SIALAN! SIALAN! SIALAN!!!
Arina terus mengumpat-ngumpat di dalam hatinya sambil terus berjalan tertatih-tatih dan memegangi lengannya yang sudah mati rasa karena terus menerus mengucurkan darah sepanjang perjalanan. Tapi ia harus lari! Ia harus kabur sekarang!!! Malam ini!!!
...........
Satu jam sebelumnya...
Berita kematian Dicky Valdez menyebar dengan sangat cepat seperti hembusan angin topan. Ketika pagi harinya mereka melarung jasad Dicky di Sungai Maracas, entah bagaimana, malam harinya, ketika Arina, Sante dan ketiga anggota geng mereka sedang melakukan kunjungan singkat ke Bar Lopez, mereka tiba-tiba disergap oleh kurang lebih sekitar 200 orang anggota geng Santa Crux. Jika masih hanya sekitar puluhan orang dan bertangan kosong, Arina bisa mengatasinya seorang diri dengan kemampuan ilmu bela dirinya. Tapi malam itu berbeda, para lawan mereka kelihatan sekali sudah mempersiapkan diri dengan sangat baik untuk serangan ini.
Sebagian dari mereka membawa pedang samurai, ada yang membawa pemukul bisbol logam, ada lagi yang membawa nuncaku, lalu cambuk rantai logam dan mereka semua dengan kompaknya langsung mengepung Arina dan teman-temannya di tengah. Senyum bengis tampak di wajah mereka. Beberapa pemuda bahkan menjilat bibir atas mereka saat melihat tubuh Arina yang mungil dan proposional serta wajah cantiknya yang terlihat garang.
Sambil saling membelakangi satu sama lain, Arina, Sante dan teman-temannya bersiap untuk menerima serangan sambil saling mendukung satu sama lain. Otak Arina berpikir cepat. Ada yang tak beres!!!
Tidak ada seorangpun yang tahu kalau mereka akan berada di Bar Lopez malam ini kecuali anggota Geng Tengkorak sendiri yang juga sama-sama ikut melarung pagi ini. Lalu, tiba-tiba Arina tersadar. PENGKHIANAT!!!
ADA YANG BERKHIANAT DAN MEMBERITAHUKAN INFORMASI INI KEPADA PIHAK LAWAN MEREKA!!
Masalahnya, siapa??
Siapa?? Siapa?"
Otak Arina berdengung dengan satu kata tanya itu tapi ia sendiri tak bisa menemukan jawabannya.
Sial!!! Belum ada sehari, dan sekarang ia harus menghadapi bahaya sebesar ini di hari pertamanya sebagai ketua geng. Hahahaha…. Arina benar-benar ingin tertawa pada dirinya sendiri!!!
"Menyerah saja…." kata Robin Crux. Sang ketua geng Santa Crux yang ternyata ada di dalam rombongan para penyerang malam itu. Tapi yang tampak di wajah Arina hanyalah senyuman mengejek sedingin es. Kata menyerah tidak pernah ada di dalam kamusnya. Dulu tidak dan malam ini juga tidak. Ia masih ingat amanat Dicky sebelum pemuda itu menghembuskan nafas terakhirnya dan sampai tetes darah penghabisan, ia akan menjaga amanat tersebut sepenuh hatinya.
"Sante, Louis, Rama, Sunil….dengarkan!! Ini perintah pertama dariku sebagai ketua baru …"
Keempat pria itu tetap berdiri siaga dalam posisi yang sama tapi memasang telinga mereka baik-baik pada setiap kata yang akan diucapkan oleh Arina berikutnya.
"Jangan mati..."
"Tidak di sini. Tidak malam ini…"
Begitu Arina selesai mengucapkan kalimat terakhirnya tersebut. Ia langsung bergerak maju dengan kecepatan tinggi ke arah pemuda yang sedang memegang pedang samurai dan langsung memenggal kepalanya dalam sekali sabetan. Tubuh pemuda tanpa kepala tersebut langsung roboh tak berdaya di atas tanah. Membasahi bumi dengan warna merah yang mengucur deras dari tubuhnya tersebut.
