Chereads / Gisti / Chapter 6 - 06

Chapter 6 - 06

"Gis, ditunggu Jenderal Sakardi–"

"Untuk apa?" potong Gisti cepat.

Patih menghela napas, menatap datar ke arah gadis yang tengah mengepang rambutnya. "Strategi." Gisti lantas cepat-cepat menyelesaikan kepangan rambutnya, bangkit dari duduk dan berjalan keluar tenda mendahului Patih.

"Saya yang menunggu, dia yang meninggalkan."

***

Ambarawa, 12 Desember 1945

Gisti menghela napasnya, membuka kotak surat yang setiap hari selalu ia baca—meskipun enggan. Dahinya mengernyit heran, mengangkat kotak itu dan menggoyang-goyangkannya.

"Kemarin sepertinya masih ada banyak. Kenapa sekarang hanya satu?" tanyanya pada diri sendiri. Gisti kembali meraih kotak, melakukan kegiatan yang sama. Tapi sayang, hasilnya tetap sama; hanya ada satu amplop cokelat muda di sana.

"Apa ini hari terakhir pertempuran? Atau hari terakhir diriku hidup?" gumamnya. Gisti mengusap wajahnya kasar, menghela napasnya berat sebelum akhirnya membuka amplop dengan nomor 14 yang tertera jelas di pojok amplopnya.

Saya yakin kamu terkejut karena hanya ada satu surat di dalam kotak ini. Kemarin, mungkin kamu melihat masih ada beberapa surat, bukan?

Jangan berpikir terlalu keras, ya. Siapa saya dan di mana saya berada, kamu tidak perlu mencari tahu. Karena saya akan datang dengan sendirinya kepadamu. Kamu hanya perlu duduk, diam, dan membaca surat dari saya.

Gis, seperti yang saya bilang. Jumlah surat ini sesuai dengan hari di mana pertempuran itu akan berakhir. Tidak, pertempuran itu tidak akan berakhir hari ini. Tapi sebentar lagi.

Beberapa surat yang kamu lihat kemarin hilang, karena saya berpikir, mulai hari ini setelah membaca surat ini, kamu sudah tidak bisa membaca surat dari saya lagi sampai kamu kembali ke Batavia.

Sudah. Saya akhiri surat ini, berhati-hatilah, Gis. Nyawamu benar-benar terancam saat ini.

Selamat berjuang, Gisti.

Saya mencintaimu, sampai titik penghabisan darah saya.

Salam,

Dewa.

Gisti meremas surat tersebut, dadanya naik turun. Napasnya pun seakan tercekat di kerongkongan. Sebenarnya siapa pengirim surat misterius ini? Apa dia berada di sini, atau bagaimana? Bagaimana bisa, seseorang itu ....

"Argh! Siapa kamu?!" umpatnya kesal seraya meninju udara kosong.

"Gis?"

Gisti menoleh, raut kesalnya berubah menjadi datar seketika setelah melihat Patih.

"Apa?" ketusnya.

"Kenapa?"

"Saya butuh jawaban dari pertanyaan saya. Bukan pertanyaan balik dari kamu."

Patih menghela napas berat, melangkahkan kakinya untuk semakin masuk ke dalam tenda. "Kita akan berangkat sebentar lagi."

Gisti mengangguk, mengambil senapannya dan beberapa buah belati untuk ia kantongi. Matanya melirik ke tikar tempat ia tidur, terdapat beberapa tumpuk amplop yang tersebar di atasnya.

"Siapa pun kamu, saya akan menghabisimu jika saya sudah menemukanmu."

Patih mendengar apa yang baru saja Gisti ucapkan. Meskipun lirih, telinganya masih cukup tajam untuk mendengar suara Gisti. Jangankan Gisti yang berbicara hampir tanpa suara, semut yang sedang mengobrol saja mungkin Patih tahu karena saking tajamnya indra pendengarnya itu.

"Ayo," ajak Gisti seraya berjalan mendahului Patih.

Patih melirik ke arah tumpukan amplop di atas tikar Gisti, tersenyum tipis kemudian.

***

Masih pukul 04.00 pagi, azan subuh pun baru saja berkumandang. Setelah menyelesaikan serangkaian rukun ibadah dan berdoa, mereka bersiap-siap untuk menyerang sekutu dengan strategi yang telah diputuskan oleh Jenderal Sudirman.

Dengan semangat yang begitu membara, Gisti dan pasukan TKR juga para TNI lainnya mengikuti instruksi yang telah diarahkan oleh Jenderal Sudirman, selaku pemimpin pertempuran ini—menggantikan Letnal Kolonel Isdiman.

