3 bulan kemudian….
Sante menjalankan semua rencana Arina yang sudah dibisikkan kepadanya secara diam-diam, tersembunyi, dan sangat rapi. Ia bersikap seakan-akan Arina masih hilang dan secara acak menyusun beberapa kelompok kecil yang disebar ke dalam beberapa area untuk mencari keberadaan Arina. Sementara itu, semua kegiatan geng tetap berlangsung seperti biasa. Awalnya, pada minggu-minggu pertama, semua berjalan seperti biasa tanpa ada masalah. Tapi setelah satu bulan berlalu, mulai muncul beberapa ketidakpuasan dari anggota geng junior yang mulai bergabung. Seakan-akan sudah diatur sebelumnya, ada satu dua orang yang dengan sengaja menghasut teman-temannya dan mulai menciptakan gossip serta fitnah yang tidak bertanggungjawab tentang sosok Arina dan Sante yang kini bertugas untuk memimpin geng sementara waktu karena Arina belum ditemukan.
Bulan berikutnya, seperti api liar yang mulai membakar hutan, gossip dan fitnah tersebut mulai berkembang semakin luas serta mulai mempengaruhi lebih banyak orang. Terutama anggota senior Geng Tengkorak yang sudah bersama-sama dengan Arina dan Sante dari sejak awal mula Geng Tengkorak mulai berdiri. Fitnah-fitnah keji tersebut mulai menghancurkan persatuan internal di dalam kelompok dan mengadu domba para anggota lain yang masih menunjukkan kesetiaan mereka terhadap komunitas geng. Kepemimpinan Sante mulai dipertanyakan, karena gossip yang beredar adalah Sante dengan sengaja menyingkirkan Arina supaya dapat memegang posisi puncak sebagai pemimpin utama Geng Tengkorak. Tapi tidak ada gerakan balasan apapun dari Sante. Ia tetap patuh mengikuti instruksi Arina. Diam, jangan bersuara dan tetap menggunakan mata serta telinganya baik-baik terhadap semua kondisi yang mereka sedang hadapi sekarang.
Bulan ketiga, Sante dan beberapa anggota mulai mendirikan beberapa tonggak kayu di tengah lapangan sambil bersiul-siul riang. Tidak ada seorang pun yang mengetahui dan mengerti apa maksud dan tujuan Sante mendirikan tonggak-tonggak kayu tersebut. Tapi sekarang, hampir sebagian besar anggota mulai tak lagi mematuhi aturan kelompok dan tidak mengakui Sante sebagai ketua sementara mereka. Sementara beberapa anggota yang dari awal memang bertugas untuk menghasut serta menghancurkan Geng Tengkorak, hanya mengamati kondisi tersebut sambil tersenyum mengejek. Akhir dari salah satu geng terbesar di pesisir barat ini sudah dekat. Sebentar lagi, mereka hanya tinggal mengirimkan kode kepada kelompok mereka masing-masing untuk langsung menghancurkan Geng Tengkorak yang sudah terpecah belah.
................................................…
"Arina, aku sudah menyiapkan semua hal yang kausuruh aku kerjakan untuk hari ini. Kapan kau akan muncul?" tanya Sante sambil berbisik sepelan mungkin di dalam toilet. Ya, ia perlu sangat berhati-hati supaya tidak ada seorang pun yang curiga akan strategi rahasia ini. Tapi Sante sudah menandai beberapa orang yang menjadi sumber fitnah pada awalnya.
"Paling lambat, minggu depan. Bagaimana kondisimu?"
"Mereka sedang membuat sebuah kelompok bayangan untuk menjatuhkan posisiku sebagai pemimpin sementara...."
Arina tersenyum dingin. Ia sudah memperkirakan kalau hal ini akan terjadi cepat atau lambat. "Baiklah, dalam waktu 3 hari, aku akan muncul di markas…"
"Bagaimana dengan luka-lukamu?" tanya Sante kuatir.
"Aku sudah 80% pulih. Tenang saja…"
"Ok, hati-hati…."
Sante lalu keluar dari dalam toilet, tapi begitu ia keluar, ia langsung disergap oleh sekelompok anggota geng senior yang langsung mengerubutinya seperti seekor lebah.
