Pria itu melangkahkan kakinya pergi dari ruang Tata Usaha, ia berjalan menuju kelasnya. Beberapa murid tersenyum sopan kepadanya, siapa sih yang tidak mengenal pria tersebut?
Pria yang pernah menyandang sebagai ketua Majelis Perwakilan Kelas pada tahun lalu itu selalu mendapatkan perlakuan sopan dari beberapa murid.
Arjuna Mahawira Gardapati—Juna nama panggilannya, dia tidak ingin disebut dengan nama lain. Nama panggilannya harus tetap Juna dan Juna.
Juna berjalan ke kelasnya, sebelum benar-benar sampai ke kelasnya. Ia melirik sebentar di depan sebuah kelas, ia melirik kelas tersebut dan ia menangkap seorang gadis yang tengah asyik mengobrol bersama temannya.
Juna tersenyum tipis dan melanjutkan perjalanannya kembali, ia berharap perempuan tersebut tetap bahagia walaupun gadis tersebut benar-benar tidak merasa hidup bahagia di dunia ini.
GEPLAK—
"APAAN SIH ANJIR?" Ujar seorang pria yang tengah asyik bermain handphone tersebut diganggu oleh Juna.
"Lo tuh main hape deket banget, minus lo naik baru tahu rasa!" Juna memperingatinya sambil menjauhkan handphone milik temannya.
"Santuy aja dong bang, ini lagi asyik. Tadi gue lagi main di daerah Moscow. Banyak zombienya anjir!" Ujar temannya kembali fokus bermain game di handphone miliknya.
"World War Z kah? Ngikut dong!" Kini salah seorang temannya yang duduk di sebelahnya mengambil handphonenya dan menyenggol temannya.
"Play dah, gue siap dari tadi. Dah kalah nih," ujar Hansel—nama temannya yang handphonenya dipukul oleh Juna tadi.
Juna hanya menggelengkan kepalanya, ia mengambil handphonenya dan memasang AirPods di kedua telinganya.
You'll never be alone
Now look me in the eyes
I still love you
I still love you 'til forever
"Ngegalau terus pak'de pagi-pagi," ujar Markus—temannya yang tengah memegang gitar untuk dimainkan olehnya. Juna mendengarnya sekilas lalu melepaskan AirPods miliknya dan tersenyum menatap Markus.
"Tumben pak bawa gitar," ujar Juna kepada Markus saat melihat Markus tengah memasang kunci di palang gitarnya.
"Nganggur gitar di rumah, mending bawa ke sekolah. Ngecover yuk!" Ujar Markus sambil menatap ke arah Juna dan kembali fokus menatap gitarnya.
"Cover apaan?" Tanya Juna sambil mengangkat kedua alisnya.
"Lagunya HiVi, yang Bumi Bulan bagus tuh!" Ujar Markus sambil menggerakkan telunjuknya ke arah Juna karena berhasil mendapatkan ide.
Markus mulai memainkan jari-jarinya di palang gitar, Juna mulai menyamakan nada suaranya dengan nada gitar yang dimainkan oleh Markus.
Beberapa murid kelas tersebut menatap mereka berdua yang asyik memainkan lagu tersebut. Tak lupa juga ada beberapa teman sekelas mereka yang meng-upload video mereka untuk diunggah di insta-story milik mereka.
"Mantep konser dadakan!"
"Lain kali bawa gitar lagi, Mark!"
"Mantep Jun, nggak lama gebetan loh makin banyak termasuk gue ck."
Juna hanya tersenyum menanggapinya sedangkan Markus hanya menggelengkan kepalanya sambil melanjutkan memainkan gitarnya hingga akhir lagu.
Kita bagai, bagai bumi dan bulan.
"Berpasangan, tak sejalan." Ujar mereka sekelas menyahuti suara merdu milik Juna sekaligus menutup lagu tersebut.
"Sayang banget dulu lo nggak pernah masuk klub musik, malah masuk klub bahasa." Ujar Rima, teman sekelas mereka yang dulu merupakan ketua klub musik pada tahun lalu.
"Emang nih anak, mau beda sendiri Rim!" Ujar Markus membalas lontaran yang dilontarkan oleh Rima tersebut.
