Emma menimang-nimang seberapa kuat tubuh Calvin. Dari sana Emma tau bahwa Calvin bukanlah sekedar pria muda biasa. Ia memiliki fisik terlatih seperti bodyguard ayahnya dan para petinggi di kelompok mafia sang ayah. Tapi itu hanya dari segi kekuatan, kalau dari teknik, ia tidak bisa menjamin. Karena bela diri bukan hanya sekedar mengandalkan kekuatan dan bobot tubuh, melainkan teknik yang tepat.
Setelah motor sudah naik, mereka langsung meluncur menuju bengkel yang berada di dekat halte daerah perumahan Emma, karena hanya bengkel itu satu-satunya yang ia tau di kota Handway.
Kedua mobil itu berhenti di depan sebuah bengkel dengan papan nama besar yang menyala terang di tengah jalan sepi. Emma keluar dari pintu mobil dengan wajah frustasi sambil memegangi kepalanya. "Ah! Tentu saja! Bengkelnya sudah tutup! Sial sekali!"
Calvin keluar dari kursi penumpang, bersamaan dengan bapak pengemudi mobil pickup "Oh.. Ini bengkelnya?" ucap si bapak tua.
Emma mengangguk "Maaf, aku tidak tau kalau bengkelnya biasa tutup secepat ini. Aku kira masih buka."
"Tidak perlu khawatir. Aku mengenal pemilik bengkelnya. Dia adalah temanku." Kata pria itu dengan dagu terangkat.
"Ah.. Syukurlah." Lega Emma.
Pria itu menghampiri pintu rolling besi bengkel tersebut dan menggedornya dengan keras seperti hendak mengajak ribut "Craig!! Ini aku, Moris!" teriaknya dengan suara serak khas pecandu rokok tingkat senior.
Setelah beberapa kali mengulangi hal berisik itu, akhirnya pintu dibuka dari dalam, meski hanya setengah. Seorang pria yang sama tuanya, menunduk melewati pintu tersebut untuk keluar. Janggut lebatnya terlihat menyatu dengan bulu dadanya yang tidak kalah lebat. Ia bertolak pinggang menghadap si pengemudi truk yang akhirnya diketahui bernama Moris.
"Ada apa kau menggangguku malam-malam? Aku kira kau sudah mati tenggelam di laut." Ternyata suara pria penuh bulu itu jauh lebih serak dari si bapak pengemudi truk.
"Ya, aku sudah bangkit lagi." Jawabnya. "Aku butuh bantuan disini. Hem.. sebenarnya bukan aku. Tapi mereka.." ia menunjuk pasangan anak muda yang berdiri kikuk di belakangnya.
"Perkanalkan. Aku Emma dan dia Calvin." Jelasnya. "Eum.. Begini. Jadi, temanku mengalami kecelakaan. Motornya hancur dan kami harus mengobati lukanya secepat mungkin." Lanjut Emma dengan menunjuk truk di belakangnya dengan jari tempol.
"Oh.. Ah.. Aku Craig." Lalu ia menatap Calvin dengan kedua lengan melipat di depan dada. "Kau tidak terlihat seperti baru saja mengalami kecelakaan. Kau tau itu, kan?"
Calvin mengangguk "Aku tau."
"Turunkan motor itu." Perintah Craig sebelum masuk ke dalam dan menaikkan pintu sampai mentok ke atas.
"Bagus. Kau selamat." Emma menepuk pundak Calvin dua kali.
Motor di turunkan dan Craig mendorongnya masuk ke dalam dengan diikuti oleh ketiga tamu yang tidak diundang. Di balik rolling door, tercium bau oli yang sangat kuat. Di sisi lain, ada sebuah meja berukuran sedang yang sangat berantakan oleh perkakas, kertas, uang, dan banyak botol bir kosong.
Emma melihat sekeliling dengan wajah yang nampak jelas merasa terganggu. Oke, dia harus memaklumi bahwa tempat tersebut adalah sebuah bengkel. Dan wajar saja, melihat pemiliknya yang terlihat tidak perduli pada kebersihan tubuhnya sendiri.
"Kau masih menerima pelanggan di jam segini? Kenapa tidak bunuh saja aku sekalian?" Sebuah suara berat membuat semuanya menoleh.
Seorang pria muda dengan kaos singlet putih dan sebotol bir di tangan menatap dengan wajah malas bercampur kesal.