"Sante, kita perlu bicara…"
"Silakan…"
..........................................…
Arina menutup teleponnya dan memandang tubuhnya sendiri. Suster Hua dengan sangat telaten telah merawatnya dengan sangat baik dan Arina sangat berterima kasih padanya untuk hal ini. Kini, tubuhnya mulai terasa jauh lebih ringan dan ia bisa melakukan beberapa gerakan bela diri sederhana untuk melemaskan otot-ototnya. Semua rasa sakit sudah tidak terasa lagi. Yang tersisa adalah bekas-bekas lukanya saja. Tapi Arina yakin, seiring berjalannya waktu, bekas-bekas lukanya akan memudar.
Sambil menyantap sarapannya, sebelah tangan Arina menggerakkan pedang samurainya secara perlahan. Pedang samurai yang dipakainya sekarang merupakan salah satu senjata yang dirampas dari anggota Santa Crux tempo hari kemarin dan Arina sangat menyukainya. Tajam dan terasa pas di genggaman tangannya. Dalam waktu singkat, ia lalu menghabiskan sarapannya dan ketika Arina sedang berjalan keluar menuju dapur untuk menaruh piring bekas makannya, langkahnya terhenti di balik dinding.
Suster Hua terdengar seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Penasaran, Arina mengintip sedikit dan ia bisa melihat Suster Hua sedang memohon untuk diberikan keringanan biaya pengobatan dari dokter keliling yang biasa memeriksa kondisi tubuhnya tersebut.
"Maaf, begitu ada uang, pasti aku bisa membayarnya. Tolong beri aku waktu sedikit lagi..ok?"
"Hua, aku mengerti. Walaupun jumlah yang kemarin kau berikan padaku masih kurang banyak, tapi aku yakin kau pasti akan melunasinya nanti. Tapi kau benar-benar harus berhati-hati. Sampai sekarang kita tidak tahu identitas asli gadis itu bukan? Bagaimana kalau ternyata ia adalah salah satu anggota Geng Tengkorak yang terkenal sadis dan berdarah dingin tersebut?? Kau sudah menghabiskan semua uang tabunganmu untuk biaya pengobatannya. Padahal kau kan bercita-cita untuk mendirikan panti asuhan bukan??"
Suster Hua mengangguk-angguk pelan sambil mengantar Jireh keluar. "Iya, aku tahu. Kau tenang saja…"
Mereka berdua tidak tahu kalau ada sepasang mata yang mengawasi serta mendengar semua pembicaraan tersebut. Arina termenung. Jadi begitu, tanpa pernah sekalipun menanyakan darimana Arina mendapat luka-luka yang mengerikan di sekujur tubuhnya, Suster Hua tetap merawatnya dengan sepenuh hati dan bahkan menghabiskan seluruh tabungannya untuk dirinya?
Dua tetes airmata menetes dari pelupuk mata Arina dengan penuh haru. Ternyata, ternyata, selain Dicky, ia masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan seorang malaikat tanpa sayap lainnya. Dalam hatinya, Arina bertekad untuk membalas kebaikan hati biarawati muda itu berpuluh kali lipat dari apa yang sudah ia berikan untuk dirinya.
Suster Hua yang sedang berjalan masuk, tiba-tiba kaget saat melihat kemunculan sosok Arina yang ada di hadapannya.
"Ah, sudah sarapan?" tanya Suster Hua dengan nada riang seperti biasa. Tapi, tindakan Arina berikutnya, benar-benar membuat Suster Hua kaget sekali. Arina tiba-tiba memeluk dirinya dengan sangat erat sambil menangis pelan.
"Terima kasih….." ucap gadis itu lirih.
"Terima kasih karena sudah merawatku sampai hari ini…"
Entah bagaimana nasibnya kalau Arina tidak ditolong oleh Suster Hua malam itu. Mungkin saat ini ia sudah menjadi salah satu mayat tak bernama di jalanan.
"Tidak apa-apa. Aku percaya..."
"Semesta-lah yang telah mengantarmu sampai di depan pintu rumahku.."
.