Pukul tujuh malam
Di taman tak jauh dari pusat kota dimana bangunan megah kawasan modern keluarga Vino berdiri.
Vira mulai berjongkok, dia menahan tangis nya tapi tak mampu, jadinya dia sesegukan seperti abis nangis sepuluh hari sepuluh malam.
"Lagian gue tuh ya, udah tau ini nikahnya aja settingan tapi ngarep!" Vira mentoyor kepalanya sendiri dan mengeluh nyeri
"Ngarep lu tuh ketinggian Vira!" Kesalnya pada diri sendiri
Tentu saja gadis itu sangat kecewa dengan Vino, dia juga kecewa dengan perasaannya sendiri, kenapa dia bisa selemah ini, dia hampir saja percaya dengan Vino
Vira merasa telah di bodohi! Entah dibodohi oleh Vino atau dibodohi oleh perasaannya sendiri, intinya dia bodoh! Ups..Vira sangat menyesal kan itu
Gadis itu memukul mukul kepalanya, berusaha menyadarkan pikirannya yang gampang sekali di bohongi
"harusnya gue sadar, bodoooh!!!" umpatnya lagi pada diri sendiri
selamat mengumpat kebodohan diri sendiri di sepanjang malam menikmati angin taman, yang makin malam, makin gelap, makin dingin, makin sunyi, sementara Elfira entah sadar atau engga cuma pakai kaos oblong dan sweater rajut tipis yang harganya ga sampe gocapan di pasar malem. Belum lagi sendal teplek merk guci kw ke sekian itu. Kontras banget sama penampilan suaminya. Lagi.. barang pemberian Vino di simpen aja, katanya sayang kalau dipake, takut rusak.
-----
Hazel baru saja melangkah melintasi ruang keluarga dimana mami dan papinya asik bercengkrama mesra sambil berdekapan di sofa depan televisi. Pria itu bersiul nyaring sambil memainkan kontak mobil BMW di jarinya.
"Hazel sayang, kamu mau kemana nak?" Tanya mami Cyntia dengan suara mendayu khasnya. Hazel sontak menghentikan langkah dan tersenyum super manis.
"Cuma mau Nongk Nongki sama temen temen mam" ujar Hazel
Cyntia bangkit dari sofa, dia menghampiri putra tampannya yang tampil super stylist abis malam ini. Boomber jacket merk Givenchy, kaos oblong off white, yang paling oke adalah sepatu puluhan juta dengan ujung ujung runcing berwarna gold keluaran haute couture Eropa. Masalah penampilan, Hazel memang juara deh.
"No mabuk, no drugs, no freesex" nasehat Cyntia dengan ujung jarinya menyentuh lembut ujung hidung mancung Hazel.
"Mam plis deh, Hazel udah dua puluh tahun, mami udah ga usah bahas kayak begituan mam" protes Hazel menepuk dahi kesal.
"Hazel benar sayang, sudah saatnya dia menjadi pria dewasa" ujar Broto ikut ambil bagian. Cyntia mengangguk angguk kecil.
"Tapi pap, aku takut kalau Hazel itu dimanfaatin orang. Dia tuh masih polos dan begitu alami" sambil membelai rambut Hazel, Cyntia menitipkan kecupan kecil di dahi.
"Mam apa sih!" Protes Hazel merajuk.
"Yaudah okay, jangan pulang malam malam" Cyntia mengalah melihat raut wajah Hazel sesudah berubah kesal.
"Oiya sayang, limit kamu masih full kan?" Tanya Cyntia sebelum Hazel melangkah terlalu jauh, anaknya hanya mengibaskan tangan.
"Aman mam, aku belum pakai kartu dari mami papi, aku masih punya uang!"
Ah.. Cyntia membuat raut wajah bangga akan kedewasaan anaknya dalam mengatur keuangan. Broto ikut menoleh dan takjub mendengar ucapan Hazel barusan.
"Dia tidak pakai kartu hingga over limit?" Tanya Broto tak percaya, Cyntia mengangguk dengan bangga.
"Luar biasa" puji Broto
"Tentu saja, Hazel anak yang hemat dan pekerja keras"
lanjut Cyntia mengagul agulkan putranya.
"Ah, bagaimana dengan Vino? Apa putra kita yang satu itu boros?" Cyntia mencuri celah, mungkin ini saatnya dia mulai mempromosikan putranya. Broto mengangkat bahu dengan wajah malas. Udahlah ga usah bahas dia. Kira kira seperti itu arti raut wajah pria berkumis itu.
