Setelah Lilia membaca pesan Jean, dia berlari ke jendela yang menghadap ke jalan raya. Matanya menemukan mobil hitam yang familier. Sesosok pria bersandar santai ke badan mobil sambil merokok. Tubuh tinggi Jean dibalut jas hitam formal, seolah pria itu langsung menuju ke sini dari kantornya. Sinar matahari senja menimpa rambut pirang Jean dan membuatnya terlihat seperti emas sungguhan.
Tiba-tiba Jean menoleh ke arahnya, seolah dia bisa merasakan tatapan Lilia. Bahkan dari kejauhan, Lilia bisa melihat senyum tipis di wajah pria itu. Jean membuat isyarat dengan menggerakkan jari telunjuknya maju-mundur.
"Cepat ke sini!", Lilia menangkap isyaratnya.
Lilia berganti pakaian secepat kilat dan berlari ke arah elevator. Tapi elevator itu masih berada di lantai 30-an.
Lilia mendecakkan lidah dengan tidak sabar dan memilih untuk turun lewat tangga. Untungnya apartemen Vivi berada di lantai tujuh—jika dia harus turun tangga dari lantai 30, Lilia lebih memilih membiarkan Jean menunggu saja.
Sepuluh menit kemudian, Lilia tiba di depan Jean sambil terengah-engah. Dia membutuhkan beberapa menit lagi untuk bisa bernafas dengan normal.
Jean mengangkat alis melihat penampilannya yang berantakan. "Kenapa buru-buru?"
Lilia melontarkan tatapan jengkel pada Jean. "Kamu tidak mengatakan apapun padaku dan hanya muncul begitu saja, lalu menyuruhku segera datang! Tentu saja aku cepat-cepat ke sini!" Lilia memprotes.
Mata Jean berkilat penuh kejahilan. "Jadi kamu buru-buru ke sini karena kamu merindukanku?" Dia menggoda Lilia.
Pada saat itu, Lilia menimbang-nimbang apakah dia seharusnya berbalik dan kembali ke apartemen Vivi saja.
"Selain itu, aku tidak pernah menyuruhmu untuk cepat-cepat ke sini." Jean melanjutkan seolah membela diri. "Secara teknis, aku hanya mengisyaratkan supaya kamu datang ke sini. Kamu sendiri yang berasumsi kalau kamu harus datang dengan cepat."
Lilia memelototi Jean, tapi dia tidak bisa mendebat kata-katanya. Melihat wajah pria itu lagi mengingatkan Lilia pada acara makan malam tiga hari yang lalu. Di sana, dia melihat sisi penuh perhatian yang tidak pernah ditunjukkan Jean sebelumnya. Semenjak saat itu, Lilia merasa sedikit lebih dekat dengan tunangannya.
"Baik, baik, aku membuat asumsi yang salah." Lilia bersedekap dan mengakui kekalahannya. "Apa kamu sudah menunggu lama?"
Tatapan jahil di mata Jean menghilang dan dia menjawab dengan nada serius, "Tidak juga." Dia membuang puntung rokoknya ke asbak di dalam mobil dan mengamati Lilia secara saksama. Matanya dipenuhi kekhawatiran yang samar. "Tidakkah kamu menjadi semakin kurus sejak aku terakhir melihatmu?"
Mata Lilia justru menjadi berbinar-binar saat mendengar itu. Dia mulai mengukur lingkar pinggangnya sambil bertanya penuh semangat, "Benarkah?"
Tingkah Lilia tampak konyol dan menggemaskan di mata Jean. Dorongan untuk menggoda wanita itu kembali muncul dan Jean melangkah maju, menutup jarak di antara mereka dengan mudah. Sebelum tunangannya bisa bereaksi, Jean melingkarkan lengannya di pinggang Lilia dan menarik wanita itu ke dalam pelukannya.
"J-Jean, a-apa yang…tunggu sebentar…kamu terlalu dekat…" Wajah Lilia memerah dan dia berusaha melepaskan diri dari pria itu.
