Harold sedang rapat dengan tim relasi publik saat Lilia menghubunginya. Setelah pembicaraan mereka berakhir, Harold menatap kosong layar ponselnya.
Tadi siang Jean Widjaya menjemput Lilia dari kantor polisi. Kemudian malam ini Lilia meneleponnya dari nomor yang tidak dikenal dan memberikan alamat rumah pria itu. Mungkinkah Lilia dan Jean punya hubungan yang lebih intim dari yang dia duga?
"Jadi, berkat pernyataan resmi dari pihak kepolisian, opini publik sudah bergeser memihak kita. Kita perlu memanfaatkan situasi ini dan mengembalikan reputasi… Harold, apa kamu mendengarkan?"
Kepala tim relasi publik memanggil Harold, yang masih tenggelam dalam pikirannya.
"Iya, iya, aku dengar. Kita perlu membersihkan nama baik Lilia, kan." Ucap Harold tanpa mengangkat wajah dari layar teleponnya.
Sang kepala tim hanya menghela nafas dan melanjutkan perkataannya.
Dua puluh menit kemudian, Harold langsung meninggalkan ruangan begitu rapat berakhir. Sebelum pergi, dia berpesan pada tim relasi publik untuk menghubungi para jurnalis yang mereka kenal. Dia menjanjikan adanya berita panas yang bisa mereka dapatkan di rumah sakit besok pagi.
*****
Lilia mengembalikan ponsel Jean dan mengucapkan terima kasih pada pria itu. Dia segera berdiri untuk kembali ke kamar, tapi suara berat Jean menghentikan langkahnya.
"Bagaimana kamu akan menyelesaikan masalah ini?"
Lilia menoleh ke arahnya. "Sumber dari semua keributan ini adalah informasi palsu dari Sara. Aku hanya akan memintanya menarik kembali kata-katanya." Jawabnya sambil memainkan ujung rambut panjangnya.
"Hmm…" Gumam Jean tanpa mengangkat wajah dari layar laptopnya. "Aku akan membantumu." Suaranya ringan, seolah pria itu hanya membicarakan tentang cuaca besok. Namun Lilia tahu kalau di balik kata-kata itu tersembunyi pengaruh besar Keluarga Widjaya.
"Tunggu…apa maksudmu?" Lilia mendapat firasat buruk soal ini.
"Aku sudah menyiapkan semua bukti yang memberatkan wanita itu dan memanggil pengacara-pengacara yang terbaik. Aku juga sudah memberitahu jaksa dan hakim kenalanku kalau kamu tidak perlu hadir dalam persidangannya." Ucap Jean tenang.
Lilia tertegun mendengar itu, tapi Jean belum selesai.
"Wanita itu akan dipaksa membayar sekitar sepuluh miliar sebagai denda, tapi jika kamu merasa jumlah itu masih kurang, aku bisa menaikkannya menjadi…"
"Jean! Stop! Tunggu sebentar!" Lilia menaikkan suaranya dan berhasil menghentikan ucapan pria itu.
"Apa ada yang salah?" Jean mengangkat alisnya.
"Dengarkan aku baik-baik, Jean Widjaya! Aku tidak butuh bantuanmu, oke?" Lilia menekan kemarahannya dan berusaha berbicara setenang mungkin. "Aku bukan anak kecil yang tidak paham apa-apa. Aku tahu maksudmu baik, tapi aku bisa mengatasi masalah sepele seperti ini. Untuk apa aku membunuh seekor ayam dengan pisau jagal?"
Jean mengerutkan kening. "Kamu memikirkan masalah ini sampai tidak dapat tidur di malam hari, dan kamu masih menyebutnya masalah sepele?"
"Uh…" Lilia tidak dapat memberitahunya kalau dia tidak dapat tidur nyenyak gara-gara memikirkan pria itu. "Tapi tadi kamu sudah dengar aku menelepon manajerku, kan? Aku sudah punya rencanaku sendiri, jadi percayalah padaku dan biarkan aku mengurus ini."
Jean menatapnya ragu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Lilia menghela nafas. "Kalau aku tidak bisa mengatasinya, aku akan meminta bantuanmu. Aku janji." Lilia berkata dengan sungguh-sungguh.
