Chereads / THE ROOMMATE 2 : SIDE STORIES (21++) / Chapter 7 - 6 ARINA SIDE STORY : SENYUM MALAIKAT TAK BERSAYAP

Chapter 7 - 6 ARINA SIDE STORY : SENYUM MALAIKAT TAK BERSAYAP

Krikkkk…Krikkkk…Krikkkk..Krikkk….

Suara tonggeret terdengar bersahutan dan membangunkan Arina perlahan-lahan.

Arina mengerjap-ngerjapkan matanya dengan malas ketika tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa menyengat tubuhnya. Seluruh badannya serasa tidak bertulang. Arina langsung meringis kesakitan sambil menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa nyeri yang tak tertahankan tersebut.

"Akhhhhh…." rintih Arina pelan ketika ia mencoba untuk bangun tapi kemudian gerakannya ditahan oleh seorang biarawati yang berjalan mendekatinya sambil membawa sebaskom air.

"Shhhhh…shhhh…shhhh…. Jangan banyak bergerak dulu. Luka-lukamu parah sekali…."

Arina melihat tubuhnya sendiri. Biarawati itu benar. Sebelah tangannya terbalut gips. Sementara perut dan dadanya terbalut perban tebal. Paha kanannya yang terkena tembakan juga sudah diperban dengan rapi. Ia juga mengenakan penyangga leher. Ugh….penampilannya pasti berantakan sekali. Lebih mirip mumi hidup daripada orang normal.

"Di…. mana aku….?? Si…apa kau?? " tanya Arina dengan suara parau dan mata menyipit curiga. Biarawati itu hanya tersenyum sambil duduk di tepi kasur. Tapi tubuh Arina langsung otomatis menjauh. Kepekaannya sangat tinggi terhadap orang asing. Efek samping dari hasil latihan rutinnya bersama dengan Dicky dulu.

"Kau sudah tidur selama seminggu penuh diakibatkan oleh luka-lukamu…" kata biarawati itu sambil memeras lap basah untuk memandikan tubuh Arina. Arina masih berusaha untuk menangkis lap tersebut dengan sebelah tangannya yang masih baik-baik saja.

"Tidak apa-apa… ini cuma air hangat…aku hanya ingin memandikan tubuhmu.."

"Badanmu pasti sudah terasa tak enak karena lengket terkena keringat…" kata biarawati itu lagi sambil tersenyum hangat.

Setelah beberapa saat, Arina mengangguk dan menyerahkan tangannya pelan-pelan untuk diseka oleh biarawati tersebut. Sambil menunggu tubuhnya yang diseka, Arina mengamati wanita penolongnya dengan lebih teliti. Ia masih berusia sekitar dua puluhan, mungkin hanya beberapa tahun lebih dewasa dari usianya dan kelihatannya sudah sangat terbiasa bertugas sebagai seorang perawat. Apa mungkin ia pernah bekerja di rumah sakit sebelumnya? Arina lalu mengamati perban-perban yang membalut tubuhnya, semuanya terpasang dengan sangat rapi dan simetris. Seperti dipasang oleh seorang perawat professional. Siapa biarawati ini sebenarnya? Pikir Arina bingung sambil ia tetap membiarkan tubuhnya dibasuh oleh biarawati ini pelan-pelan sambil sesekali ia meringis nyeri.

"Namaku Suster Hua. Senang bertemu denganmu…." kata biarawati tersebut sambil memperkenalkan dirinya setelah selesai menyeka tubuh Arina.

"Aku Arina. Terima kasih karena sudah menolongku…" kata Arina sopan sambil menganggukkan kepalanya sedikit dan tersenyum kecil.

"Tidak apa-apa. Toh kita memang harus saling menolong bukan?" kata Suster Hua sambil tertawa kecil.

"Oh.. iya, untuk orang-orang yang mengejarku sebelumnya… apakah… mereka…"

Arina tiba-tiba teringat pada para pengejarnya saat di malam berhujan beberapa saat sebelumnya. Mereka tidak tahu kan kalau sekarang ia sedang berada di sini? Dalam keadaan lemah dan tak berdaya pula.

"Mereka tidak tahu kau ada di sini…tenang saja…." kata Suster Hua. Arina langsung menghembuskan nafas lega. Syukurlah…..

"Oia…omong-omong… bolehkan saya tahu alamat rumah ini? Dan apakah ibu punya telepon? Aku ingin menghubungi seseorang….."

