Namun hal tidak biasa mulai kakak tuliskan di buku hariannya. Ia menuliskan bahwa ia tidak memiliki teman satu pun di SMA. Dan juga beberapa anak nakal di kelas mulai merundunginya.
Setiap hari, tanpa henti kakak menuliskan apa saja yang dilakukan oleh para berandalan berengsek itu. Awalnya mereka hanya sering mengolok-olok kakak, lalu berlanjut membuang-buang bukunya. Hingga lama kelamaan kakak mulai menjadi pesuruh dan dimintai uang oleh anak-anak itu. Kakak juga kerap dipukuli tanpa alasan. Parahnya lagi, semakin lama, yang merundungi kakak bukan hanya teman sekelasnya saja, namun beberapa kakak kelas yang kenal dengan mereka.
Karena uang jajan kakak cukup besar, ia selalu dipalak. Kakak juga tidak bisa membela diri dan semakin depresi. Tapi ia mengatakan bahwa aku dan nenek tidak boleh tau tentang apa yang ia alami. Karena ia sangat menyayangi kami dan tidak mau kami jadi terbebani. Bahkan kakak tidak mau orang lain tau bahwa adalah aku adiknya, karena takut aku ikut dirundung karena memiliki kakak seorang pecundang.
"Aku tidak kuat lagi. Hidupku adalah sampah. Aku adalah sampah. Aku yakin aku tidak berguna untuk Calvin mau pun nenek. Dunia ini tidak membutuhkanku, seperti aku tidak menginginkan dunia."
Itu adalah kalimat terakhir yang ada di buku harian kakak. Dari tanggal yang ia tulis, itu adalah satu hari sebelum kakak ditemukan sudah gantung diri di dalam kamar.
Dadaku sakit. Seakan sebuah pisau dihunuskan tepat pada jantungku. Aku menangis. Tangisan parah yang tidak berani aku perdengarkan suaranya. Kakakku… Ia mengalami itu semua? Hal seburuk itu.. Yang aku saja belum tentu sanggup menghadapinya, dan ia harus memendam segalanya seorang diri. Aku marah. Benar-benar marah. Sebuah perasaan dendam yang sangat besar muncul di hatiku. Aku harus membalas anak-anak yang menyebabkan kematian kakak.
Sebagai seorang remaja, yang aku tau adalah melaporkan masalah itu ke kantor polisi. Aku tidak bisa menceritakan apa pun pada nenek, karena takut sakitnya akan bertambah parah. Aku harus memperjuangkan hak kakak sendirian.
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, aku pergi ke kantor polisi dengan membawa buku harian kakak sebagai barang bukti.
Namun, tau apa tanggapan pihak kepolisian? Mereka tidak menganggap serius laporanku. Mereka mengatakan bahwa kasusnya sudah lewat dan tidak bisa diteruskan lagi. Mereka mengatakan bahwa kakak meninggal akibat depresi karena kematian orang tua kami. Masalah kakak dirundung adalah hal biasa yang terjadi di sekolah pada anak remaja. Perundungan tidak bisa dijadikan alasan seseorang untuk bunuh diri, jika orang tua mendidiknya dengan benar.
Aku memohon dengan berderai air mata. Itu adalah kakakku. Ia disiksa dan dipermalukan oleh teman sekolahnya. Kakakku sampai bunuh diri karena perlakuan mereka. Tapi para polisi sial itu tidak mau menanggapiku sama sekali. Mereka terus menyangkal dengan berbagai alasan.
Meski masih di bawah umur, aku tetap memperjuangkan hak kakakku di belakang nenek. Terus-terusan perjuanganku mengalami kegagalan dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Hingga pada akhirnya aku tersadar, bahwa pihak kepolisian di kota Handway sengaja menutupi kasus kakakku. Bahwa mereka justru lemah dan diinjak-injak oleh para gangster. Semua kasus yang melibatkan pemalakan dan bisnis ilegal akan mereka tutupi serapat mungkin.
Karena itu, aku memutuskan untuk mencari keadilan dengan caraku sendiri. Yaitu dengan mencari pelaku yang merundung kakak. Dalam perjalanan mengikuti jejak mereka, aku menjadi tau berbagai kejahatan yang mereka lakukan. Bagaimana sindikat mereka menjadikan orang-orang seperti kakakku sebagai mangsa paling bawah pada rantai makanan mereka. Hal itu membuatku sadar, bahwa bukan hanya hak kakakku yang harus aku perjuangkan. Melainkan semua korban perundungan mereka.
