Pertama kalinya Senja menginjakkan kakinya di tempat seperti ini. Anaya terus saja menekuk wajahnya. Dia sama sekali tidak setuju Senja ke sini. Area balapan bukan tempat yang baik untuk Senja. Apalagi balapan liar.
Berbeda dengan Anaya, Kelin dengan semangat bercerita pada Senja. Temannya itu sering ketempat ini ternyata. Senja mengamati setiap sudut. Dia belum menemukan pemuda yang tinggal satu atap dengannya sekarang.
"Ayo ke sana." Kelin menarik tangan Anaya dan Senja.
Mereka berjalan kearah geng Cobra yang sedang berkumpul. Senja tak tahu karena dalam geng Cobra dia hanya mengenal Bintang dan tiga temannya. Dengan canggung Senja tersenyum pada mereka yang tengah berkumpul.
"Eh anak kecil kenapa kalian di sini?" Senja pernah melihat pemuda itu di sekolahnya dulu.
"Kami bukan anak kecil." Sanggah Kelin cepat.
Mereka tidak menjawab, suara keras motor lebih menarik. Di sana terlihat tiga motor yang sudah di modifikasi. Terlihat sangat keren. Ketiga pemuda itu menggunakan jaket kebanggan geng Cobra. Ketiga motor itu tepat berhenti di depan ketiga gadis itu.
Senja menatap lurus pemuda yang sedang melepaskan helmnya. Mata keduanya bertemu. Tatapan itu sangat dingin, Senja tidak mengenal dengan tatapan itu. Tidak sanggup lebih lama, Senja memilih menundukkan kepalanya.
"Bos jangan tatap gadis kecil seperti itu dia ketakutan." Kata Beno.
"Kenapa kalian di sini?" Bintang masih fokus menatap Senja. Membuat Senja meremas roknya takut. Anaya yang berada di samping Senja sadar dengan kekuatan Senja.
"Tidak ada tulisan larangan kami ke sini. Berhenti menatap Senja!" Ketus Anaya dengan berani.
"Senja teman gadis bar-bar ini." Batin Bintang masih menatap Senja.
"Gue bilang berhenti tatapan dia! Mau gue colok bola mata lo?" Ganas Anaya.
"Hehe Kak Bintang maafin teman gue ya. Sebenarnya kami ke sini mau lihat Kakak balapan. Hmm Senja dia penasaran." Kelin membuka suaranya, Senja menatap protes, Bintang menaikan alisnya.
"Kenapa Senja? Lo yang buat kita ke sini. Senja ayo kita pulang." Anaya menarik tangan Senja.
"Eh." Kaget Senja.
"Kalian enggak bisa pergi baru saja gadis kecil ini menjadi taruhannya." Senja dan kedua temannya membulatkan mata terkejut mendengar perkataan Simba.
"Apa maksud lo?" Aura tidak baik keluar dari tubuh Bintang dia menatap tajam Simba.
"Selamat sore pimpinan Cobra." Sapa suara itu.
Senja makin kuat menggenggam tangan Anaya. Jantung berdetak lebih cepat. Dia tidak menyangka baru pertama kali ke sini sudah menjadi bahan taruhan. Senja Menundukkan kepalanya kembali. Air mata mulai mengalir, Bintang yang melirik sekilas bisa melihat itu.
"Mereka bukan bagian dari kami. Gue enggak akan mau balapan dengan taruhan rendah seperti ini. Hidup atau mati mereka bukan urusan gue." Bintang berujar dingin.
"Jadi gadis ini bukan taruhan yang menarik buat lo?" Dia menarik tangan Senja. Bintang masih tidak bergeming.
"Mau lo jual atau mengambil organ tubuhnya bukan urusan gue." Bintang turun dari motornya dan pergi dari sana.
"Lepaskan dia bangsat!" Teriak Anaya nyaring.
Senja diam, perkataan Bintang tadi melukai hatinya. Air mata mengalir membasahi pipinya. Dia sadar dia bukan siapa-siapa untuk Bintang. Dia yang terlalu bodoh karena terbuai dengan kebaikan Bintang.
"Lepaskan dia!" Anggota Cobra hanya menonton apa yang terjadi mereka tidak ingin ikut campur ketika bosnya saja tidak peduli.
Akkh...
"Gadis sialan." Senja menggigit tangan Simba.
"Senja." Teriak Anaya dan Kelin ketika Simba mendorong Senja dan kepalanya terbentur trotoar.
Bintang yang mendengar suara panik dan khawatir itu menoleh kebelakang. Dia melihat Senja yang sudah terjatuh dengan Anaya dicekal Billy. Dia geram saat ini.
"Lepas!"
"Wah apa ini yang berharga?" Billy menaikan alisnya. Simba yang melihat itu menyeringai puas.
