Chereads / Second Love / Chapter 7 - (6). Lelaki Asing

Chapter 7 - (6). Lelaki Asing

Qiana

Weekend akhirnya tiba. Aku merasa lega karena nggak perlu ke kantor dan berteman dengan berkas-berkas yang membuat kepala pusing. Ayah juga sudah kembali bekerja setelah merasa kesehatannya pulih. Dengan begitu, bukan berarti pekerjaanku berkurang. Tapi memang sedikit agak ringan.

Aku juga bisa kembali mengurus WO ku meskipun nggak setiap hari bisa datang kesana. Hanya sesekali datang dan mengeceknya saja.

Dan akhirnya disinilah aku sekarang. Menunggu Bang Rado untuk membahas tentang masalah perjodohan. Bang Rado memang seperti memberiku waktu untuk berpikir. Bahkan saat kita beberapa kali bertemu, nggak ada bahasan yang menjurus kesana. Dan aku sangat menghormati itu.

"Hai! Maaf telat. Udah lama?" Bang Rado muncul dengan senyum ramah yang dimilikinya. Dia terlihat tampan dengan pakaian santai yang dikenakannya. Kaos berlengan panjang warna biru, celana jeans warna hitam, dan sepatu Nike hitam dengan centang putih. Luar biasa.

"8 menit 76 detik." Aku mengangkat tangan kiriku yang dihiasi arloji warna putih seolah-olah aku memang mengitung keterlambatannya.

"Sungguh?" Dia memasang wajah sok kagetnya tetapi dengan pandangan menggoda membuat aku mendengus sebal.

"Ok fine, I'm sorry, Mam. Aku janji nggak akan keulang..., udah pesen?" dia melihat di depanku yang hanya ada jus jeruk.

"Hanya jus jeruk?" Aku mengangguk dan dia langsung mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. Setelah pelayan datang, dia langsung menyebutkan pesanannya, pun denganku.

"Abang kenapa telat?" aku berusaha membangun obrolan. Dia biasanya selalu tepat waktu kalau memiliki janji.

"Bujukin Lea dulu tadi."

"Lea dateng?" Tanyaku meyakinkan. Lea adalah keponakan Bang Rado yang masih berusia 2 tahun, putri dari kakak perempuannya. Dan gadis kecil itu sangat cantik dan menggemaskan.

"Iya, semalem. Kenapa? kayaknya kamu lebih antusias mendengar nama Lea daripada ketemu aku?"

"Wojelas, Bang, kenapa nggak diajak kesini aja sih tadi."

"Dan kamu nggak akan fokus pada apa yang akan kita bahas." Bang Rado berucap ringan dengan mengangkat bahunya tak acuh.

Sedikit informasi, aku dengan keluarga Bang Rado memang dekat, meskipun tidak sedekat seperti dengan keluarga Davie. Tapi hubungan kami sangat baik.

"Makan, Qi, sampai kapan kamu akan melamun." Aku menatap kearah meja yang sudah penuh dengan makanan. Sepertinya aku melamun terlalu lama.

"Bang, tentang kita..., ucapku mencoba memulai.

"Makan dulu, kita harus mengisi perut dulu sebelum membahas masalah kita." Dia sudah menyuapkan makanan kedalam mulutnya. Aku ikut makan dengan tenang, mengesampingkan pembahasan yang akan kita bahas nanti.

Kami makan dalam diam, berusaha menikmati kudapan yang sudah tersaji. Setelah semuanya habis dan menyisakan minuman kami masing-masing, Bang Rado membuka bibirnya untuk berbicara.

"Aku udah memikirkan masalah ini dengan baik beberapa hari ini, Qi." aku mencoba fokus dengan apa yang sedang diucapkan Bang Rado. Belum ingin menanggapi, "Tentang apa yang kamu bilang waktu itu, jika kamu nggak nyaman dengan status janda kamu. Itu sebenarnya bukan masalah yang harus diperbesar. Kamu ketakutakan dengan pemikiran kamu sendiri, sampai kamu nggak memberi kesempatan diri kamu untuk kembali mencoba."

"Aku udah coba untuk melakukan itu, Bang." Aku memang pernah mencoba menjalin hubungan dengan seseorang tanpa sepengetahuan orang lain. Tapi semuanya nggak berhasil karena rasanya hatiku nggak bisa terkoneksi dengan baik.

"Dan, gagal." Bang Rado menjawab dengan santai. Aku mengangguk dan menghela nafas lelah.

"Karena kamu nggak pernah mencoba dengan sungguh-sungguh, Qi. Jadi karena itu, ayo kita coba menjalin hubungan ini dengan serius. Buka hati kamu untuk aku supaya aku bisa masuk kesana. Dan tentu saja, kesampingkan masalah status. Karena aku nggak pernah permasalahkan itu."

Aku diam, mencoba mencerna kalimat panjang Bang Rado. Mengesampingkan masalah status? Lalu bagaimana kalau ada gunjingan tentang kami saat seandainya kami menjalin hubungan nanti.

