Malam bulan purnama, tengah malam….
Seluruh anggota Geng Tengkorak sudah berkumpul semua pada malam itu di markas besar. Tua muda. Semuanya sudah hadir pada acara sakral ini. Sante sendiri sudah berdiri di tengah lapangan dengan santai. Sementara secara otomatis, kedua kelompok langsung terbagi dua kubu. Kubu pertama adalah para anggota geng yang menentang kepemimpinan Sante saat ini dan kubu kedua adalah para pendukung setia Sante yang didominasi oleh para anggota senior dari jaman kepemimpinan Dicky dan Arina sebelumnya.
Aura permusuhan yang begitu kuat sangat terasa di sana. Tapi Sante dengan polosnya, mengacuhkan itu semua. Salah satu anggota senior penentang Sante lalu maju ke depan dan mulai berkata.
"Sante Rhodes, pada malam hari ini, kami semua berkumpul untuk mengadakan sebuah ritual. Sebuah tradisi lama dari kelompok kita yang akan kita laksanakan pada malam hari ini….."
"Pengadilan Terakhir…."
"Sebuah ajang pembuktian atas semua tuduhan dan fitnah yang sudah sering terdengar cukup lama di dalam kelompok sejak kepergian Arina tanpa kabar setelah tiga bulan yang lalu…"
Sante terkekeh geli. Suara tawanya bahkan terdengar sangat keras di tengah malam yang sunyi tersebut. Tak ada seorang pun yang berani bersuara selain dari anggota senior tersebut. Semua mata hanya tertuju pada sosok Sante dalam diam.
"Tuduhan? Fitnah? Kesaksian palsu?? Apapun namanya…."
"Kalau kalian sudah tak percaya padaku, apa mungkin aku masih bisa membela diriku sendiri? Karena apapun yang akan kukatakan pasti salah di mata kalian. Benar kan?"
Sante tahu persis. Dengan banyaknya rumor keji yang beredar seputar dirinya diantara para anggota, kesaksian apapun akan percuma saja.
Sia-sia. Tak berguna.
Karena nama baiknya sudah hancur tak bersisa di mata saudara-saudaranya. Posisinya sekarang adalah seperti seekor domba yang tengah ditarik paksa ke sebuah rumah jagal. Tak berdaya dan tinggal menunggu hukuman mati atas dirinya.
"Ada tuduhan kalau kau sengaja merancang kudeta secara diam-diam lalu bersekongkol dengan geng Santa Crux untuk membuat bentrokan serta membunuh Arina dan menyembunyikan jasadnya sehingga kau bisa menjadi seorang pemimpin geng…"
"Apa itu benar??" tanya anggota senior tersebut dengan ekspresi wajah sangat serius.
Sekarang, Sante tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya bahkan lebih mirip seperti orang gila saking kerasnya.
"Membunuh Arina??? HAHAHAHAHAHA…."
"LUCU SEKALI …HAHAHAHAHAHA…"
Sante terus tertawa nyaring sampai airmatanya keluar saking gelinya. Siapapun penyebar gossip murahan tersebut, ia benar-benar sangat kreatif!!!
"Jika seperti itu, kenapa aku tidak melakukannya dari dulu?? Sewaktu ia datang pertama kali ke dalam geng. Sewaktu ia masih tak berdaya….aku pasti sudah membunuhnya dengan sangat mudah…HAHAHAHAHA…"
"Tapi dulu Dicky masih hidup!!!! Tak mungkin kau bisa menyentuh gadis itu selama Dicky masih ada!!!" bantah si penentang senior tersebut dengan sengit.
"Ada atau tidak ada Dicky, tidak masalah bagiku. Aku bisa membunuh siapa saja kalau memang ia menyebalkan dan Dicky tidak akan bisa melakukan apapun terhadapku…."
"Apa kau lupa julukanku, Rheno???" tanya Sante marah dengan mata berapi-api. Amarah sudah mendidih hebat di dalam dadanya. Siap untuk meledak kapan saja. Aura pembunuh memancar keluar dengan sangat kuat. Matanya berkilat dengan sorot haus darah.
