Kedua mata Emma membulat besar.
"Yaampun.. Tentu saja, Kathania! Orang yang sulit bergaul sepertiku, pasti senang bisa mendapat teman." Jawab Emma berseri-seri. Akhirnya ia mendapat teman sungguhan setelah sekian lama.
"Kau bisa memanggilku Kathy, agar tidak kepanjangan. Hehe.."
"Oke, Kathy. Ah.. Sebaiknya kita lanjutkan pemanasannya. Kelasnya sudah mulai ramai." Ucap Emma setelah memperhatikan sekitar. Tidak terasa, teryata mereka sudah mengobrol cukup lama.
***
Latihan hari ini selesai. Meski melelahkan, namun tubuh Emma terasa sangat segar setelah bisa berlatih ballet. Ia merasa sangat senang setelah berhasil menguasai salah satu teknik dasar ballet. Ms. Diana membimbing semua siswi dengan sangat baik.
"Huftt! Aku bingung apa yang terjadi dengan kakiku ini. Mereka tidak bisa diajak bekerjasama. Aku sudah lelah berlatih terus, namun tidak pernah berhasil. Sepertinya aku benar-benar tidak berbakat menjadi penari ballet." Keluh Kathania sambil merapihkan barang-barangnya ke dalam tas GYM hitamnya.
"Yah.. Harus aku akui, badanmu memang agak kaku. Lalu kenapa kau lanjut terus, kalau kau tidak suka ballet?" Tanya Emma yang masih meregangkan kedua kakinya sambil duduk lesehan di lantai.
"Sebenarnya, yang aku sukai itu adalah komputer. Sesuai dengan jurusan yang aku ambil. Tapi mamaku dulu bercita-cita menjadi seorang ballerina, namun gagal. Jadinya, sekarang dia memaksaku menari ballet karena aku satu-satunya anak perempuan di rumah." Jelas Kathania dengan kebawelannya. Tidak lupa bibirnya termanyun-manyun karena sebal.
Emma tertawa "Lakukanlah apa yang kau suka. Katakan saja pada mamamu kalau kau tidak menyukai ini."
"Heh.. Entahlah, Emma. Dia sangat pemaksa dan keras kepala. Setidaknya aku masih memiliki banyak waktu luang untuk menekuni cita-citaku menjadi seorang peretas professional." Ia bangkit berdiri dengan menenteng tas besarnya yang hanya menyimpan sedikit barang. "Aku duluan, yah.."
"Kau tidak mandi dulu?" Tanya Emma, tanpa berniat berdiri.
Kathania menggeleng "Aku mandi di rumah saja. Kebetulan rumahku ada di dekat sini. Kau mampirlah kapan-kapan."
"Haha.. Tentu. Dah.." Emma melambai sekilas. Kathania membalasnya sebelum melangkah pergi dan menghilang di balik pintu besar.
Emma tidak bisa menyembunyikan lekukan senyum pada sudut bibirnya. Sungguh ia merasa sangat senang bisa berteman dengan gadis seperti Kathania. Ia baik dan bawel. Gadis itu menceritakan banyak hal kepada Emma. Layaknya mereka sudah berteman cukup lama. Kathania terlihat seperti gadis yang jujur dan berterus terang. Emma sangat menyukai kepribadian gadis itu.
Tidak terasa, ruang ballet sudah terlihat sangat senggang. Tadi Emma dan Kathania lagi-lagi lanjut mengobrol, hingga lupa waktu. Tapi Emma tidak keberatan, karena ia memang lebih memilih menunggu ruang mandi cukup sepi. Sebenarnya Emma mengecap dirinya sebagai gadis introvert. Ia lebih senang menenyendiri karena terasa damai.
"Ms Diana. Trimakasih untuk hari ini." Emma yang sudah siap pergi ke ruang mandi, dengan totebag di tangan, berhenti sejenak sebelum meninggalkan ruangan ballet.
Wanita berpostur tegap dan lansing itu menoleh. Kedua mata indahnya membentuk bulan sabit seraya ia terseyum dan mengangguk "Trimakasih kembali." Ia membalas lambaian tangan Emma. Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Ah.. Emma." Panggilnya.
"Ya?" Emma langsung menghentikan langkahnya dan berbalas menghampiri Ms Diana yang tengah duduk bersila tidak jauh dari pintu. Wanita anggun itu langsung bangkit berdiri begitu Emma hampir sampai di hadapannya.
"Eum.. Jadi begini, Emma. Kau mengenal Poppy, kan?"
Emma mengangguk dengan wajah serius. Wajahnya menyesuaikan dengan ekspresi Ms.Diana yang juga nampak agak tegang. Apa yang terjadi dengan Poppy?
