Kedua mataku terbelalak. Jantungku berdegub keras dan nafasku memburu. Aku langsung membalik halaman-halaman koran tersebut untuk membaca berita lengkapnya. Ternyata berita itu dimasukan ke dalam dua halaman penuh beserta beberapa foto yang mengerikan. Dan foto yang membuat hawa dingin merasuk hingga ke tulangku adalah foto tali bekas bunuh diri yang masih menggantung di langit-langit kamar kakak dan foto penampakan seorang laki-laki yang tergantung kaku dengan wajah yang disamarkan. Tidak perlu aku mengamati lebih detil untuk tau bahwa sosok itu adalah jasad kakakku sendiri.
Air mata mengalir membasahi pipiku. Tubuhku masih gemetar dan nafasku terasa sangat sesak. Selama ini, yang aku tau kakak meninggal karena sakit asma. Itulah yang selalu nenek katakan.. untuk membohongiku. Tapi ternyata kakak membunuh dirinya sendiri. Tapi kenapa? Kenapa kakak melakukan itu?
Dengan hati teriris, aku merapihkan koran-koran tersebut seperti semula. Aku tidak mau, nenek tau kalau aku sudah mengetahui penyebab kematian kakak. Jika nenek tau, ia pasti akan semakin sedih dan itu mempengaruhi kesehatannya. Meski kecewa karena nenek telah membohongiku, namun aku tau bahwa nenek melakukannya karena takut mentalku jadi terganggu. Ia pasti ingin menjaga agar cucunya yang tersisa satu ini bisa selamat.
Meski bertingkah seakan tidak mengetahui apa pun, bukan berarti aku diam. Sejak mengetahui kebenarannya, diam-diam aku mencari tau asalan kakak melakukan bunuh diri. Awalnya aku berpikir bahwa kakak melakukannya karena depressi akibat kematian kedua orang tua kami, seperti yang dituliskan di dalam berita koran. Tapi aku percaya, pasti ada hal lain yang menjadi penyebabnya.
Sejak duduk di bangku SMP, aku mulai menyaksikan berbagai kejadian yang membuatku merasa tidak nyaman. Ya, ada berbagai kasus perundungan terjadi di sekolah baruku. Sebenarnya aku tidak terlalu memusingkannya, karena tidak pernah ada yang merundungku selama ini. Mungkin karena aku adalah anak yang cukup populer di mata pelajaran dan olah raga. Aku juga cukup pandai berteman.
Tapi aku tau ada beberapa anak yang tidak seberuntung diriku. Anak-anak yang tidak pandai bergaul dan pendiam. Mereka sering disebut sebagai pecundang oleh teman-temanku dan kakak kelas. Namun aku tidak terlalu memperhatikan anak-anak yang berada di dalam bayangan itu. Aku terlalu sibuk pada kesenanganku sendiri.
Tidak menyadari, bukan berarti tidak ada. Sejak mengetahui penyebab kakak meninggal, aku mulai menaruh perhatianku pada anak kelas yang disebut sebagai pecundang. Aku baru menyadari bahwa pakaian mereka selalu kotor dalam perjalanan pulang mereka dari sekolah. Aku baru menyadari bahwa mereka selalu dikerubungi untuk diolok-olok oleh kelompok anak laki-laki kelas. Aku baru menyadari bahwa mereka tidak memiliki teman. Aku baru menyadari bahwa mereka selalu terkucilkan.
Ingatan tentang sosok kakak yang pakaiannya selalu kotor saat pulang sekolah kembali terputar di benakku. Bayangan raut wajah tertekannya, yang dahulu tidak aku sadari sama sekali. Luka-luka di wajahnya tidak terlihat seperti cedera akibat olah raga, melainkan akibat pukulan. Mungkinkah saat itu kakak menjadi korban perundungan?
Prasangka buruk tersebut membuatku bergerak menuju kamar kakak. Sejak ditinggalkan oleh pemiliknya, kamar itu hanya baru dibersihkan sekitar empat kali saja. Nenek mau menjaga agar kamar kakak sebisa mungkin tidak berubah sama sekali.
Begitu aku membuka pintu kamar yang kini sudah berudara dingin itu, sekujur bulu kudukku meremang. Bukan karena takut, tapi prasangka atas kekelaman yang terjadi di tempat itu membuatku ngeri.