Suster Hua mengangguk, menulis alamatnya di secarik kertas kosong, dan memberikan ponselnya. Ia sendiri langsung undur diri dari ruangan serta membiarkan Arina sendiri.

"Terima kasih…" kata Arina sopan sambil menerima ponsel tersebut dan memijit beberapa nomor di sana dengan sangat cekatan. Arina lalu menempelkan ponsel tersebut di telinganya dan menunggu seseorang di seberang sana untuk menjawab teleponnya.

"Halo? Sante? Kau di sana?"

............…

Seminggu sebelumnya….

"Ckckckckckckck..."

Jireh menggeleng-gelengkan kepalanya setelah ia selesai memeriksa semua luka di tubuh Arina yang masih terbaring dalam keadaan pingsan di atas kasur. Sementara Suster Hua tengah berjaga di tepi kasur dengan tatapan cemas. Kemarin malam, ketika gadis ini roboh di dalam pelukannya, Suster Hua langsung membawanya masuk ke dalam kamarnya sendiri dan membersihkan ceceran darah di atas lantai mulai dari halaman sampai ke pintu masuk. Lalu, ia segera mengeluarkan peluru dan menghentikan pendarahan dengan beberapa jahitan sederhana untuk menutup luka secara darurat. Para pengejar gadis itu memang sempat menanyakan perihal keberadaan Arina kepadanya tapi dengan cerdiknya, Suster Hua lalu mengarahkan mereka ke jalur yang berbeda sehingga keberadaan gadis tersebut tak terdeteksi dan bisa dirawat olehnya.

"Masih bernafas saja…..gadis ini sudah luar biasa hebat. Tulang iganya retak di beberapa bagian. Belum lagi paru-parunya juga terancam kena pneumonia kemarin malam. Ada gejala gegar otak ringan juga. Dan beberapa luka trauma dan pendarahan dalam akibat beberapa pukulan dari benda tumpul yang bertubi-tubi ke tubuhnya. Belum lagi luka tembakan di paha kanannya. Pyuhhhhhhhh…" kata Jireh sambil mengusap keringat yang bercucuran setelah memeriksa dengan teliti setiap luka di tubuh Arina.

"Baiklah…terima kasih banyak…." Kata Suster Hua sambil menjejalkan beberapa lembar uang ke tangan pria tua tersebut yang seringkali berprofesi sebagai dokter keliling di area itu.

"Kau harus hati-hati, Hua…." kata Jireh sambil memasukkan uang tersebut ke dalam kantong celananya.

"Kita kan tak tahu latar belakang atau identitas aslinya. Jangan-jangan kau malah menolong seorang pembunuh berantai lagi…."

Suster Hua terkekeh geli saat mendengar tuduhan aneh tersebut. "Yah, mudah-mudahan saja tidak.."

"Ingat ucapanku. Hati-hati…" kata Jireh lagi sebelum ia pamit pergi.

Sepeninggal Jireh, Suster Hua lalu duduk kembali di tepian ranjang sambil sesekali mengusap keringat yang menitik di dahi dan wajah gadis tersebut. Sambil menghela nafas panjang, Suster Hua menatap wajah cantik Arina dan bertanya dalam hatinya sendiri.

Apa ceritamu, nona muda? Kenapa mereka semua mengejarmu?

.........…..

Mendengar suara yang sangat akrab di telinganya, Sante langsung terlompat bangun dari kursinya.

"Arina??"

"Kau di mana?"

"Stttttt… jangan keras-keras..." bisik Arina waspada.

"Cari tempat sepi. Jangan bicara keras-keras…."

Sante segera mencari sebuah sudut ruangan yang agak sepi dan segera memelankan suaranya. "Arinaaaa…kau di mana??? Kupikir kau sudah mati…."

"Kami sudah mencari-cari dirimu selama seminggu ini…."

"Aku masih hidup…" bisik Arina pelan. Seakan-akan dinding yang ada disekitarnya akan bisa mendengar suaranya.

"Ada seorang biarawati yang menolongku malam itu….tapi, hei….aku perlu bantuanmu.."

"Ok… katakan saja…"

"Aku mau kau ke sini. Sendirian. Tidak boleh ada yang tahu. Mengerti??"

"Baik, beritahu saja alamatnya…"

Arina lalu menyebutkan sebuah alamat.

Sante mengangguk. "Baik, aku ke sana sekarang…."

.