Tanpa Emma sadari, seorang wanita yang berdiri di balik meja kasir tengah memperhatikannya. Penampilan cantik Emma memang akan menarik perhatian siapa pun.
"Orang baru di Handway?" Pegawai kasir menyapanya.
Emma mengangguk dan melempar senyum.
"Kau sangat cantik. Kau masih sekolah atau bekerja?" Tanya wanita paruh baya itu. Kelihatannya semua orang tua di kota Handway sangat ramah. Berbeda sekali dengan anak-anak mudanya.
"Aku kuliah di Universitas Jardin. Aku tinggal bersama orang tuaku disini." Jelasnya dengan bumbu kebohongan. Siapa pun orangnya, ia harus berhati-hati.
"Oh begitu.." Angguknya sembari lanjut bekerja. "Kau harus berhati-hati jika berkeliaran jam segini. Jalanan tidak aman untuk perempuan saat malam hari."
"Aku tau. Trimkasih sudah memperhatikanku."
"Aku punya anak laki-laki sepantaran dirimu. Dia adalah anak yang baik dan penurut. Tapi sejak SMA, sepertinya dia berteman dengan anak-anak yang salah. Sampai sekarang, aku seperti tidak mengenalnya lagi. Ia jadi anak berandalan yang sulit diatur dan terus melawan orang tua." Kedua mata sayunya berkaca-kaca.
"Ah.. Maaf, seharusnya aku tidak membebanimu dengan ceritaku." Ucap wanita itu lagi.
Emma menggeleng "Tidak apa-apa, Bu. Aku mengerti. Kasih sayang orang tua akan tetap abadi, seperti apa pun perlakukan anak mereka."
Ibu itu tersenyum lembut, terlihat gurat-gurat lelah pada wajahnya, "Kau adalah gadis yang baik. Orang tuamu pasti sangat bahagia memiliki putri seperti dirimu." Pujinya.
Emma hanya tersenyum tipis. Di dalam hatinya, ia jadi merasa seperti tukang sandiwara. Sebenarnya omong kosong apa yang ia katakan pada ibu itu? Emma sadar diri bahwa ia bukanlah putri yang bisa dibanggakan oleh orang tuanya. Bahkan lebih parah lagi, Emma juga tidak dekat dengan orang tuanya sama sekali.
Setelah selesai membayar, Emma mengucapkan terimakasih pada ibu pegawai kasir dan beranjak keluar super market. Untuk seorang gadis yang hidup sendiri, belanjaan Emma cukup banyak. Baru-baru ini Emma menyadari bahwa ia memiliki hobi baru, yaitu memasak. Karena itu, ia berbelanja banyak bahan makanan.
"Uah.." Keluh Emma begitu kantung belanjaan terakhir yang berukuran paling besar berhasil ia masukkan ke dalam bagasi mobil.
Emma memarkir troli belanjanya di kumpulan troli lain yang terletak di pinggir lahan parkir, sebelum ia masuk ke dalam mobil. Kemudian ia menyalakan mesin dan melaju keluar dari lokasi super market.
"Kenapa kota ini aneh sekali? Pantas saja, meski pun indah, tapi sangat sedikit wisatawan datang ke sini. Padahal tatanan kotanya rapih. Tapi kalau sudah malam, malah seperti kota mati." Omong gadis itu sendiri.
Laju mobil Emma masih agak pelan karena ia baru keluar beberapa meter dari parkiran super market. Lalu kedua mata tajamnya menangkap sosok pria yang sedang berjalan tertatih-tatih sambil mendorong motornya yang terlihat mogok di tengah kegelapan jalan.
Sebenarnya Emma tidak terlalu perduli dan berniat melewatinya saja. Tapi semakin dekat, ia merasa mengenal motor sport yang terlihat seperti baru saja tertabrak kereta dan terseret sejauh sepuluh kilometer itu.
Emma memelankan laju mobilnya begitu sudah mendekati pria yang berjalan nyaris membungkuk tersebut. Sang pria menoleh begitu mobil sudah berada di sampingnya. Emma yang dari awal sudah fokus menatap jendela langsung terngaga.
Gadis itu segera menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela, "Calvin?!"
***
"Apa yang terjadi padamu? Siapa yang melakukan ini?" Cecar Emma dengan tatapan horror.