Kini Sante sudah membuka identitas aslinya. Julukan Si Pembunuh Tunggal sangat cocok untuknya. Rheno, yang tadi berdiri dengan sombongnya untuk menantangnya, kini mulai berkeringat dingin dan kedua lututnya mulai gemetar ketakutan. Reaksi para anggota junior juga tak jauh berbeda. Mereka belum pernah melihat sisi lain Sante yang mengerikan seperti ini. Tanpa sadar, kaki mereka mulai mundur perlahan ke belakang. Berusaha untuk menjauhi sosok Sante yang sedang berdiri di tengah lapangan.
"Ka…kau be...rani?????? Ini ritual Pengadilan Terakhir, Sante!!! Jangan main-main!!!"
"Sekali kau terbukti bersalah, kau akan dikeroyok sampai mati, Sante!!! Hukum Geng Tengkorak sama sekali tidak memberi toleransi kepada para pengkhianat!!!"
"Dan menurutmu, apakah aku berkhianat, Rheno??" tantang Sante balik. Tak ada kegentaran ataupun rasa takut di sorot matanya. Yang ada hanyalah keteguhan mutlak di sepasang bola mata berwarna hitam pekat tersebut.
"Sekarang aku tanya, siapa orang-orang pengecut yang berani menyebarkan berita busuk seperti itu tentang diriku?? Dan apa buktinya kalau aku memang menyingkirkan Arina dengan tanganku sendiri???!!!"
"Aku!!!"
Semua mata langsung menoleh pada sang empunya suara.
...............…
Rama Vargoz. Sebagai seorang anggota junior Geng Tengkorak, ia terkenal popular di kalangan anggota geng karena hanya ialah satu-satunya kandidat yang berhasil menahan pukulan maut Arina saat malam inisiasi dua periode yang lalu, sementara semua teman-temannya langsung tersungkur roboh di sekitarnya.
��Aku melihatnya!!! Ia membunuh Arina dengan tangannya sendiri!!!" kata Rama sambil melangkah maju dan menunjuk Sante dengan jari telunjuknya.
"Dan saksinya…bukan hanya aku…"
"Aku!! Aku melihatnya juga!!! "
"Aku juga…"
Serentak beberapa orang pemuda dan satu anggota senior langsung maju berbarengan ke depan dan ikut menunjuk Sante dengan jari mereka. Senyum keji muncul di wajah mereka. MAMPUS KAU, SANTE!!!
Rama tertawa senang dalam hatinya. Setelah malam ini, Geng Tengkorak akan hancur sepenuhnya dan Santa Crux akan menghancurkan anggota lain yang tersisa. Lalu, ia akan menjadi wakil pemimpin dari aliansi 2 geng terbesar yang baru. SEMPURNA!!
Ia juga berhasil membujuk beberapa orang lain untuk melancarkan aksinya sehingga rencananya bisa berjalan mulus tanpa hambatan. Hahaha…
Mendengar tuduhan tersebut, Sante hanya bisa tertawa geli di dalam hatinya.
GOTCHAA!!! MAMPUS KALIAN SEMUA!!!
"Lalu, bagaimana kalau aku bisa membuktikan kalau tuduhan kalian semua… ternyata salah besar??" tantang Sante balik sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Ini Pengadilan Terakhir. Kalau ternyata tuduhanmu terbukti salah, maka si pelaporlah yang akan dieksekusi mati…"
"Bagus!!! Karena memang aku sama sekali tidak membunuh Arina seperti yang kalian sangka sebelumnya…"
"Apa buktinya??"
"Karena aku masih berdiri di sini…"
Sebuah suara wanita yang anggun dan berwibawa tiba-tiba terdengar sangat jelas di belakang semua orang. Tubuh Rama langsung menegang kaku. Senyumnya lenyap. Tapi senyum di wajah Sante malah semakin lebar.
Mata semua orang menoleh ke belakang sekali lagi. Dan di sana…
Sesosok wanita cantik bertubuh mungil sedang berjalan ke arah kerumunan dengan santainya. Mulutnya menyunggingkan senyum dingin sementara salah satu tangannya menggenggam pedang samurai yang berkilat tajam di bawah sinar bulan purnama.
