakitan setelah kakakku meninggal dunia. Nenekku menemukan kakak menggantung dirinya sendiri di kamar."

"HAH?!" Emma segera menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kedua matanya terbelalak. "Ba.. bagaimana bisa?"

"Kakakku melakukan bunuh diri. Ia yang menjadi alasan mengapa aku memburu para berandalan berengsek itu. Kejadiannya berawal saat aku masih kelas 5 SD. Saat itu kakakku berada di kelas 1 SMA, berbeda sekolah denganku…"

***

Flash Back (Calvin Lee Prov)

Namaku Calvin Lee. Anak bungsu dari dua dua bersaudara. Sejak kecil, hidupku sangat bahagia dengan dua orang tua, kakak laki-laki, dan nenek yang selalu mengisi hari-hariku. Tapi semua mulai berubah sejak aku duduk di kelas 4 SD. Kedua orang tuaku menjadi korban dalam kecelakaan pesawal komersial saat mereka sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negri.

Sejak itu, aku harus tingga bertiga saja dengan nenek dan kakak laki-lakiku yang bernama Lucas Lee. Sama seperti aku, kakak adalah anak yang ceria dan memiliki banyak teman. Karena anak pertama, kakak sangat disayang oleh kedua orang tuaku. Lima tahun setelah aku lahir, bisnis ayah dan ibu semakin merangkak naik, sehingga membuat mereka sering bolak balik ke luar negri. Karena itu, mereka sering meninggalkan kami bersama nenek. Namun bukan berarti mereka menelantarkan kami. Hanya saja, karena jarang menghabiskan waktu bersama mereka, aku jadi lebih dekat dengan nenek dan kakak laki-lakiku.

Karena sejak kecil kakaklah yang paling banyak menghabiskan waktu bersama kedua orang tuaku, dia jadi sangat dekat dengan mereka. Kakak adalah anak yang berprestasi. Ia sangat pintar dan sering menjuarai olimpiade sains dan matematika. Kakak mengaku, perjuangan itu ia lakukan hanya untuk menyenangkan hati ayah dan ibu. Mereka adalah semangat terbesar kakak.

Tapi kakak menjadi orang yang berbeda setelah kedua orang tua kami meninggal dunia. Bahkan jasad mereka tidak ditemukan, karena pesawat jatuh di tengah laut lepas. Kakak sangat terpukul. Aku tau itu… Tapi saat itu aku masih terlalu kecil untuk menyadari bahwa luka yang kakak derita terlalu besar.

Aku sangat menyayangi kakak. Sebagai seorang kakak, ia selalu memberi contoh yang baik kepadaku. Meski tidak sepintar kakak, tapi aku selalu mendengarkan nasehatnya untuk menjadi anak yang rajin belajar dan baik. Namun setelah kejadian itu, semakin lama, kakak jadi lebih sering mengurung dirinya sendiri di dalam kamar. Meski begitu, kakak tetap selalu tersenyum padaku. Menutupi luka yang ia rasakan, agar aku tidak ikut sedih.

Satu tahun berlalu, aku naik kelas 5 SD dan kakak masuk ke salah satu SMA di daerah Jesper, dekat jalan Jen Marry. Aku tidak tau kenapa, tapi tidak lama setelah menjadi murid SMA, kakak kerap kembali dengan seragam yang kotor. Terkadang juga terlihat goresan luka dan lebam di wajahnya.

Nenek sudah cukup tua saat itu. Ia menanyakan apakah kakak berkelahi di sekolah. Tapi kakak bilang, ia ikut club judo sekolah dan sering main sepak bola sepulang sekolah. Tentu saja nenek dan aku percaya dengan begitu saja. Karena kakak selalu tersenyum dan tertawa di depan kami. Seakan tidak ada yang salah dengannya di sekolah.

Hari itu, sama seperti hari biasa di sekolahku. Aku belajar di kelas dengan rajin. Tidak aku sangka, ternyata hari tersebut akan menjadi hari paling mengerikan di dalam hidupku.