Emma menghentikan gerakannya dan menoleh. Ia tersenyum ramah "Kau sudah mau pulang?"
"Tentu saja. Apa kau tidak lelah? Latihan gerakan hari ini sangat sulit. Rasanya sendi-sendiku akan copot." Jawab gadis itu sambil memijat pundaknya sendiri. Rambut keritingnya sudah acak-acakan keluar dari cepolan yang semula masih rapih.
Emma terkekeh kecil "Kau duluan saja. Aku masih mau latihan karena masih belum bisa menguasai teknik ini."
"Astaga.. Bukan hanya kau yang belum bisa, Emma. Hampir semuanya di sini juga belum bisa menguasai gerakan itu. Jangan memaksa dirimu terus. Nanti kau bisa stress." Saran Kathy sambil menggeleng-geleng heran.
"Justru aku akan lebih stress karena tidak bisa menguasai gerakan ini." Tawanya.
"Heh.." Kathy mendengus sambil terus menggeleng, tidak habis pikir. "Jika kau terus berlatih seperti ini. Mungkin kau bisa mengalahkan Poppy ketika dia sudah kembali nanti. Dia pasti akan terkejut atas kemajuanmu yang sangat pesat. Ngomong-ngomong, kemana gadis itu pergi..? Aneh sekali, biasanya dia yang paling rajin di club ini.." pikirnya.
Emma hanya tersenyum. Mendengar nama Poppy, ia jadi teringat pada permintaan tolong dari Ms Diana. Sampai detik ini Emma belum sempat melihat Poppy lagi. Entah bagaimana, sepertinya gadis itu menghindari Emma. Bahkan di kelas, Lary dan Brian juga sangat terlihat menghidari dirinya.
Emma sempat berpikir, apakah ia harus menghampiri dua pecundang berengsek itu duluan? Tapi ia selalu berakhir mengurungkan niat tersebut untuk menghindari masalah.
"Kau duluan saja. Aku masih mau latihan sebentar." Ucap Emma.
Kathy mengangguk "Aku ada meeting online dengan club hackerku. Jadi aku memang agak terburu-buru. Aku duluan yah!"
"Oke. Sampai jumpa lagi.."
Emma kembali pada latihannya. Namun setelah mengobrol sebentar dengan Kathy, kini pikirannya jadi tidak fokus. Emma memang belum sempat mengenal Poppy dengan baik. Tapi ia merasakan sebuah ikatan khusus sehingga tanpa dapat ia kendalikan, ia merasa sangat perduli pada gadis itu.
Emma sudah berada di dalam ruang ballet selama hampir satu jam setelah latihan hari ini selesai. Tanpa disadarinya, kini ia sudah tinggal seorang diri di dalam ruangan besar yang dipenuhi cermin itu. Emma segera berberes untuk mandi dan pulang. Ia mengambil tasnya dan bergerak keluar dari ruangan.
Bugh!
Totebag yang gadis itu tenteng langsung terjatuh begitu ia menabrak seseorang. "Ah.. Maaf." Ucapnya. Ia sadar diri karena keluar dari pintu sambil sibuk mengutak atik isi tasnya, sehingga tidak memperhatikan ke depan.
"Tidak apa." Jawab seorang gadis.
Belum sempat Emma mengambil tasnya kembali, gadis itu sudah duluan mengambilkannya. Emma agak terkejut dikala menyadari siapa orang yang ia tabrak itu. "Oh.. Ah.. Trimakasih." Ucapnya dengan melongo.
"Kembali." Gadis bertubuh besar itu hanya tersenyum sekilas lalu melangkah pergi.
Astaga.. Jantung Emma hampir berhenti rasanya. Tidak disangka, ia bisa bertubrukan dengan Rachel Markway. Gadis yang terkenal misterius dan oleh anak-anak ballet, digosipkan bahwa ia itu kejam dan buas. Tapi dari kejadian barusan, Rachel tidak terlihat kejam sama sekali. Meski posturnya tinggi besar dan wajahnya terlihat galak, namun ia ternyata baik.
"Gosip adalah gosip. Tidak bisa dipercaya." Gumam Emma sambil menatap punggung gadis dengan jaket denim yang melangkah semakin jauh itu.