"A…AR… ARINA???!!!"
"I…IA MASIH HIDUP….!!!!!"
............…��...….
Semua mata melotot kaget. Kaki mereka menegang kaku sementara tubuh Rama dan teman-temannya mulai gemetar ketakutan. Keringat dingin sebesar butir jagung mulai bercucuran tanpa henti. Ba…bagaimana bisa???
Rama melihat sendiri kalau malam itu Arina sudah sangat kepayahan saat disergap secara mendadak oleh anggota geng Santa Crux. Berjalan saja ia sudah hampir tak bisa. Sekarang, ia bagaikan melihat seorang iblis wanita yang baru bangkit dari lubang neraka yang paling dalam. Begitu memikat. Begitu mempesona dan sekaligus mengerikan!!!
Senyum Arina bagaikan bayangan kematian yang mulai menari-nari di pelupuk matanya. Tapi ia tak bisa lari sekarang. Tak ada tempat untuk bersembunyi…
Satu-satunya jalan…
"Maafkan aku, Ketua!!!!" Rama langsung berlutut di atas tanah dengan tubuh bergetar hebat.
"Ak..aku dian…"
Belum habis pemuda itu bicara, tubuhnya sudah terbelah dua di depan mata semua orang. Begitu cepat dan mematikan. Bahkan tak ada setetes pun darah yang menempel di di bilah pedang Arina. Menunjukkan kemampuan pembunuh gadis tersebut yang luar biasa menakutkan.
"Pedang yang bagus…" kata Arina sambil mengamati senjatanya tersebut.
"Ada yang mau coba lagi?" tanyanya dingin pada kerumunan anggota gengnya yang lain. Semua orang yang baru saja melihat adegan berdarah tersebut, langsung berlutut hormat kepada Arina kecuali Sante yang berjalan pelan ke arah gadis tersebut.
"Hormat kami kepada ketua!!!"
"Kau datang juga…"
"Pasti…"
Sementara teman-teman Rama langsung mengambil ancang-ancang untuk kabur secepat mungkin dari tempat tersebut. Mereka tahu kalau sekarang mereka tidak pergi, malam ini sudah dipastikan jadi malam terakhir mereka.
"Tangkap mereka semua!!!" perintah Arina dingin kepada semua anggota gengnya. Dalam waktu singkat keenam pemuda junior dan satu senior tersebut sudah dibekuk paksa dan diikat di tonggak kayu yang sudah didirikan oleh Sante sebelumnya. Wajah mereka bergidik ngeri saat melihat Arina yang sedang memegang obor menyala di tangannya.
"Tidak ada tempat bagi pengkhianat di Geng Tengkorak. Malam ini, kematian kalian yang indah akan menjadi peringatan keras bagi keluarga besar kita.."
Beberapa anggota junior lalu menyiram tubuh mereka dengan minyak dan Arina langsung menyalakan api dengan obornya. Suara melolong kesakitan yang memilukan terdengar dari semua tubuh yang terbakar tersebut sementara api berkobar dengan sangat hebatnya. Bau daging yang terbakar dan kulit yang meleleh menjadi sebuah pemandangan yang mengerikan bagi semua orang pada malam itu. Sebuah peringatan yang takkan pernah mereka lupakan seumur hidup mereka. Sebuah ikatan satu arah yang sudah mereka tanda tangani ketika kaki mereka melangkah masuk saat menjadi bagian dari anggota Geng Tengkorak. Kesetiaan absolut sampai nafas terakhir mereka di atas bumi ini.
Tapi Arina belum selesai. Dendamnya masih menyala hebat di dalam dadanya. Ada satu lagi perang yang harus ia tuntaskan malam ini. Santa Crux!
"Semuanya….."
"Ambil senjata kalian masing-masing…."
"Naiki kendaraan kalian sekarang!! Ada perang besar yang harus kita lakukan malam ini!!!"
Semua anggota geng langsung berteriak penuh semangat ketika mereka mengambil semua perlengkapan tempurnya masing-masing dan menyalakan mesin motor mereka. Mata mereka berkilat haus darah ketika Arina memimpin mereka semua ke satu tujuan.
