Mendengar tawaran Calvin, Emma menggeleng dengan senyum ramah.
"Tidak perlu. Justru aku yang seharusnya mengantarmu ke rumah. Setidaknya mobilku masih berada dalam kondisi baik." Tolak Emma.
"Aku akan mengantar Calvin pulang. Kau bisa pulang duluan. Hari sudah terlalu malam." Ucap Troy.
Emma mengangguk dan tersenyum lagi "Trimakasih sodanya, Troy."
"Sama-sama." Jawab pria itu asal sembari bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu. Ia menaikkan rolling door sampai mentok ke atas dan keluar bersama kedua tamunya.
"Kau benar-benar tidak apa pulang sendiri?" Tanya Calvin dengan raut penuh kekhawatiran.
"Atau aku antar ke rumahmu. Aku ikuti dengan motorku." Tawar Troy yang nampaknya juga khawatir namun berusaha menahan diri. Toh mereka baru saja kenal. Ia tidak mau Emma merasa tidak nyaman.
Emma menggeleng sembari membuka pintu mobilnya "Rumahku sudah dekat. Trimakasih tawarannya. Aku duluan ya!"
Kedua pria itu mengangguk "Hati-hati di jalan." ucap mereka bersamaan tanpa sadar.
Emma tertawa sedikit lalu masuk ke dalam dan mobilnya lalu melaju pergi.
"Dia sungguhan bukan pacarmu?" Troy menatap Calvin dengan polos.
***
Sebuah tongkat baseball mengayun cepat, mendarat di punggung seorang pria bertubuh besar hingga tongkat tersebut patah menjadi dua. Pria itu meringis kesakitan untuk yang kesekian kalinya. Tubuh berototnya gemetar dan terkapar lemas di atas lantai kotor. Dia adalah Steven, anak kelas dua SMA yang merupakan ketua dari kelompok Mighty Hell. Kelompok berandalan itu sudah empat tahun melenggang bebas di sekitar jalan Davis dan jalan Lothy.
"BERENGSEK! KENAPA KAU LEMAH SEKALI?!!" Bentak seorang pria dengan rambut cepak dicat kuning neon. Ia meludah pada Steven yang berusaha bangkit dari posisi tengkurap, untuk kembali berlutut dengan sisa tenaganya.
Wajah pria malang itu penuh lebam berwarna keunguan dan benjol sana sini. Kening, hidung, dan mulutnya juga terus mengeluarkan darah dan cairan. Namun ia masih tunduk dan berusaha kuat. Meski sudah babak belur, ia tidak mau kehilangan harga dirinya sebagai pemimpin kelompok yang sudah ia besarkan selama ini.
"Dia hanya satu orang. Kalian sudah mengeroyokinya! Bagaimana mungkin kalian tetap kalah?" Pria itu tertawa heran. "Bagaimana aku menghadapi bos nanti, hah?! Seharusnya dari awal aku tidak mendukung kalian! Kau itu seperti anjing yang tidak tau diri. Sudah kuberi makan, tapi malah menggigit tanganku!" geramnya.
"A.. aku minta maaf. Dia.. sangat.. kuat." Suara Steven nyaris habis. Tiap ia membuka mulut, darah dan liur menetes keluar. Dan hal itu semakin membuat si kepala kuning mejadi kesal dan mengayunkan tendangan bebas pada tubuhnya.
"Itu karena kau sangat lemah dan tidak becus!" Sahutnya.
"Cody, dia itu.."
BUGHH!! Belum selesai bicara, sebuah tinju mendarat tepat di mulut pria malang itu hingga ia terjungkal ke belakang. Ia hanya bisa menerima dan meludahkan darah ke samping. Dua buah giginya ikut keluar bersama gumpalan darah tersebut.
"Heh, boneka beruang! Apa kau tau, apa dampak dari kesalahan yang kau lakukan? Kau tau kan, sumber penghasilan kita itu dari mana? Kau tau kan, dari mana uang yang biasa kau foya-foyakan itu berasal dari mana? Dan kau tau, jika bos besar tidak menginginkan kita lagi, apa yang akan terjadi? Apakah kita masih bisa bernafas bebas di kota Handway? Bahkan kau bisa diinjak oleh para pecundang yang selama ini kau palak!" Ucap pria bernama Cody itu, tepat di samping telinga Steven.