Bukh...
Tanpa mengatakan apa-apa lagi Bintang menendang Billy. Membuat pemuda itu mundur kebelakang dan cekalan tangan Anaya terlepas diapun langsung menghampiri Senja.
"Gue enggak suka kalian bersikap brengsek di depan gue." Suara itu sangat datar.
Dengan sudut matanya Bintang melirik Senja. Darah mengalir di pelipisnya. Amarah Bintang meradang. "Pergi lo dari wilayah gue!"
"Baiklah tuan muda kami pergi." Simba bisa merasakan aura buruk. Lebih baik mundur sekarang dan menang nanti."Ayo Bil cabut."
Bintang, tanpa mengatakan apapun langsung menggendong Senja. Dia berlari pergi dari sana. Menuju jalan raya dan mencari taksi. Anggota geng yang melihat apa yang dilakukan bosnya hanya bengong sejenak. Lalu mereka mengajak kedua gadis yang masih menangis untuk segera menyusul Bintang dan Senja.
***
Bintang tidak melihat seberapa keras Simba mendorong Senja. Darah yang mengalir di pelipisnya sangat banyak. Untuk pertama kalinya semenjak dia besar, Bintang baru merasakan kembali ketakutan. Dia takut kehilangan Senja, gadis yang baru dia kenal.
"Senja lo harus buka mata! Lihat gue di sini. Maaf karena tidak langsung membela lo." Senja menatap lemah Bintang, hatinya bahagia. "Ya lo harus selalu terjaga. Kita akan segera tiba."
"Jangan jual Senja." Lirih Senja, hati Bintang nyeri. Dia baru sadar jika perkataannya menyakiti Senja.
"Maaf. Jangan banyak bicara lagi!" Senja tersenyum. "Pak, apa masih jauh?"
"Jauh dek, tapi di dekat sini ada klinik."
"Bawa kami ke sana."
"Baik."
***
"Siapapun tolong!" Teriak Bintang.
Beberapa orang yang sedang mengantri membeli obat menatap mereka terkejut. "Bawa ke sini!"
Bintang membaringkan Senja diranjang klinik. Dokter itu menyuruhnya keluar. Bintang hanya bisa berdoa semoga saja Senja baik-baik saja. Jika ada hal buruk yang terjadi dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
"Bagaimana?"
"Semua sudah baik. Lukanya tidak terlalu dalam hanya dua jahitan. Cuma fisiknya terlalu lemah. Kamu harus menjaga dia dengan baik. Saya pamit, kamu bisa lihat dia sebentar lagi dia sadar."
"Iya." Dokter itu tersenyum.
Di lain sisi teman Bintang dan Senja sudah tiba di rumah sakit. Mereka langsung kebagian resepsionis dan mencari keberadaan Senja. "Sus apa ada pasien yang bernama Senja? Kepalanya terluka."
"Dia baru saja di bawa kemari."
"Pasien dengan nama Senja belum terdata. karena pasien baru coba kalian cek di UGD."
"Baik, makasih Sus."
Mereka segera berlari ke UGD dengan harapan Senja ada di sana dan baik-baik saja. Namun, harapan itu sirna ketika Suster itu mengatakan jika tidak ada pasien yang masuk karena luka di kepalanya.
"Sekarang ke mana kita harus cari Senja. Bintang bawa Senja ke mana?"
"Bersama Bintang dia pasti akan baik-baik saja." Ujar Satria menenangkan.
"Kalau Senja kami Sampek kenapa-napa gue akan bunuh Bintang kalian." Amuk Anaya.
"Tenang dulu, mungkin saja si bos antar Senja pulang. sekarang kita ke rumah Senja saja untuk memastikan." Galang buka suara.
"Senja sudah pindah rumah kami enggak tahu rumah baru dia." Lirih Kelin. "Ini semua salah gue, kalau saja gue enggak ajak dia ke balapan pasti saat ini Senja tidak kenapa-napa." Kelin menyalahkan dirinya sendiri.
"Kita enggak usah saling menyalahkan." Anaya menepuk pundak Kelin. "Kalian hubungi Bintang!"
"Sudah, tetapi dia tidak menjawab." Anaya diam, dia berusaha berpikir positif.
***
Bintang menunggu Senja membuka matanya. Luka yang dialami Senja bukan luka yang terlalu dalam. Hanya dua jahitan, menurut Bintang itu bukan hal yang parah. Namun, luka yang tidak terlihat lebih dalam Senja rasakan saat ini. Dokter praktek yang menangani Senja tadi mengatakan jika batin Senja terluka.
"Sebenarnya sebanyak apa masalah yang telah lo hadapi?" Lirih Bintang.