"Vino ya, dia itu akan mengeluarkan uang seratus ribu untuk barang yang bisa dia jual dengan untung satu juta"
"Oh ya?" Ujar Cyntia melebarkan senyuman. Apa itu artinya? Hemm.. senyum Cyntia berubah kaku.
Broto kembali menyaksikan acara televisi
"Kalau semua putra kita seperti ini, lalu siapa yang akan memakai uang yang menumpuk di kamar kita?"
***
Belum setengah jam Hazel menggas mobil mewah mengkilatnya, matanya yang awas bisa mengenali sosok gadis yang berjalan lunglai di depan sana.
"Ga salah?" Tanya Vino pada diri sendiri
"Itu Vira?" Dia melewati gadis yang dari tadi dia perhatikan dan meyakini jika itu benar Vira. Hazel memundurkan mobilnya. Dia mencari tempat parkir.
Gadis yang berjalan lemas dan wajah lesu itu, jelas itu Vira, siapa lagi yang mukanya nelangsa minta dikasihani disini, selain Elfira. Tanpa mengulur waktu Hazel turun dari mobil dan menyebrangi jalan.
Namanya jalan protokol, jam sore menjelang malam, selalu padat merayap, belum lagi di kiri kanan banyak pedagang asongan, kaki lima, orang nyebrang sembarangan termasuk Hazel, muda mudi nongkrong dan ngobrol sambil borong jalan.
Vira yang tadi di lihat Hazel dari seberang sudah menghilang.
"Kemana tuh orang? Perasaan tadi disini!" Hazel mencari ke sekeliling, tapi belum juga mendapati sosok gadis yang tadi dia liat.
"Ah, beneran Vira bukanyl ya? Mukanya pasaran sih!" Sue emang Hazel. Dia mengangkat bahu dan tak menemukan Vira, yasudahlah mungkin dia salah lihat.
Hazel melangkah ringan sambil bersenandung, kembali ke jalur sebelumnya.
langkah riangnya berhenti ketika melihat sosok gadis berjongkok di depan sana
"Tuh beberkan mata gue. Itu beneran Vira!" menyadari itu teman sekelasnya membuat Hazel segera berlari menghampiri
"Viraa!" panggil nya tanpa ragu. Pria itu melambaikan tangan dan tersenyum sumringah.
Hazel semakin mendekati posisi Vira yang senderan di tiang lampu taman.
"Lu ngapain sih?" Tanya Hazel bingung, dan bertambah bingung mendapati gadis itu menangis
"Huhuhu.."
"Vir, lu kenapa sih?" Hazel ikut berjongkok menyamakan tinggi posisi mereka, dia meyakinkan diri sekali lagi kalau ini beneran Vira, bukan orang jadi jadian.
"Hiks.. hazeelll!!" Isaknya manja dengan rengekan khas. Vira mengangkat wajah perlahan, dia melihat wajah polos Hazel dengan dua bola mata yang menatap nanar ke arahnya.
"Huaaaaa.. huhuhu...." tangisan Vira semakin jadi, tangisan kencang Vira membuat Hazel kian bingung, apa yang harus dia lakukan?
"Lu kenapa sih? cup.. cup.. cup.." Hazel berusaha menghibur dengan wajahnya yang panik bercampur cemas.
"Ya ampun, lu kenapa sih?" Hazel menjangkau pundak Vira. Berat euy.
"Lu jangan gini dong.." Hazel meraih bahu Vira sekali lagi dan berusaha mengangkat badan berat gadis itu, dia berniat mendudukan Vira di kursi di pinggir jalan
"Lu diet napa, berat banget" ketus Hazel dengan wajah kepayahan
"sial lu.." bales Vira di tengah tangis nya, gadis itu segera berhenti menangis dan membuat wajah mencibir
"Lagian lu kenapa, nangis di pinggiran jalan. Kayak bocah ga dapet jajan!"
"Hazeeell.." rengek Vira semakin jadi, gadis itu merebahkan kepalanya di dada Hazel. Membuat pria itu berhenti mengoceh dan tertegun untuk beberapa saat.
"Vi, vir, viir.." Hazel kesulitan mengatur ucapannya, dia merasakan dada yang berdebar hebat.