Lalu ia menampar-nampar pipi pria malang yang masih terkapar tersebut. "Kau terlalu banyak bermain, Steven. Kau bahkan tidak bisa mengurus anggotamu sendiri dan tidak bisa mempertahankan wilayahmu. Kau selalu mencari alasan atas kelemahanmu. Mulai detik ini, aku tidak ingin melihat Mighty Hell lagi berkeliaran di daerahku." Lanjutnya sebelum meludahi wajah Steven dan pergi meninggalkannya di gudang terbengkalai itu.
Cody keluar dari dalam pintu gudang yang gelap. Di depan bangunan yang sudah bobrok tersebut, semua anggotanya sedang menunggu. Salah satu pria bertubuh kurus tinggi memberikan sebuah ponsel padanya. Ia menerima ponsel tersebut dan menekannya sekali.
Ia menempelkan ponsel tersebut ke telinganya yang dipenuhi anting. Tubuhnya tegap layaknya seorang bos besar. Namun seketika punggung angkuh tersebut membungkuk ketika telponnya tersambung.
"Halo, Bos!" Sapanya penuh hormat. "Aku sudah membereskan anak buahku. Kejadian ini tidak akan terulang lagi. Aku bersumpah." Lanjutnya, lalu diam mendengarkan jawaban bosnya. Kemudian ia tersenyum sambil terbungkuk-bungkuk lagi. "Baik. Trimakasih, Bos! Trimakasih banyak!" ucapnya penuh kelegaan.
Di sebarang sana, seorang pria beralis tebal menurunkan ponselnya dan disimpan di dalam saku celana. "Cody sudah memecat anak buahnya."
"Hem.. Seharusnya aku tidak terlalu lunak padanya. Dia anak yang kepalanya berwarna kuning, kan?" Tanya pria berkulit putih pucat dengan bibir merah pekat seperti darah. Kedua matanya tajam seperti ular. Ia adalah ketua kelompok Black Hole.
"Dia memegang daerah kisaran alun-alun. Kalau tidak salah, kau mengangkatnya saat kau sedang mabuk saat itu." Ingat sang asisten yang bernama James.
"Ya.. Dia memohon seperti anak anjing kelaparan. Lagi pula itu hanya daerah yang kecil. Dia hanya bisa memalak sedikit anak-anak SMP dan SMA di sekitar sana. Kau tau kan.. mereka tidak memiliki banyak uang."
James mengangguk "Lalu apa kau akan membiarkan anak bernama Calvin itu?"
"Tentu saja. Untuk apa aku memusingkan satu ekor serangga sepertinya? Dia hanya akan berlari di tempat. Tandingannya hanya sebatas kelompok-kelompok serangga seperti Mighty Hell. Bocah itu hanya akan membuat dirinya sendiri lelah dan menyerah." Jawab sang ketua dengan menyesap gelas besar pendek berisi alkohol.
"Orang-orang seperti itu tidak akan bisa menyentuh kita, James." Lanjutnya lagi dengan senyum lebar.
***
"Satu, dua, hup! Satu, dua, hup!" Semua gadis melompat mengikuti arahan instruktur cantik bernama Diana.
"Ayo! Lebih semangat lagi! Ini adalah gerakan baru. Aku akan memasukkannya ke dalam salah satu gerakan untuk pentas." Teriaknya lagi.
Setelah dua jam berlatih, akhirnya kelas ballet berakhir. Semua gadis berhamburan membereskan barang mereka dan pergi menuju ruang mandi. Namun ada seorang gadis gigih yang masih berlatih di depan cermin. Ia adalah Emma Hilland, gadis cantik yang sangat ambisius untuk bisa menari dengan sempurna.
Emma terus melompat, seakan kedua kakinya memiliki pegas. Ia melompat tinggi dan mendarat dengan lembut. Namun di akhir gerakan, ia selalu menggeleng kesal karena gerakannya masih salah. Emma baru saja menekuni dunia ballet. Karena itu, ia agak sulit mengikuti dan tubuhnya tidak terlalu lentur dan seimbang. Tapi Emma tidak akan menyerah, ia terus berlatih setiap hari. Bahkan jika club ballet sedang libur, maka ia akan berlatih di rumah.
"Emma. Kau masih berlatih saja?" Kathy menghampirinya dengan tas olahraga yang sudah bertengger di pundak.