Tangan Bintang terulur untuk mengusap dahi Senja pelan. Luka yang disebabkan musuhnya. Kalau saja saja Senja tidak pergi ke tempat itu, hal seperti ini tidak akan terjadi. Bintang memperhatikan wajah Senja yang terlihat lelap dalam tidurnya.
"Bintang."
Bintang menoleh ke belakang, di sana ada dokter yang menangani Senja. "Ada apa Dok?"
"Jika kamu ingin membawa Senja pulang sudah bisa. Ini obat yang harus dia minum, dan ini salepnya ketika ganti perban kamu oleskan ini!"
"Baik Dok."
"Kalau menunggu dia sadar juga boleh." Bintang hanya menganggukkan kepalanya.
***
Senja membuka matanya perlahan, cahaya matahari menganggu tidurnya. Rasa nyeri di dahinya membuat tangan Senja tergerak untuk menyentuh dahi yang sudah di perban itu.
"Aah ini bukan mimpi." Gumam Senja, ketika ingin turun dari ranjang dia melihat meja belajar milik Bintang. Di sana pemuda itu terlelap.
Senja meras bersalah karena dia Bintang harus merasakan ketidak nyamanan saat tidur. Senja menghela nafas berat. Mungkin benar kata kakek neneknya jika dia adalah pembawa sial. Siapapun yang bersamanya akan menderita.
"Maafkan Senja tidak seharusnya Kakak ikut menderita karena Senja." Kata Senja menatap Bintang yang masih memejamkan matanya.
"Emang gue menderita apa?" Senja kaget dengan Bintang yang tiba-tiba buka suara.
"Kakak sudah bangun?"
"8 menit sebelum lo. Jadi gue menderita bagian mana?" Bintang kembali pada pertanyaannya yang tadi.
"Hmm karena aku hmm Kakak...." Senja tidak tahu harus melanjutkan perkataannya seperti apa.
"Sudah jangan banyak mikir yang bukan-bukan. Jika kondisi lo membaik. Bangun bersiaplah untuk ke sekolah. Jika masih merasakan sakit berbaringlah!" Perkataan Bintang jelas dan tegas.
"Aku akan ke sekolah."
"Kalau mandi lukanya jangan kena air." kata Bintang mengingatkan.
"Iya Kak."
***
Anaya dan Kelin sangat heboh ketika Senja berada di kelas. Mereka dengan semangat dan perasaan lega menghampiri Senja dan memeluk gadis itu. Senja hanya diam dengan tingkah temannya.
"Syukurlah lo baik-baik saja."
"Emang aku kenapa?"
"Ni jidat lo jadi di perban gini. Emang lo kenapa ah." Teriak Anaya.
"Maaf."
"Seharusnya gue yang minta maaf. Enggak seharusnya gue bawa lo ke sana." Lirih Kelin bersalah.
"Sudahlah yang penting aku baik-baik saja."
"Senja." Ernes dan Galang langsung menghampiri Senja. "Lega gue liat lo. Kalau enggak nyawa si bos terancam."
"Si bos?" bingung Senja.
"Anaya mengancam akan membunuh Kak Bintang kalau lo kenapa-napa." Jelas Kelin melihat wajah bingung Senja.
"Itu bukan ancaman. Kalau Senja kenapa-kenapa gue bunuh beneran tu preman warteg."
"Wah sadis benar si cewek bar-bar. cuma lo yang berani sama si bos." Ernes me mengeluarkan pendapatnya.
"Dia masih makan makanan manusia kan?" Kompak Ernes dan Galang menganggukkan kepalanya. "Yasudah kenapa gue harus takut." Acuh Anaya.
Senja diam. Dia ingin berani seperti Anaya. Senja tidak ingin di tindas. Namun, dia terlalu penakut. Dia tidak sehebat dan seberani Anaya.
***
Bintang menatap foto Senja yang ada di ponselnya. Gadis lemah itu telah berhasil menarik perhatian Cowok keras seperti Bintang. Kehadiran Senja bahkan membuat Bintang melupakan masalahnya. Ada rasa dalam diri Bintang yang ingin selalu menjaga Senja. Senja gadis istimewa yang membuat dia goyah dengan prinsipnya.
"Uff salah enggak sih gue suka dia?" Lirih Bintang.
"Enggak salah, semua orang berhak suka sama siapapun."
"Paman." Suara Bintang terdengar tidak suka dengan Kehadiran laki-laki itu. "Paman kerja aja sono." Usir Bintang.
"Bos mah bebas. Tang emang kamu jatuh cinta sama siapa?" Penasaran sang Paman.
"Sama hmm Bunda Intan." Muka sang Paman mendadak suram. "Haha santai Paman. Terus berjuang merebut hati Bunda. Bintang enggak nikung kok." Bintang puas bisa menggoda sang Paman.