"Sebenarnya, aku merasa sungkan menceritakan ini kepadamu. Tapi aku melihatmu seperti gadis yang baik. Kalau tidak keberatan, aku ingin meminta tolong padamu mengenai Poppy.." Imbuhnya menggantung.
Emma mengangguk "Aku akan membantu apa pun jika aku sanggup. Apa yang bisa aku lakukan untukmu?"
Ms Diana nampak tersenyum tipis, menampakkan wajahnya yang agak lega, meski masih cukup tegang, "Aku hanya meminta tolong, jika kau melihatnya di luar kampus bersama segerombolan anak laki-laki, tolong hubungi aku. Apakah kau bisa melakukan itu?" tanya Ms Diana dengan tidak enak hati.
Kening Emma berkerut "Mungkin aku akan melakukannya jika tau penjelasnnya dulu, Ms. Apa terjadi sesuatu yang berbahaya pada Poppy?"
Awalnya Ms.Diana terlihat ragu dan kebingungan untuk membuka mulutnya, namun ia menarik nafas panjang sebelum menarik lengan Emma untuk duduk di lantai bersamanya. Mereka berakhir saling berhadapan dengan posisi cukup dekat. Khas dua sosok wanita yang sedang bergosip.
"Sebenarnya, Poppy adalah keponakanku. Akhir-akhir ini, mamanya mengatakan bahwa Poppy semakin berubah semenjak ia bergaul dengan kumpulan laki-laki. Aku melihat Poppy sempat berkeliaran bersama mahasiswa nakal dari kampus ini. Bahkan Poppy juga jarang masuk ke kelas ballet. Padahal ia sangat menyukai ballet sejak kecil. Ia tidak pernah bolos kelas jika bukan karena urusan mendesak." Jelasnya.
Tentu saja Emma langsung mengingat kejadian semalam. Jadi yang Ms Diana maksud adalah Larry dan kelompok pengecutnya. Oh.. Jadi mereka masuk ke dalam kategori pria nakal di kampus? Gerombolan anak laki-laki pengecut seperti mereka? Apakah lingkungan kampus ini bercanda?
Pantas saja.. Seingat Emma, Poppy adalah gadis ceria yang cukup bawel. Namun semalam ia terlihat berbeda dan lebih pendiam. Ia bagai sebuah tas tangan yang menjadi aksesoris yang ditenteng-tenteng oleh Donny. Cih! Pria menjijikan. Sial sekali, Poppy harus menjadi korbannya.
"Tentu aku akan melakukannya, Ms Diana. Dan juga kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menyebarkan gosip apa pun." Ia mengedipkan sebelah mata. Hempasan bulu matanya bagai sebuah kipas bulu yang menghembuskan angin segar pada wanita di hadapannya.
Ms Diana tersenyum lega dengan memegangi tengah dadanya "Ah.. Tentu saja aku bisa mempercayaimu. Aku tidak pernah salah menilai orang. Dan sepertinya aku benar lagi."
***
Ruangan mandi sudah hampir kosong saat Emma masuk ke dalamnya. Ruangan dengan dua puluh bilik kamar mandi itu, terletak tidak jauh dari ruang ballet, gym, dan lapangan olahraga indoor. Ruangan itu sangat bersih, memiliki fasilitas lengkap, dan cukup luas. Dan tentu saja.. ruangan mandi itu khusus untuk wanita.
Emma masuk ke dalam salah satu bilik yang dibatasi oleh tembok kaca buram berwarna biru langit, dengan pintu yang bermaterial sama. Ia menyalakan keran pancuran untuk mengecek suhu airnya. Emma tersenyum kecil lalu mengangguk setelah dirasanya suhu itu sudah cocok dengan selera dan kebutuhan raganya. Setelah itu, ia mengeluarkan peralatan mandinya.
Dengan pancuran air yang mengguyur kepala Emma, ia terhanyut dalam pikirannya sendiri. Suara musik jazz selalu diputar melalui speaker ruangan mandi itu dengan volume agak kecil. Emma kembali memikirkan berbagai kejadian yang ia saksikan beberapa hari ini.
Kalau dipikir, kenapa juga Emma menerima permintaan tolong Ms Diana? Jika ia melakukannya, tentu itu sama saja dengan mendekati sebuah masalah baru. Emma merasa bingung pada dirinya sendiri. Ia bingung apa yang sebenarnya ia inginkan.
Emma mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia ingin hidup normal seperti gadis lainnya. Namun hatinya selalu tidak tahan untuk – setidaknya – mengetahui masalah yang melibatkan sebuah kriminalitas, seperti gangster contohnya.