"Hmm, kamu memang lebih kurus dari terakhir kali aku memelukmu." Jean berbisik di telinga Lilia, hembusan nafasnya menggelitik telinganya.
Kini wajah Lilia menjadi semerah tomat. Dalam kepanikan, dia menghantamkan sikunya ke sisi tubuh Jean.
"Ow!" Jean mengernyit kesakitan dan melonggarkan pelukannya.
Lilia segera menjauh dan menatap Jean penuh kewaspadaan. Dia terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar orang yang terlalu dekat dengannya. "Jangan melakukan itu lagi tanpa seizinku!" Desis Lilia marah.
"Baiklah." Jean menghela nafas dan mengangkat kedua tangannya. "Kita harus segera pergi kalau tidak ingin terlambat, jadi masuklah ke mobil. Aku takkan melakukannya lagi."
Lilia perlahan menghampiri mobil itu, tapi tatapannya masih was-was. "Ke mana kita akan pergi? Dan bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?"
Lilia penasaran dengan kemampuan Jean untuk selalu muncul di sekitarnya. Seolah Jean memantau semua gerak-geriknya. Dia merasa itu sedikit berlebihan, tapi dia juga merasa seperti dilindungi.
"Apa kamu ingin tahu?" Jean bertanya sambil membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi. "Masuklah ke mobil dulu."
Lilia mengikuti perintah Jean dan duduk di kursi penumpang. Mata hitamnya yang jernih terpaku pada pria yang sedang memasang sabuk pengamannya. Seolah merasakan tatapan Lilia, Jean melirik ke arahnya. Wanita itu terus menunggu Jean menjawab pertanyaannya, tapi dia hanya menghela nafas.
Tiba-tiba pria bertubuh tinggi itu mencondongkan tubuh ke arahnya. Wajah Jean mendekati wajahnya, seolah akan menciumnya. Secara refleks Lilia menutup mata dan menanti dengan jantung berdebar-debar. Dengan jarak sedekat ini, dia dapat mencium bau rokok dari tubuh Jean.
Klik.
Lilia segera membuka mata dan menemukan sabuk pengamannya terpasang. Dia mengalihkan pandangannya dengan wajah merah padam, merasa malu karena berpikir yang tidak-tidak.
Jean tertawa melihat reaksi Lilia. Pipinya yang memerah karena malu membuat wanita itu terlihat lebih manis dari biasanya. Berbagai reaksinya yang menggemaskan membuat Jean selalu ingin menggodanya. Fakta kalau hanya dia yang dapat melihat sisi tersembunyi Lilia membuatnya merasa spesial.
Beberapa saat setelah Jean mulai menyetir, barulah Lilia tersadar kalau dia tidak tahu ke mana tujuan mereka.
"…ke mana kamu membawaku?" Tanya Lilia.
"Malam ini ada pesta perayaan berdirinya perusahaan Keluarga Widjaya yang kukelola. Kamu akan menemaniku ke sana." Jean menjawab sambil memutar kemudi dengan santai.
Mendengar itu, Lilia langsung menegakkan tubuh dan menatap baju yang dipakainya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?!" Protes Lilia.
Jika Lilia tahu dia akan pergi ke pesta, dia pasti akan memakai baju yang lebih bagus dan tidak berlari-lari menuruni tangga!
"Jangan khawatir soal baju dan semacamnya. Aku akan mengurusnya." Jean melirik ke arahnya. "Atau kamu tidak ingin pergi ke pesta bersamaku?" Dia berusaha terdengar netral, tapi Lilia bisa mendeteksi keraguan dalam suara rendahnya.
Lilia merasa terkejut tapi juga tersentuh. Pria yang selalu terlihat tidak peduli dengan pendapat orang lain kini khawatir kalau Lilia tidak ingin menemaninya ke pesta. Dia tersenyum untuk meyakinkan Jean. "Bukan seperti itu. Aku hanya khawatir karena aku tidak mempersiapkan apapun. Aku takut aku akan mempermalukanmu!"