"Ahh susah dia terlalu setia sama almarhum suaminya." Lirih Kesyan.
"Usaha lebih keras Paman. Usaha tidak akan mengkhianati hasil." Bintang memberikan semangat pada Kesyan.
"Paman sudah gagal Tang. Dia selalu menghindar karena alasan umur. Padahal cuma beda 8 Tahun." Lirih Kesyan. Bintang tidak habis pikir dengan sang Paman. Delapan tahun kok cuma.
"Paman akan sia-siakan waktu 10 Tahun paman setia sama Bunda hanya karena perbedaan umur? Paman, Bintang lihat Bunda sering mencari keberadaan Paman."
Kesyan diam, dia ingiat masa lalunya. Ketika genap berusia 17 tahun dia menemukan cintanya. Ya, dia mengerti jika perasaan yang dia miliki untuk sahabat Kakak perempuannya bukan perasaan suka sementara. Dia yakin itu cinta. Dengan berani Kesyan menyatakan cintanya pada wanita yang Bintang panggil Bunda. Namun, cinta dia yang tulus hanya bertepuk sebelah tangan.
Amelia Giandra, telah menerima cinta dari Ferdiansyah. Hatinya sakit dan patah. Cintanya di tolak begitu saja. Hanya karena dia anak kecil, belum mengerti tentang cinta. Sekarang setelah 10 tahun berlalu anak kecil itu sudah bisa membuktikan kalau dia sudah dewasa. Lagi umur menjadi masalah terbesar dalam hubungan mereka.
Katakan saja jika Kesyan laki-laki yang jahat, kerena dia sangat bahagia ketika tahu suami Amelia meninggal seminggu setelah mereka menikah. Ferdiansyah meninggal karena penyakit yang dia deritanya sejak kecil.
"Paman." Panggilan Bintang membuat Keysan kembali ke dunia nyata. "Jangan melamun nanti bunda di ambil orang."
"Apa sih kamu." Kesal Kesyan.
"Paman, mau ikut Bintang ke rumah Bunda?".
"Sekarang?" Bintang menganggukan kepalanya semangat.
***
Kesyan dan Amelia duduk berdampingan mereka hanya diam. Bintang yang sedang main-main dengan anak panti memilih tidak ikut campur. Dia ingin melihat kedua orang yang dia cintai itu Bahagia. Bintang bisa merasakan jika Bundanya juga memiliki perasaan yang sama untuk Pamannya.
"Kamu masih cantik dengan dress itu." Kesyan sudah membuka pembicaraan Bintang menjauh dari sana dengan anak-anak panti.
"Terimakasih."
"Mel. Hati aku untuk kamu masih sama. Aku harap kamu akan membuka hati kamu untuk aku."
"Kesyan kita enggak mungkin...."
"Kalau kamu enggak mau membuka hati kamu untuk aku sampai kapanpun itu tidak akan mungkin. Kamu coba menerima aku." Lirih Kesyan.
"Perbedaan itu delapan tahun dan sekarang aku bukan lagi perempuan yang sama ketika kamu lihat sepuluh tahun yang lalu. Aku janda."
"Janda masih perempuan kan? Dan selama itu kamu aku enggak peduli."
"Tapi aku peduli Kesyan. Kamu jangan egois, kamu juga harus mengerti dengan posisi aku. Aku janda dan aku sudah tua. Aku enggak pantas sama kamu hiks..hiks berhenti Kesyan!." Amelia berteriak keras membuang semua uneg-unegnya.
"Tapi aku cinta sama kamu." tegas Kesyan dengan perasaannya.
"Cinta? kamu pikir kita hanya hidup dengan cinta? Di dunia ini kita bukan hanya berdua kamu harus mengerti itu."
"Kenapa aku harus peduli sama kata orang? Aku cinta sama kamu aku enggak peduli dengan yang lain." Keras Keysan.
"Kamu kekanak-kanakan. Kamu belum dewasa." Amelia melepaskan genggaman tangan Kesyan dan pergi dari sana.
"Amelia." Teriak Kesyan ingin mengejar.
"Paman." Bintang menghentikan Kesyan yang ingin mengejar Amelia. "Jangan Paman, beri waktu untuk Bunda."
"Berapa lama lagi?" Ketus Keysan. "Hatinya memang batu. Dia tidak peduli dengan perasaan Paman."
"Paman. Hanya menunggu sebentar lagi Bintang yakin Bunda akan melihat perasaan Paman. Hati Paman terluka karena Bunda enggak menerima paman. Tetapi Bunda lebih terluka karena dia bahkan tidak bisa jujur pada perasaannya sendiri." Kesyan tidak menjawab apapun tetapi kakinya berbalik meninggalkan tempat itu.
***