"Kamu memikirkan gunjingan orang lain?" Seolah mengerti apa yang ada dalam pikiranku, Bang Rado tanpa sungkan melontarkan pertanyaan itu. Aku masih diam, ingin menjawab tapi seolah lidahku kelu.

"Dia kembali, Bang." Bukan sebuah jawaban yang aku berikan, malah memberikan pernyataan lain. Aku bisa melihat kebingungan dalam raut wajahnya.

"Davie, dia udah pulang ke Indonesia." Aku memperjelas 'dia' yang aku maksud. Rahangnya terlihat mengetat, entah karena apa. Dia memang tahu siapa Davie. Meskipun dia belum tahu cerita di balik pisahnya kami beberapa tahun yang lalu.

"Disini," aku menunjuk dada kiriku, "E,ntah perasaan seperti apa yang masih ada, aku nggak bisa membenci dia, tapi aku juga sakit hati setiap lihat wajah dia. Perasaanku kacau, Bang. Aku nggak bisa mendeskripsikan perasaanku sendiri. Aku bingung." Akhirnya air mataku meluncur keluar meskipun aku sudah menahannya. Aku memang cengeng.

Aku bisa melihat dari ekor mataku, Bang Rado mencondongkan tubuhnya kedepan agar lebih dekat denganku dan mengegenggam tanganku, erat. Tapi dia hanya diam, entah apa yang dia pikirkan.

"Kata orang, untuk melupakan seseorang, kita perlu orang baru untuk membantu." Dia memandangku lekat, tatapannya begitu lembut. Tangan kanannya mengusap air mataku.

"Abang bilang Abang menyukaiku. Sejak kapan?" Tidak terlihat jika dia kaget dengan pertanyaanku.

Bang Rado tersenyum lembut sebelum menjawab. "Sejak kamu bekerja di kantor. Aku nggak tahu kenapa, saat melihat kamu tersenyum sama semua orang, aku seperti melihat peri kebahagiaan yang datang ke bumi untuk melenyapkan kesedihan semua orang."

Ah, aku ingat waktu itu aku baru saja lulus kuliah. Aku melamar bekerja di perusahaan ayah sebagai karyawan di sana. Tentu saja sebelum aku memutuskan untuk membuat bisnisku sendiri bersama Devie. Meskipun ayah pemilik perusahaan, tapi aku tetap menjadi karyawan kontrak. Jadi setelah kontrakku habis, dan medapatkan ilmu dari orang-orang di sana, aku berani membuka bisnisku sendiri tanpa campur tangan ayah.

"Selama itu?"

"Iya. Selama itu. Tapi aku bisa menekan perasaanku agar tidak terlihat oleh siapapun. Sayangnya, orang tua kamu adalah orang-orang yang jeli dan aku ketahuan." Bang Rado tersenyum di akhir kalimatnya.

"Jadi, Qi." Bang Rado meremas tanganku yang masih digenggamnya. "Apa kamu akan memberi kesempatan untuk aku?" Meskipun berat, aku tetap mengangguk.

Tidak ada salahnya untuk mencoba kan.

°•°•°

Davie

Menjadi pengangguran memang sangat tidak enak, aku bahkan kebingungan kegiatan apa yang harus aku lakukan. Bosan, itulah gambaran yang melingkupiku sekarang.

Aku ngerasa sedikit menyesal karena harus melepaskan pekerjaan yang sudah memberiku pelajaran yang sangat berharga. Tapi mau bagaimana lagi, itu sudah menjadi keputusanku. Sebenarnya sudah ada perusahaan di Indonesia yang akan merekrutku, tapi aku masih memikirkannya.

Menjadi Insinyur Perminyakan memang akan mendapatkan bayaran besar setiap bulannya. Tapi kita juga harus siap tinggal jauh dari peradapan. Itulah resikonya. Karena insinyur perminyakan berperan mencari reservoir minyak dan gas di bawah permukaan bumi. Kami dituntut untuk mengembangkan maupun menerapkan metode paling aman dan efisien untuk mengangkat minyak maupun gas di bawah lapisan tanah ke atas permukaan.

Selain itu, sebagai tuntutan untuk peningkatan energi alternatif, membuat sebagian dari kami mengalihkan bakat untuk bekerja pada pengembangan produk energi ramah lingkuangan, energi tersebut umumnya dalam bentuk bahan bakar yang hanya menghasilkan emisi karbon dalam jumlah sedikit.

Alah, kenapa aku jadi berbicara yang tidak-tidak. Nggak penting juga aku mengatakannya kan.

"Abang, anterin aku yok." Devie, tiba-tiba datang dan membuyarkan lamunannku. Dia sudah terlihat cantik, seperti biasa.

"Jalan-jalan lah. Aku lihat kok kayaknya Abang nggak punya semangat hidup gitu. Bengong mulu pekerjaannya." Dasar adik sialan, mulutnya bener-bener minta disumpal. Pantes aja dia belum dapet pacar. Mana ada cowok yang tahan sama cewek lemes macem adikku ini.

