Setelah makan malam itu berakhir, Lilia pulang lebih dulu bersama kedua orangtuanya.
Jean menemani James dan Irene menunggu jemputan mereka di lobi restoran Italia itu. Tiba-tiba James berbicara, "Jean, kurasa aku tahu kenapa kamu tertarik dengan wanita itu sekarang. Dia memang berbeda dari wanita lainnya!"
James tidak pernah membayangkan kalau ada wanita yang bisa menikah ke dalam keluarga bergengsi seperti Keluarga Widjaya tapi tidak menginginkan pesta pernikahan sama sekali. Justru Lilia bersikap seolah dia tidak mau menikahi Jean kalau diberi pilihan itu.
Jean melirik kakak tertuanya. Tinggi mereka hampir sama, sehingga tatapan mereka sejajar. "Kalau kamu sudah tahu itu, satu miliar dollar saja tidak cukup."
Tatapan James berubah jengkel. Dia harus memberikan mas kawin sebesar apa sampai Jean puas?!
Sebelum amarah James bisa meledak, Irene segera menepuk-nepuk punggung James untuk menenangkan suaminya itu. "Aku juga menyukai Lilia, tapi aku yakin menambah jumlah mas kawinnya tidak akan membuat dia senang. Jean, kalau kamu merasa jumlah itu masih kurang, kamu bisa memberi Lilia apapun yang kamu inginkan setelah kalian menikah." Irene mengusulkan dengan senyum lembut.
Usulan Irene berhasil meredakan kejengkelan James dan memuaskan keinginan Jean.
"Terima kasih atas saranmu, Kak Irene." Jean mengangguk.
Pada saat itu, mobil yang mereka tunggu akhirnya tiba.
"Kalau begitu, kami akan pulang dulu ke mansion. Jean, jangan lupa untuk sering-sering mampir, ya. Bagaimanapun juga, itu rumah masa kecilmu." Irene berpamitan.
"Tentu saja. Hati-hati di jalan, Kak Irene." Jean segera membukakan pintu mobil untuk Irene. "…kamu juga, kak." Dia menambahkan saat James masuk ke dalam mobil.
James melemparkan tatapan sakit hati pada adiknya. Kenapa Jean bersikap seolah-olah Irene adalah kakak kandungnya?!
*****
Sepanjang perjalanan pulang dari restoran itu, hanya terdapat keheningan di antara ketiga anggota Keluarga Pangestu.
Lilia mengabaikan kedua orangtuanya dan terus menatap ke luar jendela mobil. Pemandangan kota berkelebat di depan matanya, tapi dia hanya bisa melihat senyum penuh perhitungan ibunya dan tatapan marahnya saat Lilia menolak mengadakan pesta pernikahan.
Satu-satunya hal yang menghibur Lilia sepanjang makan malam tadi adalah kehangatan tangan Jean. Pria itu menolak melepaskan tangannya sampai makan malam berakhir, seolah menunjukkan kalau Jean ada di pihaknya.
Lilia terus memikirkan pria itu sampai dia tiba di rumah. Saat dia mengikuti kedua orangtuanya masuk ke ruang tamu, Sylvia tiba-tiba membalikkan badan dan menampar Lilia sekuat tenaga.
Tubuh Lilia terhuyung menabrak kursi sebelum terjatuh ke lantai. Dia dapat merasakan sengatan rasa sakit di pipinya dan di bahunya yang terbentur kursi.
"Anak kurang ajar! Beraninya kamu mempermalukanku seperti itu?!" Teriak Sylvia lantang.
"Sylvia! Apa yang kamu lakukan?!" Robert segera berdiri di depan Lilia, melindunginya dari amarah Sylvia.
Sylvia mengacungkan jari ke arah Lilia dengan suara bergetar penuh kemarahan. "Robert, kenapa kamu justru memihak anak sial itu? Lihat apa yang anakmu sudah perbuat! Dan kamu! Beraninya kamu bicara seperti itu di depan Keluarga Widjaya!" Sylvia sudah benar-benar hilang kendali dan membuat semua pelayan gemetar ketakutan di pojok ruangan.
Robert menghela nafas dan melingkarkan lengannya di bahu Lilia. Dia membantu putrinya berdiri dengan hati-hati. "Sylvia, apapun yang terjadi, Lilia tetap putrimu. Dia sudah setuju menikah demi keluarga ini, jadi jangan membuat masalah lagi. Kenapa kamu tidak membiarkan dia melakukan apa yang dia inginkan?" Suara Robert terdengar lelah.
Sylvia membanting tas tangannya ke atas meja. "Oh, jadi sekarang aku yang membuat masalah?!" Teriaknya histeris. "Biar kuberitahu apa masalahnya di sini! Masalahnya adalah anak sial itu berniat merusak reputasi Keluarga Pangestu! Hei, anak sial!"
Tatapan Sylvia beralih pada Lilia. Matanya dipenuhi kebencian yang mendalam.
"Apa kamu ingin semua orang tahu kamu menikah ke dalam Keluarga Widjaya tanpa pesta pernikahan yang layak?! Kamu baru puas kalau semua orang sudah menertawakan keluarga ini, ya?!"
Lilia menatap sosok histeris Sylvia tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pipinya terlihat merah dan bengkak, tapi rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit di hatinya.
Dia tidak pernah menyangka Sylvia akan menamparnya.
Sedingin apapun perlakuan Sylvia terhadapnya selama ini, Lilia berpikir bahwa dia masih ibunya. Dia mengira setidaknya Sylvia masih punya sedikit kasih sayang untuknya.
Tapi hari ini Lilia menyadari kalau dia salah besar.
Sylvia hanya memandangnya sebagai barang dagangan yang perlu dipelihara agar dapat dijual dengan harga tinggi. Selama ini, Sylvia tidak pernah memandang Lilia sebagai putrinya.
Tenggorokan Lilia tercekat dan dia mendorong ayahnya menjauh sebelum menghambur keluar dari rumah. Dia bisa mendengar teriakan Sylvia di belakangnya, menyuruhnya untuk berhenti, tapi Lilia mengabaikannya. Dia terus berlari dan berlari tanpa menoleh ke belakang.
Air mata yang terasa panas jatuh ke pipinya dan membasahi gaun yang dipakainya. Lilia terus menggosok matanya dengan jengkel, tapi air matanya menolak untuk berhenti.
Akhirnya Lilia kecapekan dan mulai melambatkan larinya. Ketika dia memperhatikan sekelilingnya, Lilia menemukan dirinya berada di taman kota yang sering dia kunjungi saat kecil. Pada larut malam seperti ini, tidak ada siapapun di taman itu. Dalam balutan gaun hitamnya, sosok Lilia seolah melebur dalam kegelapan taman itu.