"Troy?" Celetuk Calvin.
Pria bertubuh besar yang kaya akan otot itu menyipitkan matanya "Tunggu.. Kau Calvin Lee, idola gadis-gadis kampus, kan?"
"Wah.. Ternyata kalian saling kenal? Bagus!" Tawa Craig. Lalu ia menoleh pada putranya, "Bantu teman-temanmu ini. Aku ada urusan dengan pamanmu yang berengsek itu." Katanya dengan menurunkan stander motor.
"Ya, ada hal orang dewasa yang perlu kami bicarakan." Angguk Moris, mengedipkan sebelah matanya dengan senyum jahil.
Troy nampak tidak perduli, hanya menghela nafas dengan kasar. Ayahnya sudah berteman sangat lama dengan Moris, seakan mereka adalah saudara kembar yang berbagi satu tali pusar. Troy menarik dua buah kursi kecil dari kolong meja "Duduklah."
"Aku tidak tau ini adalah rumahmu." Ujar Calvin.
"Seingatku kita tidak saling kenal." Timpa Troy.
Emma masih menatap kedua pria tua yang dengan bergembira, keluar melalui rolling door. Lalu pintu besar itu menutup, diikuti oleh suara deru mesin truk tua yang perlahan menghilang.
"Berhubung kalian mengaku tidak saling kenal. Maka aku yang akan duluan memperkenalkan diri. Aku Emma Hilland." Ia mengulurkan tangannya pada Troy.
Pria itu hanya menatap tangan mungil halus yang mengambang di depan wajahnya "Aku Troy Roner. Kau bisa menurunkan tanganmu karena tanganku kotor oleh mesin."
"Oh.. Oke." Emma menarik tangannya.
"Jadi, siapa lagi yang menghajarmu sampai begitu?" Troy menatap Calvin.
"Lagi?" Ulang Emma.
Troy mengangguk sekali "Kau pacarnya, tapi tidak tau apa-apa tentang dirinya?"
"Kami tidak pacaran." Sahut mereka berdua secara bersamaan.
Troy tertegun menatap kedua orang yang mendadak berwajah semu itu, "Oke.. Aku sempat mendengar ocehan dari gadis-gadis kampus tentang hubungan kalian. Kau tau kan mereka sangat berisik." Ia mengangkat bahu.
"Kampus? Kita satu kampus?" Tanya Emma bingung.
"Troy satu angkatan dengan kita, anak jurusan teknik." Jelas Calvin.
Troy mengangguk "Mungkin kau jarang melihatku karena aku selalu sibuk di club Judo. Aku juga sangat jarang melihatmu, tidak seperti idola sekolah tampan yang duduk di sampingmu itu. Dia berkeliaran ke sana sini menebar pesona."
"Sama sepertimu. Kalau aku, selalu sibuk di club ballet." Tawa Emma, merasa menemukan orang yang satu frekuensi dengannya. Ia senang pada orang yang menekuni hobinya.
Calvin hanya menatap dengan wajah datar. Lalu ia berdehem "Apa kau punya kotak obat? Aku ingin mengobati lukaku."
"Oh? Tidak, Calvin. Kita akan ke rumah sakit." Emma langsung teringat tujuannya menaruh motor Calvin ke bengkel. Entah mengapa mereka malah berakhir mengobol di tempat ini.
"Tidak perlu. Luka seperti itu bukan apa-apa untuk orang seperti kami." Troy bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumahnya melalui sebuah pintu kayu yang dicat hitam dengan asal. Tidak lama, ia kembali lagi dengan sebuah kotak obat yang berukuran agak besar.
"Trimakasih." Ucap Calvin begitu kotak berwarna putih bening itu dilempar ke meja di depannya.
"Biarkan aku mengobati lukamu." Emma langsung menarik kotak obat tersebut. Ia membukanya dan cukup terkejut melihat isi kotak itu. Tampaknya sang pemilik sering sekali menggunakan kotak obat. Mungkin sering terjadi kecelakaan kecil saat memperbaiki motor?
"Jadi, siapa yang melakukan ini?" Troy menatap Calvin dengan intens.
"Mighty Hell. Mereka menjebakku dengan memberikan berita palsu pada siaran radio. Tenang saja, ini tidak ada sangkut pautnya dengan nama baik universitas kita." Jelas Calvin.