Suatu hari nenek jatuh di kamar mandi. Karena ia sudah sangat tua, nenek langsung kritis.
"Nenek. Aku baik-baik saja di sini. Aku akan membuat mereka membayar semua yang mereka lakukan pada kakak." Kataku di samping nenek yang sedang terbaring tak sadarkan diri.
Aku tau itu adalah saat terakhir aku bisa melihat nenek masih bernafas. Karena beberapa jam kemudian, nenek meninggalkanku seorang diri di dunia ini.
Setelah kematian nenek, aku tinggal seorang diri. Namun kini aku mempunyai tujuan hidup setelah sekian lama terombang ambing di ombak ketidak pastian. Aku akan menghancurkan para gangster itu. Agar keluargaku tenang di alam sana.
***
Emma mengusap air matanya yang hampir jatuh ke pipi. Ia tidak menyangka masa lalu pria di depannya itu begitu tragis. Emma memiliki beberapa saudara, dan ia tidak bisa membayangkan jika salah satu dari mereka meninggal dunia. Apa lagi meninggal karena bunuh diri.
Calvin tersenyum dan mendorong mangkuk bubur kepiting ke hadapan Emma "Buburmu akan dingin kalau kau tidak segera memakannya."
Emma masih mengatur nafasnya "Maaf.. Aku merasa sedih mendengar ceritamu. Seharusnya aku tidak bersikap seperti ini.."
"Seharusnya aku yang minta maaf. Sepertinya ceritaku menghancurkan nafsu makanmu." Ia menatap pada makanannya sendiri. "Meski begitu, aku masih baik-baik saja sekarang. Masa lalu tidak bisa diubah, jadi tidak perlu kita sesali. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah memastikan bahwa kejadian buruk di masa lalu tidak terulang kembali."
Emma mengangguk "Kau benar. Yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki masa sekarang dan menata masa depan."
Calvin tersenyum "Makanlah buburmu. Itu tidak akan enak jika sudah dingin."
Masih dengan wajah sedih, Emma mengangguk dan menyendokkan buburnya. "Ini enak.."
***
Dua orang itu keluar dari kedai seafood. Terlihat wajah mereka berseri-seri sambil berbincang dan sesekali tertawa.
"Hah.. Semakin hari udaranya semakin dingin, kan?" Ucap Calvin dengan uap menggumpal di depan mulutnya.
Emma mengangguk "Aku tidak tau musim dingin di kota Handway akan sedingin ini. Ngomong-ngomong, kau naik apa ke sini?"
"Motor." Ia menunjuk jauh pada sebuah motor sport berwarna merah yang terparkir tidak jauh dari mobil Emma.
"Oh.. Itu motormu.." Gumam gadis itu. Ia sempat melihatnya tadi saat memarkir mobil. "Motormu yang kemarin apa sudah tidak bisa terselamatkan?"
"Bisa diperbaiki. Namun akan memakan waktu cukup lama. Troy yang memberitahukannya padaku. Untung saja aku mendapat diskon darinya." Ia terkekeh.
Calvin melirik jam tangannya "Hari sudah semakin malam. Sebaiknya kau segera pulang. Ayo.." ia memberi gestur agar Emma berjalan di sampingnya.
Mereka menyebrang jalan dan berjalan santai menuju lokasi parkir mereka yang sebenarnya terletak cukup jauh dari kedai.
"Ngomong-ngomong.. Aku senang bisa bertemu denganmu di kedai hari ini." Ungkap Emma.
Calvin tersenyum "Sungguh? Sebenarnya selama ini aku selalu ingin mengajakmu makan bersama. Tapi aku takut kau mengira aku terlalu agresif. Karena.. Aku melihatmu seperti tipe orang yang tidak suka dinganggu." Jujurnya.
Emma tertawa kecil, namun mengangguk untuk membenarkan "Sejujurnya aku tidak pandai bersosialisasi. Sejak kecil aku selalu dikekang oleh orang tuaku sehingga tidak memiliki teman. Aku hidup bagai seekor burung di dalam sangkar. Tapi setelah sekarang aku bebas.. Kau bisa lihat sendiri, kan.. Aku kebingungan. Aku selalu merasa takut salah bergaul, takut membuat orang lain membenciku. Selalu berprasangka buruk, terutama pada laki-laki.."
"Ah.." Calvin tampak menyadari sesuatu. "Aku tau, kehidupan gadis berparas cantik sesungguhnya tidak semudah itu, kan?" tebaknya dengan tawa kecil.