Tembakan mitraliur menjadi awalan dalam pertempuran ini, berlanjut dengan para pasukan yang mulai memencar untuk menembak dan menyerang sekutu yang kelimpungan karena serangan tiba-tiba juga kepungan dari pasukan Indonesia.

Gisti memisahkan diri dari Patih, meskipun pria itu sudah mewanti-wanti Gisti untuk terus di sampingnya. Namun, Gisti merasa tidak akan leluasa mengerahkan tenaganya jika di samping Patih. Ia juga tak ingin mengganggu konsentrasi Patih karena pesan Darmi yang mengharuskan Patih menjaga Gisti.

Suara tembakan saling bersautan, pesawat tempur dari sekutu pun mulai digencatkan. Pedang satu dengan pedang yang lain saling berdentingan, jeritan para pasukan yang tertusuk atau tertembak pun seakan sudah menjadi hal yang lumrah bagi mereka semua.

Patih sadar, ada yang aneh. Ia tolehkan kepala ke sana dan ke sini, namun, dia tak menemukan di mana Gisti. Patih kelimpungan, hampir saja ia tertusuk musuh di depannya karena konsentrasinya yang melayang-layang di udara—mengkhawatirkan Gisti.

"Argh!" erangan nyaring terdengar di telinga Patih. Ia lantas berlari, di tengah kebisingan suara yang saling beradu, telinga Patih masih cukup kuat untuk menangkap suara siapa tadi.

Suara Gisti. Tidak ada perempuan lagi di sini selain Gisti.

Jantung Patih seakan berhenti berdetak, kala melihat Gisti sudah terkapar di tanah dengan perut bersimbah darah. Namun, Gisti tetap Gisti. Ia kuat, gadis itu lantas bangkit dan mencabut pedang dari perutnya sendiri dan balas menancapkan kepada dada sekutu.

Belum habis rasa kekesalan sang gadis, Gisti menendang kepala lawan bak sebuah bola. Patih menyeringai, sedetik kemudian ia sadar dan menghampiri Gisti.

Melihat raut wajah Gisti yang begitu pucat, Patih lantas mengangkatnya dan berlalu menjauh dari area pertempuran. Patih menusuk siapa saja–lawan–yang berusaha menghalangi jalannya. Gisti tak ingin terlihat lemah, meski berada dalam gendongan Patih di pundak sang pria, ia juga ikut menendang lawan menggunakan kedua kakinya.

Benar-benar serasi.

"Gis, bertahanlah. Saya mohon," lirih Patih seraya terus berlari. Mengumpat tertahan karena ternyata lokasi pertempuran cukup jauh dari para tenaga medis.

Gisti mendesis, "Saya tidak lemah."

Patih mengabaikan Gisti yang masih saja mengatakan dirinya kuat. Memang benar, Gisti memang kuat. Tapi, tidak bisakah dia diam sebentar untuk menyimpan tenaganya yang semakin menipis?

Patih semakin mempercepat larinya ketika melihat tempat yang ia tuju semakin jelas di depan pandang. "Cepat! Obati Gisti!" titahnya kepada paramedis yang berlari ke arahnya membawa tandu.

Mulutnya terbuka, dadanya naik turun, deru napasnya pun begitu kencang berhembus dari kedua lubang hidung Patih. Ia mengusap wajahnya kasar, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan segala macam doa, berharap supaya Gisti akan baik-baik saja.

"Mau ke mana? Lukamu belum sembuh dan cukup banyak mengeluarkan darah." Patih menoleh ketika mendengar suara-suara kecil.

"Kembali ke pertempuran," jawab Gisti singkat dan berusaha untuk bangun.

"Jangan gila. Diam di sini dan beristirahatlah," tutur Patih memerintah.

"Cih, siapa kamu? Beraninya memerintah saya."

"Saya temanmu, Gis."

"Teman saja belagu."

"Ya sudah. Saya kekasihmu dan saya memerintahkanmu untuk diam dan beristirahat di sini sampai lukamu pulih."

Gisti membeliakkan kedua matanya. Dahinya mengernyit, menatap Patih dengan tatapan penuh keheranan.

Patih yang sadar dengan ucapannya lantas berlalu meninggalkan mereka, berniat untuk kembali ke medan pertempuran. Baru dua langkah ia berjalan, badannya kembali berbalik. Masih sama, Gisti masih menatapnya dengan pandangan menyelidik.

"Kalian semua ...," ujar Patih menunjuk semua tenaga medis, "jaga Gisti. Jangan sampai dia kembali ke medan pertempuran, atau kalian akan berhadapan dengan saya."