Hujan mulai turun. Awalnya gerimis dan kemudian bertambah deras. Arina tersenyum dingin kepada para penyerangnya yang masih terpaku kaget atas serangan gadis tersebut. Tapi berikutnya, sebuah pertempuran sengit langsung dimulai. Sante mengamuk dan menonjok para penyerang dengan membabibuta. Sementara Rama, Sunil dan Louis ikut bertarung dengan para pemegang senjata cambuk serta nuncaku. Arina sendiri terus bergerak lincah dengan senjata samurai di tangannya dan terus menyabet semua orang yang ada di hadapannya tanpa ampun. Setiap kali ia mengayunkan pedangnya dalam sekali sabet, satu nyawa melayang. Di tangannya, pedang itu seperti makhluk hidup yang memiliki nyawanya sendiri dan mampu mencabut kehidupan dari setiap pemuda yang dilewatinya.
"Kembali ke markas!!!" teriak Arina kepada Sante dan teman-temannya di tengah derasnya suara hujan angin yang menderu di tengah pertarungan. Sante mengangguk dan begitu ada kesempatan, mereka berempat langsung undur diri dan kabur dari area pertarungan.
Melihat Sante dan teman-temannya sudah pergi, Arina juga berniat kabur. Mayat-mayat para penyerangnya sudah bergelimpangan di kiri kanannya. Tubuh Arina mulai menggigil kedinginan. Lengannya juga sudah terluka parah akibat goresan belati salah satu penyerangnya. Tapi, ketika ia mulai mencoba untuk melarikan diri….
DORRR!!!!
Sebuah suara letusan terdengar dan rasa sakit yang tajam menyengat paha sebelah kanannya. Ia tertembak!!!!
"Ackhhhhhhhh….." Arina meraung kesakitan. Tapi langkahnya tidak berhenti.
Kabut putih tipis keluar dari nafasnya yang terengah-engah. Tubuhnya menggigil karena kedinginan dan basah kuyub akibat hujan deras yang masih menerpanya. Belum lagi luka tembakan baru di pahanya serta darah yang mengucur deras di sana.
Tenaga Arina hampir habis. Sekarang…
Ia hanya butuh sebuah tempat. Lubang persembunyian. Sumur. Rumah tua. Kamar kosong. Atau apapun itu untuk bersembunyi. Para penyerangnya masih mengejarnya habis-habisan. Ia diburu mati-matian seperti seekor mangsa yang terjebak malam itu. Tepat seperti 5 tahun yang lalu ketika Dicky menyelamatkannya ketika ia akan dijual ke rumah bordil. Ia merasa begitu lemah dan tak berdaya. Malam ini sama seperti malam itu. Bedanya, Dicky kini sudah tak ada lagi.
Kini, ia harus berjuang sendiri untuk menyelamatkan nyawanya.
"Jangan berdoa. Tuhan itu tak ada. Dimanapun dan kapanpun, kau hanya bisa mengandalkan satu orang…"
"Dirimu sendiri…"
Arina teringat ucapan Dicky kepadanya malam itu. Ya! Ia hanya bisa mengandalkan kemampuannya sendiri sekarang. Ia bisa mendengar langkah kaki para pengejarnya yang semakin dekat dan suara teriakan mereka yang masih mencari-cari dirinya.
Arina tiba-tiba melihat sebuah rumah tua dengan pintu yang terbuka. Cahaya kuning samar menyala dari dalamnya. Dengan langkah tertatih, ia masuk dan menutup pintunya. Pandangan matanya semakin buram karena kehabisan darah.
Tapi sebelum ia roboh ke atas lantai, sebuah tangan menangkap tubuhnya dengan cekatan.
"To….long….." rintih Arina pilu. Ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah penolongnya.
Pandangannya semakin kabur dan kemudian semuanya gelap. Ia pingsan.
Ia tidak mau mati sekarang. Tidak malam ini…
.