Karena nenek sudah tidak mampu berkeliaran di rumah lagi, aku bisa merasa tenang membongkar beberapa barang kakak untuk mencari bukti. Yang pertama aku hampiri adalah meja belajar kakak yang selalu tertata rapih. Di bagian atasnya terpajang beberapa piala dan mendali dari berbagai lomba akademis.
Setelah cukup lama mencari, aku tidak menemukan adanya bukti yang mendukung kecurigaanku bahwa kakak dibully. Hingga aku membongkar beberapa buku sekolah SMAnya dan mendapati bahwa buku-buku tersebut terlihat sangat kotor dan beberapa sudah rusak. Saat kejadian, kakak baru saja masuk SMA. Tidak mungkin bukunya rusak secepat itu. Dan juga, kerusakan pada buku-buku tersebut sangat tidak wajar. Seakan buku tersebut dengaja dirusak, bahkan ada noda bekas sol sepatu.
Dadaku semakin nyeri. Meski buktinya belum kuat, namun prasangkaku semakin bulat. Aku membongkar-bongkar laci dan lemarinya, namun semua nihil. Tidak ada bukti lainnya.
Dengan tubuh lemas, aku duduk tersungkur di lantai kamar kakak tanpa harapan. Mataku terpejam dan mulai berair. Aku sangat merindukan kakak. Kenyataan bahwa ia meninggal karena bunuh diri benar-benar menyakiti hatiku. Begitu aku membuka mata, wajahku menatap langit-langit kamar dan melihat palang kayu atap yang saat itu kakak gunakan untuk menggantung tali. Foto di koran kembali muncul di dalam bayanganku.
Aku merasa tidak sanggup lagi berada di dalam kamar itu. Dan berniat keluar saja. Namun sebuah ingatan tiba-tiba muncul di dalam kepalaku. Saat kecil, kakak pernah menunjukan tempat ia menyembunyikan kaset game yang ia beli diam-diam tanpa sepengetahuan ibu. Di kolong ranjangnya terdapat lantai kayu yang lepas. Ia menyimpan beberapa barang di dalam sana.
Aku merangkak masuk ke kolong ranjang yang gelap, menggunakan ponsel untuk menerangi. Seperti dugaanku, pecahan di lantai kayunya masih ada dan baloknya bisa diangkat. Sambil beberapa kali terbatuk karena debu, aku membuka lantai yang rusak itu. Di sana aku menemukan beberapa barang yang saat masih kecil, sangat penting bagi kakak, meski sebenarnya barang tersebut tidak penting sama sekali karena hanya berupa mainan. Namun ada satu benda yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Itu adalah sebuah buku tulis.
Aku mengambil buku yang keberadaannya terlihat mencurigakan itu. Begitu keluar dari kolong ranjang, aku langsung membuka isi buku tersebut. Setelah kubaca-baca sedikit, akhirnya aku mengetahui bahwa buku tersebut adalah buku harian kakak. Ia menyembunyikannya di dalam sana.
Kelihatannya kakak mulai menulis buku harian sejak ayah dan ibu mengiggal. Terlihat di halaman pertama, adalah tulisannya yang menceritakan hari pertama setelah kami menabur bunga ke lautan. Hari dimana, kami sudah harus menerima kenyataan bahwa kedua orang tua kami sudah tiada dan tidak akan ditemukan.
Tidak tahan, air mataku menetes atas tulisan kakak. Dari sana aku bisa melihat bahwa ia benar-benar hancur. Di buku itu, ia mencurahkan segala isi hatinya yang selalu ia pendam dan tidak pernah ia perlihatkan kepadaku dan nenek. Kemudian aku mulai membaca ke halaman selanjutnya dan halaman selanjutnya. Tapi cerita kakak mulai aneh.. Ia membicarakan tentang pergaulannya di sekolah yang semakin buruk.
Kakak menulis bahwa kesedihan hatinya membuat ia kehilangan minat untuk bergaul mau pun mengejar prestasi lagi. Karena itu, teman-temannya mulai menjauhi dirinya. Hingga saat kakak masuk SMA, ia mengatakan bahwa ia tidak mengenali dirinya sendiri lagi. Di saat itu pasti kakak sedang mengalami depresi parah.
Namun hal tidak biasa mulai kakak tuliskan di buku hariannya. Ia menuliskan bahwa ia tidak memiliki teman satu pun di SMA. Dan juga beberapa anak nakal di kelas mulai merundunginya.