"Gangster?" Potong Emma, berusaha mengendalikan mimiknya agar tetap tenang. "Apakah mereka gangster besar?"
Calvin menggeleng "Meski memiliki banyak bar dan kasino murahan, mereka masih termasuk ke dalam ukuran gangster kecil."
"Maksudmu, masih ada gangster-gangter besar di kota ini? Apakah mereka sangat besar hingga merajalela hingga ke luar Kota Handway?" Jantung Emma semakin berdegub cepat. Jika di kota ini ternyata ada gangster sebesar itu, bisa jadi mereka akan mengenal ayahnya. Dan tidak perlu waktu yang lama hingga identitas Emma yang asli akhirnya terbongkar.
"Masih ada. Tapi mereka tidak sampai merajalela keluar dari Kota Handway. Kota ini terlalu kecil dan sunyi. Sejujurnya, orang tidak akan ada yang menyangka kalau di kota ini ada gangster-gangster. Mereka seperti parasit. Menghancurkan kehidupan orang lain dengan kebusukan mereka." Pria itu jadi bergumam sendiri.
"Ka.. kau benar. Gangster memang menyebalkan.." Angguk Emma lemah. Ia merasa ada tusukan kecil di hatinya, mengingat, bahwa dirinya adalah putri dari seorang pemimpin ganster kelas kakap.
Emma tumbuh besar dengan harta yang didapatkan dengan cara menghancurkan hidup orang lain. Sangat menyedihkan dan menjijikan.
"Hei.." Calvin tertawa sambil menjentikkan jarinya di depan wajah Emma. "Kau kenapa?"
"Tidak.. Maaf aku melamun." Emma menyeringai kikuk. Lalu ia melirik jam tangannya "Oh.. kelasku sudah mau dimulai. Sebaiknya aku pergi sekarang." Ia melompat turun dari tembok tersebut.
"Hei.. Hati-hati, tanah di bawah tidak rata." Ucap Calvin dengan nada bercanda. Namun ia serius pada kata-katanya. Yang dilakukan Emma barusan cukup berbahaya dengan kedua kaki penari itu.
"Trimakasih. Tapi aku baik-baik saja. Jangan meremehkan kaki penari.." Sahutnya dengan bahu meninggi. Jika Calvin berpikir bahwa kaki penari itu lemah, maka pria itu salah besar.
"Bye.." Calvin melambaikan tangannya pada Emma yang sudah melakukannya terlebih dahulu, sembari hendak melangkah pergi meninggalkannya.
***
Seorang gadis bertubuh sintal sedang meregangkan tubuh sendirian. Dalam balutan baju ballet ketat berwarna merah muda, ia nampak seperti peri di negri dongeng.
Gadis itu bernama Emma. Ia akan datang ke kelas ballet sangat awal untuk latihan. Tanpa harus ia ungkapkan sendiri, semua orang juga akan tau seberapa ia menyukai seni tari anggun tersebut.
Tapi ada yang berbeda dengan kegiatan Emma kali ini. Dari wajah manisnya, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang serius. Hingga gadis itu tidak menyadari bahwa ada seorang gadis lain yang ikut meregangkan tubuh di sebelahnya.
Gadis beriris biru terang itu memperhatikan Emma dengan seksama.
"Ehmm.." Gadis itu berusaha sopan, agar Emma menyadari kehadirannya.
"Oh? Hey.." Sapa Emma begitu menyadari kedatangan gadis berambut ikal yang dicepol paksa itu.
"Aku selalu melihatmu datang lebih dulu. Tapi, baru kali ini aku memiliki kesempatan bicara denganmu." Gadis itu menyengir kuda sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. Lalu ia mengulurkan tangan pucatnya "Aku Kathania Dusk. Semoga aku tidak membuatmu kesal.. Haha.."
Melihat sifat Kathania yang ceria sekaligus pemalu, membuat Emma merekahkan senyum hangatnya. Ia langsung menjabat tangan itu "Aku Emma Hilland. Kau tidak mengganggu sama sekali, kok." tawa Emma. "Ah.. Ngomong-ngomong, biasanya kau datang terlambat."
"Heh? Kau memperhatikan?" Kathania melongo.
Emma mengangguk membenarkan "Aku selalu melihatmu datang setidaknya sepuluh menit setelah kelas dimulai. Maaf aku tidak menyapamu duluan. Sebenarnya, aku kurang pandai bersosialisasi." ia tertawa miris.