"Jalan-jalan kemana?" Malas menanggapi cacian adik tersayang. Dan aku berpura-pura sibuk dengan laptop di pangkuanku.

Duduk di sofa dekat pintu, dia melipat kakinya dengan anggun sebelum menjawab. "Kemana aja, kali aja bisa ketemu awewe geulis."

"Nggak menarik."

"Cekk." dia berdecak sinis. "Emang nggak ada kok yang semenarik kakak."

"Itu tahu." aku menjawab ringan, membuat Devie menyeringai. Tapi bodo amat lah. Devie semakin ditanggapi semakin menjadi. Jadi biarlah dia berfikir semaunya.

"Abang perlu teman nggak?" tanyanya lagi. Aku memilih fokus kepadanya.

"Untuk?"

"Meratapi nasib. Kasihan aja sih kalau Abang meratapi nasib sendirian." Shit. Meratapi nasib katanya? Sialan banget si Devie, kata-katanya bisa banget buat orang naik darah.

"Pergi sana. Pusing abang lihat kamu lama-lama." Aku berusaha mendorong Devie keluar kamarku, tapi dasarnya adikku itu emang tambeng, dia mana mau nurut.

"Aku tadi kan ajak Abang, kalau Abang nggak mau, ya aku nggak mau keluar." Devie dan sikap keras kepalanya memang menyebalkan.

"Ya udah. Nikmati harimu." aku kembali menekuni laptopku dan membiarkan Devie berbuat semaunya. Tapi dasar si Devie kampret, dia bahkan mengeluakan suaranya dengan keras dengan nada aneh. Bernyanyi, menggunakan remote AC sebagai microphone dan suaranya seolah akan memecahkan gendang telingaku. Ya ampun, ingin sekali aku membenturkan kepalaku sendiri karena ulah menyebalkan adikku itu.

"Ok, fine. Aku siap-siap. Kamu keluar dulu."

"Emang aku sebodoh itu apa. Kalau aku keluar, bisa dipastikan Abang nggak akan keluar kamar dan menguncinya dari dalem." Ya ampun, dia bahkan nggak bisa dikelabuhi sama sekali.

"Aku siap-siap." Aku mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi, tak lupa bantingan pintu. Aku bisa mendengar tawa Devie dari luar sana.

Kampret...

Selama diperjalanan, Devie tak berhenti berbicara. Dia seperti kembaran burung saja. Ngoceh terus tanpa henti. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan dan gelengan, sesekali deheman.

Kami tiba di salah satu mall di Jakarta. Devie langsung menggandeng tangan kiriku setelah turun dari mobil. Aku nurut saja ditarik kesana kemari. Dari toko satu ke toko lain. Bahkan di satu toko saja, dia bisa menghabiskan hampir setengah jam hanya untuk memilih baju yang memiliki model sama dengan warna beda. Cewek dengan segala kebingungannya.

"Bang, warna putih atau hitam?"

"Hitam."

"Tapi putih lebih elegan."

"Ya udah putih."

"Tapi hitam buat aku kelihatan langsing."

"Ya udah hitam." kira-kira seperti itulah 'perdebatan' kami. Aku nggak ingin terlalu menanggapinya, pusing.

Setelah selesai dengan kegiatan belanjanya, dia kembali menarikku ke arah gedung bioskop. Menonton, adalah salah satu list yang tidak akan dilewatkan Devie.

"Aku pilih filmnya A bang beli popcorn nya." Gampang banget dia memerintahku, kalau Mama tahu bisa dipastikan jitakan mama akan melayang di kepalanya. Dan lagi, aku menurut. Malas berdebat.

Aku mengantri di belakang perempuan dengan rambut sepuggung, mengingatkan aku dengan Qiana. Ah, Qiana lagi. Setelah kejadian di apartemen waktu itu, aku belum berani menemuinya kembali.

Dan seolah waktu berhenti berjalan saat perempuan di depanku tanpa sengaja menyenggolku, dan popcorn yang dipegangnya hampir tumpah.

"Qiana!" aku membeku ditempatku, Qiana juga terlihat sangat kaget. Ya Tuhan. Kenapa dia hari ini terlihat sangat cantik sekali. Kami masih saling sibuk memandang saat sebuah panggilan menyadarkanku.

"Kakak! Abang!" Suara Devie menyadarkanku. Aku merasakan tubuhku lemas saat ada seorang pria mendekat ke arah kami, bukan, tepatnya kearah Qiana. Dia terlihat asing dimataku, tapi juga familiar. Dan meskipun aku nggak ingin peduli, tapi lelaki itu membuatku ingin sekali marah.

"Qi, kamu nggak papa?" aku bisa melihat dengan jelas jika pria itu menyukai Qianaku. Bahkan, seolah aku hanya butiran debu yang tidak berarti meskipun aku berdiri didekat mereka. Pria itu dengan terang-terangan meneliti tubuh Qiana, memastikan jika cewek itu memang baik-baik saja. Bastard.

°��°•°

Yoelfu