Markas besar Santa Crux di dermaga timur!!
...............
Dermaga timur, dini hari….
Para anggota geng yang sedang bersantai tiba-tiba terlompat kaget ketika ribuan motor besar menyergap markas mereka secara mendadak saat itu. Mereka tidak siap!! Tapi belum habis rasa kaget mereka, markas besar mereka mendadak sudah dikepung oleh semua anggota Geng Tengkorak yang langsung menyerang secara bersamaan dari semua sisi!!!
Api peperangan kembali menyala malam itu!! Mewarnai malam dengan warna merah kekuningan….
Dalam waktu kurang dari dua jam, pertempuran berdarah tersebut berhasil dimenangkan oleh Geng Tengkorak. Dan markas besar mereka dibakar habis tanpa ampun. Semua aset dan kekayaan mereka dijarah habis-habisan oleh Arina dan teman-temannya tanpa ada yang disisakan sedikit pun!!
Malam itu, kelompok geng terbesar di pesisir timur langsung takluk di bawah kekuasaan Geng Tengkorak. Mereka menang telak!!! Arina berhasil membuktikan dirinya sebagai seorang pemimpin sejati yang mampu meneruskan kejayaan seorang Dicky Valdez.
Dan nama Geng Tengkorak kembali bersinar cemerlang malam itu. Bergema di seluruh pesisir tanpa ada lawan yang berani untuk menantang mereka sekali lagi.
............…
Keesokkan harinya….
Suster Hua sedang menjemur baju di halaman depan rumahnya ketika seorang pemuda berwajah sangar berjaket kulit tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Biar kubantu, Bu…" katanya sopan sambil ikut mengambil beberapa baju basah dan membantu meletakkannya di tali jemuran sementara jantung Suster Hua sudah berdebar-debar kencang hampir copot akibat kemunculan pemuda tersebut.
"Maaf ia mengagetkanmu ya, Bu?" tanya Arina sambil menyapa Suster Hua dan tersenyum manis kepadanya.
"Oh..kau…..kupikir siapa…" kata Suster Hua sambil menepuk-nepuk dadanya untuk menenangkan dirinya.
"Omong-omong…aku ingin memberikanmu ini…" kata Arina sambil menyerahkan segepok uang dan menjejalkannya ke tangan biarawati tersebut. "Ambillah sebagai ganti biaya pengobatanku kemarin…"
Suster Hua masih terbengong-bengong heran tapi sebelum ia sempat bereaksi, Arina kembali bicara sambil menunjuk sebarisan pemuda berjaket kulit yang sedang berdiri di belakang gadis tersebut.
" Dan orang-orang ini… adalah sukarelawan yang akan membantumu mendirikan panti asuhan, Bu.."
Gerombolan pemuda berjaket kulit tersebut lalu melangkah maju dan menunduk hormat kepadanya. Masing-masing dari mereka sudah membawa beberapa bahan dan alat bangunan.
"I… ini…."
"Aku tidak bisa menerimanya…" kata Suster Hua tapi tangannya kembali ditahan oleh Arina.
"Dan aku tidak bisa memuntahkan kembali obat-obatan yang sudah kuminum sebelumnya, bukan…??" kata Arina sambil memeluk biarawati muda tersebut.
"Terima kasih banyak, Bu. Aku benar-benar berhutang nyawa padamu…"
"Dan…. kau membuatku percaya kalau Tuhan itu masih ada…"
..............
Dalam waktu setengah tahun sebuah bangunan panti asuhan sederhana sudah berdiri di atas lahan seluas 500 meter persegi. Dengan wajah bangga, Suster Hua dan Arina memandang ke arah bangunan tersebut sambil tersenyum lebar.
"Panti asuhan ini belum bernama, Arina. Nama apa yang akan kauberikan padanya?"
Arina lalu menjawab dengan penuh haru.
"Young Generous. Itu namanya…"
"Mulai sekarang, panti asuhan ini akan menjadi rumah baru bagi anak-anak terasing dan terlantar seperti diriku dan….."
"Kau akan menjadi ibu angkat bagi mereka semua…"
.