Begitu selesai mandi, seperti biasa, Emma akan pulang ke rumahnya. Kondisi kampus sudah sepi di jam segini. Meski sudah belanja bahan makanan beberapa hari lalu, Emma merasa sangat lelah kalau harus masak sendiri untuk makan malam. Karena itu, ia memilih untuk makan di luar.
Emma mengendarai mobilnya, berkeliling di pusat kota yang masih ramai. Di sekitaran sana, ada banyak alun-alun dan kedai makanan enak. Akhirnya Emma memutuskan untuk makan sup kepiting di sebuah kedai yang menyajikan berbagai hidangan seafood. Ia memarkir mobilnya dan berjalan kaki sedikit menuju kedai tersebut.
Emma masuk melalui pintu kecil yang hanya ditutupi oleh kain bergambar pohon bambu yang sudah agak pudar warnanya. Tempat itu masih cukup ramai, sehingga membuat Emma mencari-cari tempat duduk.
"Eh?" Emma tertegun ketika mendapati ada sosok pria berkaos putih tengah duduk sendirian di sebuah meja kecil. Dia adalah Calvin.
Merasa ada yang menatap dirinya, Calvin lantas menoleh ke arah pintu masuk. Ia mendapati Emma berdiri bagai patung di sana.
"Ehem.. Tolong jangan berdiri di tengah jalan." Seorang ibu-ibu yang hendak masuk ke kedai menegur Emma.
"Hei! Sini.. Duduk di sini.." Calvin melambai pada Emma kemudian menunjuk-nunjuk kursi kosong di hadapannya. Emma menurut dan langsung mengampirinya.
"Tidak kusangka kau makan di sini juga." Ucap Emma sembari duduk dan melihat sekeliling.
"Aku memang suka makan di sini. Makanannya murah dan enak. Karena itu tempatnya cukup ramai."
"Oh.. Aku baru pertama kali ke sini. Sejak pindah ke kota ini, aku baru dua kali makan di restoran dekat rumahku. Tugas kuliahku sudah aku selaikan kemarin. Jadi hari ini aku punya waktu untuk berkeliling. Aku lihat di plang depan, ternyata ada sup kepiting di sini. Jadi aku coba masuk." Cerita Emma.
Calvin tersenyum tipis sambil menopang dagu di telapak tangan kirinya "Sepertinya kau sedang senang. Seingatku kau biasanya tidak terlalu banyak bicara."
"Benarkah?" Tawa Emma. "Aku hanya tidak suka terlalu banyak bicara pada orang asing."
"Oh.. Jadi aku sudah tidak masuk kategori orang asing lagi bagimu?"
Emma mengangkat bahu "Kurang lebih seperti itu."
"Ini buku menunya. Kau belum memesan, kan? Aku juga baru datang." Calvin membukakan buku menu, mencari halaman sup kepiting, lalu menyodorkannya di depan Emma.
"Trimakasih." Ucap Emma sambil mengamati menu kadai tersebut.
"Di sini cumi goreng menteganya sangat enak. Kalau kau tidak suka minum bir, ada es lemon peras yang bisa mengurangi rasa amis." Jelas Calvin.
Emma mengangguk-angguk "Kalau kau pesan apa?"
"Aku cumi bakar madu." Jawabnya.
"Cumi? Aku juga suka cumi. Apakah itu enak?" Terlihat kedua mata Emma berbinar-binar.
Calvin mengangguk "Sangat enak. Lain kali kau harus mencobanya." Ia mengacungkan jempol.
"Eum.. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaanmu? Sejak malam itu aku tidak pernah melihatmu di kampus lagi. Apa kau ke rumah sakit?" Tanya Emma.
"Oh.. Ya, aku memulihkan diri. Tapi di rumah. Aku tidak suka pergi ke rumah sakit."
"Apa yang orang tuamu katakan? Apa mereka tidak khawatir?"
Calvin tersenyum miris dengan kedua mata menatap meja "Aku sudah tidak punya orang tua."
Mendengar jawaban Calvin membuat Emma ingin mengutuki dirinya sendiri. Seharusnya Emma mengingat bahwa dirinya kurang besosialisasi selama ini. Ia harusnya tidak bertanya terlalu banyak hal pada Calvin, hanya karena merasa mereka sudah berteman cukup dekat beberapa minggu ini. Mungkin Emma terlalu senang karena sudah mendapat teman baik, hingga ia jadi lupa diri.