Jean bisa melihat keseriusan dalam suara Lilia. Dengan berat hati, dia membiarkan wanita itu mendapatkan keinginannya. Jean tahu tunangannya adalah seseorang yang keras kepala, tapi Lilia adalah orang pertama yang bisa membuatnya mengalah seperti ini.
"Terima kasih, Jean! Aku akan menyelesaikan masalah ini dengan baik, lihat saja nanti!" Lilia tersenyum penuh kepercayaan diri, matanya berbinar dengan semangat.
Penampilan Lilia yang keras kepala namun penuh keyakinan itu memancing munculnya senyuman di wajah Jean. Ekspresinya berubah lembut, seolah dia sedang menatap sesuatu yang sangat berharga.
Jantung Lilia hampir berhenti berdetak saat melihat senyuman langka itu.
"A-Aku akan tidur sekarang. Selamat malam!"
Lilia berbalik dan berlari keluar dari sana. Senyuman itu tidak baik untuk jantungnya!
*****
Keesokan harinya, pukul 10 pagi di rumah sakit paling terkemuka di kota Surabaya.
Bunyi ketukan sepatu hak tinggi bergema di lorong rumah sakit. Pemilik sepatu itu mengenakan blus putih dengan rok ketat berwarna biru gelap. Penampilan Lilia tampak menonjol di antara seragam staf rumah sakit.
"Setelah kita belok kiri di lorong itu, kamar nomor 703 ada di sebelah kanan." Harold yang berjalan di sampingnya memberi penjelasan.
Bibir Lilia melengkung membentuk senyum lebar. "Ayo kita selesaikan ini."
Keduanya menuju ke kamar pasien yang mereka cari. Rambut hitam Lilia tergerai lepas dan berayun seiring tiap langkahnya, menarik mata setiap orang yang berpapasan dengan mereka.
Saat mereka tiba di luar kamar 703, mereka dapat mendengar suara manja Sara dengan jelas. "Will, maaf ya kamu sampai menginap di sini untuk merawatku semalaman."
"Tidak apa-apa, aku tidak tenang kalau orang lain yang merawatmu."
Lilia merasa jijik mendengar kalimat itu. William memang ahlinya berbicara manis!
Suara Sara terdengar semakin manja, "Kamu tidak perlu khawatir soal aku. Bukannya kamu ada wawancara untuk dua majalah siang ini? Jangan sampai kamu terlambat!"
"Aku sudah membatalkannya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian di sini…"
Lilia memutuskan kalau dia tidak ingin mendengar sisa percakapan mereka dan segera menggeser pintu kamar itu hingga terbuka.
"Permisi!" Lilia memotong pembicaraan manis mereka tanpa setitik pun rasa bersalah. "Pintunya tidak terkunci, jadi kalian tidak keberatan kalau aku mempersilakan diriku masuk, kan?" Tanya Lilia santai.
William dan Sara menatap Lilia dengan terkejut. Selama sesaat, ruangan itu sunyi senyap.
Sara adalah orang pertama yang pulih dari kekagetannya. Wanita yang memakai baju rumah sakit itu duduk bersandar di tempat tidur. Salah satu kakinya diperban dan disangga agar tidak bergerak. "Oh, Lilia! Kamu datang mengunjungiku? Tentu saja aku tidak keberatan! Silakan masuk!" Sara berkata dengan senyum ramah.
Lilia merasa bahwa Sara seharusnya menjadi aktris saja dengan kemampuan aktingnya yang menakjubkan ini. Dia melangkah masuk diikuti Harold, yang membawa sebuket bunga lili putih.
Aroma bunga lili yang kuat memenuhi ruangan itu, mengusir bau disinfektan khas rumah sakit.
Lilia bisa merasakan mata William terus terpaku padanya, tapi dia mengabaikan pria itu. Lilia berhenti di samping tempat tidur Sara dan mulai mengamati isi kamar rumah sakit ini.
Kamar pribadi itu dilengkapi berbagai perlengkapan medis modern yang sesekali mengeluarkan bunyi-bunyi aneh. Karangan bunga dalam berbagai bentuk berjejer di dinding seberang tempat tidur Sara.
Lalu Lilia bertemu pandang dengan Sara, yang menyembunyikan racun di balik tatapan polosnya.