"Tidak.. Tidak.." Khatania menggeleng cepat hingga beberapa helai rambut keritingnya terbebas dari cepolan. "Jujur saja. Aku kira kau merasa kita berbeda kasta dunia, jadi kau tidak bicara dengan kami. Kau tau kan.. Lihatlah cermin itu. Lihat dirimu seperti apa.." Ia menunjuk cermin besar di hadapan mereka dengan dagunya.
Emma menggaruk pelipisnya dengan telunjuk "Haha.. Ya, orang suka berpikir begitu. Padahal lebih baik kalau tidak menilai orang lain dari fisiknya, kan?"
"Ups! Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Maksudku.."
"Aku tau.. Tidak apa." Emma tersenyum ramah. Ia benar-benar mengerti kalau Kathania tidak bermaksud buruk padanya.
Cklak! Bugh!
Mereka berdua serempak menatap sumber suara. Seorang gadis lagi baru saja masuk melaui pintu berat ruangan ballet. Pintu tersebut ditutup dengan kerasnya dalam satu kali bantingan. Meski ditutup dengan keras, namun semua tau bahwa gadis itu tidak bermaksud marah-marah. Tenanganya memang sebesar itu.
Dari postur tubuh sebesar itu, ia pasti sangat kuat. Tubuhnya tinggi dengan otot padat. Layaknya ia lebih cocok menjadi pegulat wanita dari pada penari ballet. Meski begitu, bentuk tubuhnya tetap terlihat cukup anggun, mungkin karena ia berlatih ballet.
"Itu Rachel Markway. Dia sangat pendiam dan dingin. Semua gadis di sini diam-diam takut padanya, kecuali Ms. Diana." Bisik Kathania.
"Ohh begitu.." Gumam Emma. Memang benar, ia juga sering memperhatikan gadis bernama Rachel itu. Tubuhnya sangat bongsor dan berotot. Ukurannya hampir sama seperti bodyguard wanita yang biasa mengekori Emma kemana pun.
"Oh ya.. Aku dengar, kau dekat dengan Calvin, ya?" Pertanyaan Kathania membuyarkan lamunan Emma.
Emma menatapnya dengan tanya "Aku tidak merasa dekat dengannya. Memang ada apa?" ia berbalik tanya. Baru saja berapa bulan menjadi anak baru, Emma sudah diterpa gossip!
"Oh.." Kathania tertawa kecil. "Sebenarnya ada gossip di kalangan mahasiswi populer tentang dirimu. Katanya kau dekat dengan Calvin, si pangeran kampus. Katanya, Calvin itu sangat memperhatikanmu. Mereka berpikir, itu terjadi karena kau sangat cantik dan modis." Jelasnya.
Penjelasan Kathania tentu membuat Emma semakin melongo. Padahal Emma hanya baru beberapa kali berbincang dengan Calvin. Itu saja dalam durasi yang sangat sebentar, layaknya iklan di TV. Ah.. Jadi begini kehidupan anak perempuan normal? Baru kali ini Emma merasakan rasanya dibicarakan dari belakang tentang laki-laki.
"Kau tidak perlu memikirkannya. Gadis-gadis itu terkenal genit. Mereka pergi ke kampus hanya untuk mencari laki-laki, bukannya belajar. Mereka hanya sirik padamu.." Tiban Kathania lagi sembari mengibas-ngibas tangannya.
Emma tersenyum "Trimakasih. Aku akan mengikuti saranmu untuk tidak memperdulikannya. Jujur saja, ini pertama kalinya aku mendapat gossip yang berhubungan dengan anak laki-laki."
"Serius? Memangnya dulu kau sekolah dimana?" Tanya gadis itu penasaran. Kedua matanya yang dikelilingi oleh lingkaran hitam, membulat besar. Mana mungkin gadis secantik Emma tidak pernah diterpa gossip tentang laki-laki. Emma adalah sosok gadis yang mampu memancing anak perempuan lain untuk mengarang bebas dan menjadi hiperbola, demi membuat Emma terlihat buruk di mata dunia, karena cemburu pada kesempurnaan yang ia miliki.
"Aku sekolah di rumah cukup lama. Ada sedikit masalah keluarga.." Jawab Emma enteng, namun berhati-hati. Dari nadanya, terbaca bahwa ia tidak ingin membahas itu lebih jauh.
"Oh.. Pantas saja kau tidak terbiasa." Angguk Kathania. Lalu ia tersenyum lebar, "Aku bisa menjadi temanmu. Apa kau mau?" kekehnya.