Juna hanya tersenyum, sampai suara speaker sekolah berbunyi sebuah pemberitahuan jika kelas akan dimulai dalam tiga menit lagi.
**
Pria itu bersiul sembari memperhatikan pelajaran di depan. Tak lama ia menaruh kepalanya di atas meja karena merasa mengantuk.
"Woy gila!" Panggil teman sekelompoknya saat melihat dirinya tengah menaruh kepalanya di atas meja.
"Ribut bodo, diam!" Kini seorang perempuan yang menyahutnya sambil menatapi temannya dengan tatapan tajam. Temannya hanya mendecak kesal sambil menatap dirinya kembali.
"Der, bangun yaelah. Entar kalau si Wati ngelihat lo begini, kita dapat soal nanti goblok!" Ujar temannya memperingatinya dengan suara kecil.
Dia tidak memperdulikannya, toh guru tersebut juga tidak melihatnya karena posisi duduknya yang sangat tertutup sehingga tidak kelihatan oleh guru yang mengajar.
"Woy para budakku, kerjakan nih tugas si Wati!" Kini seorang gadis yang tengah memberikan sebuah lembar kertas di tengah-tengah meja mereka.
"Tugas mulu anjir, nyontek kelompok Aisha aja," ujar Husen, temannya yang duduk di sampingnya sambil menunjuk ke arah kelompok sebelah mereka yang tengah mengerjakan tugas tersebut dengan serius.
"Nyontek mulu kerjaan lo babi, udah kelas dua belas aja nyontek mulu. Kerjakan tugasnya nah anjir!" Ujar Vienna, teman perempuannya sambil menatap tajam ke arah Husen.
"Ribut, sini-sini." Ujar Dery sambil mengambil kertas tersebut sambil membuka sebuah buku miliknya.
"Nih, siapa yang mau nyalin tugas ini?" Ujarnya kembali sambil menunjuk buku biru miliknya.
"Anjir lo, Der! Lo kok udah tahu soalnya?" Ujar Fausta, teman sekelompoknya yang menatapnya bingung.
Salah seorang teman perempuannya yang bernama Meyshia mengambil buku tersebut dan menyalin tugas tersebut.
"Dapat darimana lo? Kok soalnya sama?" Ujar Vienna sambil menatap tajam ke arah Dery dan menatap kembali lagi ke buku biru tersebut.
"Punya Yera, gue nyontek pas ditempat les hehe," ujar Dery yang dihadiahi kekehan oleh teman-temannya tersebut.
"Lo berguna juga ya," ujar Fausta sambil memberikan jempol kepadanya sedangkan Dery hanya menatapnya sekilas dan kembali meletakkan kepalanya di meja miliknya.
**
Juna sudah membawa motornya meninggalkan parkiran sekolah. Dari jauh, ia melihat seorang gadis tengah mengobrol dengan seorang pria sambil diselingi oleh tawa.
Dia hanya tersenyum saat memperhatikan mereka dari kejauhan. Juna tahu bahwa dirinya ini adalah seorang pengecut, ia melajukan motornya meninggalkan area sekolah.
Sekarang motor Kawasaki hitam miliknya sudah bertengger di rumah miliknya. Juna masuk ke dalam rumah miliknya.
"Oke baik, besok saya akan pergi ke meeting tersebut." Suara seorang pria dewasa memasuki gendang telinganya kala ia mengucapkan salam ke dalam rumahnya.
Ia melirik papanya yang tengah mengobrol melalui handphone miliknya di sofa ruang tamu tengah memakai pakaian rapi.
Ia menatap muka papanya. Garis wajah yang sudah mulai tampak, umurnya tidak muda lagi walaupun mukanya masih bisa dibilang awet muda.
Papanya sang pekerja keras tersebut membuat dirinya berinisiatif ingin seperti papanya, tetapi sepertinya keinginan itu sirna.
Buat apa bekerja keras jika keluarga hancur? Terkadang Juna sedikit kesal dengan papanya karena ia terlalu bekerja keras, tetapi Juna juga merasa bersalah jika ingin memberitahukan kepada papanya.
Intinya yang Juna inginkan sekarang adalah kembalinya mamanya ke dalam keluarga mereka untuk memperbaiki komitmen lama mereka yang telah mati.