Wajah Calvin babak belur dan beberapa bagian jaket dan celananya sobek. Motornya juga sudah penyok sana sini bak motor rongsokan. Pria itu hanya tersenyum seadanya sambil menyeka darah yang terus menetes dari sisi bibirnya dengan kertas tissue yang diberikan oleh Emma.
"Aku kecelakaan." Jawabnya.
Emma menyindir dengan tawa sinis, "Kau kira aku bodoh? Orang gila juga tau kalau kau dipukuli."
"Bisa minta tissue lagi?" Tanya Calvin layaknya tidak perduli pada kekhawatiran Emma.
"Kita harus ke rumah sakit. Kau harus diobati." Gelengnya sambil bangkit berdiri dari pinggiran trotoar yang mereka duduki. "Bangunlah. Aku akan mengantarmu."
Calvin masih meringkuk tanpa berminat bangun sama sekali. Hal itu membuat Emma jengah hingga mengelus dada. Kedua mata sendu itu melirik kuda besinya yang sudah dinyatakan sekarat "Aku harus membawa motorku."
"Astaga.. Apa kau bercanda?" Tawa Emma, tidak habis pikir. "Motormu sudah tidak bisa digunakan lagi. Tinggalkan saja di sini. Gelandangan pun tidak sudih membawa motor itu."
"Motor itu sangat berharga bagiku. Aku tidak bisa meninggalkannya." Jawabnya dengan wajah sedih.
Emma hanya menatap pria itu dengan nanar. Mungkin benar bahwa motor tersebut sangat berharga bagi Calvin. Emma sendiri juga memiliki barang yang sangat berharga baginya, bukan barang mahal, hanya sepasang sepatu ballet yang lusuh. Tapi dibaliknya tersimpan kenangan besar yang sudah mengubah hidupnya.
Dari ekor matanya, Emma merasa ada cahaya kuning mendekat. Ia menoleh dan mendapati ada sebuah mobil yang sedang melaju dari kejauhan. Dari cara pencahayaan lampunya yang seok dan suara karatnya yang sudah terdengar jelas, Emma langsung tau kalau itu adalah sebuah mobil tua. Entah mengapa ia terus memperhatikan mobil tersebut hingga jaraknya sudah cukup dekat.
"Truk pickup!" Seru Emma, melihat secercah harapan.
Lantas gadis itu segera melangkah cepat ke depan dengan melambaikan kedua tangannya ke atas sebagai simbol meminta pertolongan. Beruntung, pengemudi truk tersebut melambat dan berhenti di belakang mobil Emma yang terparkir di pinggir jalan yang gelap.
"Ada yang bisa aku bantu nona muda?" Tanya sang supir yang adalah seorang bapak tua dengan topi dan rompi lusuh. Dari truknya, terlihat bahwa ia sering beroperasi di sekitar dermaga untuk membawa hasil laut.
"Temanku baru saja mengalami kecelakaan. Motornya hancur parah dan aku harus membawanya ke rumah sakit. Apa kau bisa menolong kami mengangkut motor itu ke bengkel?" Tanya Emma.
Bapak tua itu belum menjawab, ia menelisik apa yang ada di balik punggung gadis itu dari balik jendela mobil. Tidak lama, ia mengangguk setelah melihat sendiri bahwa yang gadis itu katakan adalah benar.
"Dimana bengkelnya?"
"Tidak terlalu jauh dari sini. Aku bawa mobil sendiri, kau bisa mengikuti dari belakang. Bagimana?" Jelas Emma penuh harap.
Akhirnya pria itu mengangguk "Baiklah. Tapi kalian harus membantuku mengangkat motor besar itu ke atas."
Emma tersenyum lebar "Trimakasih, pak. Tentu kami yang akan mengangkatnya. Trimakasih banyak!"
Tanpa disadari, Calvin sudah bangkit berdiri di dekat motornya. Ia tersenyum polos begitu Emma menghampirinya dengan riang gembira "Kita dapat pertolongan. Cepat angkat motornya ke atas pick up bapak itu."
Calvin mengangguk "Oke. Trimakasih."
Meski terlihat sekarat, namun ada hal yang sangat mengejutkan dari pria bernama Calvin itu. Ia masih kuat menggotong motornya naik ke atas pickup dengan sedikit bantuan dari si bapak tua pengemudi mobil.