Malam itu, di kawasan restoran-restoran elit.
Sebuah restoran bergaya Italia tampak menonjol dari sekian banyak restoran mewah di kawasan itu. Pemandangan kota dari jendela ruang VIP yang berada di lantai teratas restoran itu tampak menakjubkan. Cahaya lampu yang tersebar di seluruh penjuru kota terlihat seperti bintang di langit malam.
Namun dari keenam orang yang ada di ruangan itu, tidak ada seorang pun yang melirik ke luar jendela. Mereka duduk mengelilingi meja makan bundar yang berada di tengah ruangan sambil makan dan mengobrol ringan.
Di sekitar ruangan itu, tersebar sekitar 20 orang pengawal pribadi milik Keluarga Widjaya. Mereka memasang mata dengan penuh kewaspadaan sambil menjaga jarak agar tidak mengganggu suasana hangat kedua keluarga itu.
James, sang kepala Keluarga Widjaya, dan istrinya Irene duduk berdampingan. Sylvia yang berada di samping Irene terus mengajaknya bicara dengan nada akrab.
Di sela-sela pembicaraan, Robert sesekali mencuri pandang ke arah putrinya yang diam seribu bahasa di sebelahnya. Jean, yang duduk di antara Lilia dan kakak tertuanya, juga kerap kali melirik Lilia dengan kening berkerut.
"Tuan Robert, aku sering mendengar tentang proyek-proyek Anda. Aku senang dapat bertemu dengan pengusaha sukses seperti Anda." James mengangkat gelas anggurnya untuk bersulang dengan Robert.
Walau usianya sudah mencapai paruh-baya, James tidak kalah tampan dengan adiknya. Pria itu mengenakan jas elegan berwarna abu-abu, yang membuat Lilia penasaran apakah semua anggota Keluarga Widjaya menyukai warna yang sama.
Robert tersenyum lebar dan segera bersulang dengan pria itu. "Tuan James terlalu membesar-besarkan reputasiku. Justru aku yang merasa terhormat bisa bertemu Anda malam ini. Aku sudah lama ingin belajar dari kesuksesan Keluarga Widjaya yang mendominasi bidang real estate."
Mendengar percakapan mereka, Sylvia juga mengajak Irene bersulang untuk pertemuan malam ini. Mereka terlihat sangat harmonis di mata orang lain.
Satu-satunya perkecualian adalah Lilia. Wanita itu hanya mendengarkan pembicaraan mereka dengan mulut terkatup rapat. Dia juga menolak menyentuh makanan di piringnya.
Malam ini Lilia terlihat sangat memukau dalam balutan gaun yang sewarna dengan mata hitamnya, tapi ekspresinya bertolak belakang dengan kedua orangtuanya. Dia merasa seperti barang yang dibawa ke sini untuk dijual, dan orang yang tega menjualnya adalah orangtuanya sendiri.
Pikiran itu membuat mata Lilia panas dan dadanya terasa sesak. Dia menunduk untuk menyembunyikan kegusaran di wajahnya.
Suara piring berdenting menarik perhatian Lilia. Dia perlahan mengangkat wajah dan melihat tambahan potongan ikan salmon segar di piringnya.
Lilia menoleh ke arah Jean, yang balas menatapnya tanpa mengatakan apapun. Namun tindakannya sudah cukup untuk memberitahu Lilia kalau pria itu berusaha membuatnya merasa lebih baik.
Kesesakan di dada Lilia berkurang dan dia merasa bisa bernafas dengan lebih mudah. Lilia mengangguk kecil, lalu mulai mengambil garpunya. Tiba-tiba dia menyadari kalau pembicaraan kedua pasangan suami-istri itu telah berhenti.
Saat Lilia memandang ke sekeliling meja, dia mendapati mereka semua mengawasi interaksinya dengan Jean. Robert tampak lega, sementara istrinya memasang ekspresi puas. Di sisi lain, James dan Irene sama-sama terlihat kaget.
Lalu James memecah keheningan dengan tertawa kecil.
"Aku tidak menyangka bisa melihat Jean memperhatikan orang lain seperti ini! Kelihatannya adikku benar-benar menyukai Nona Lilia. Jean tidak pernah memperlakukan kakaknya sendiri sebaik ini, kamu tahu? Dia bahkan tidak mau mengambilkan lauk untukku saat kami makan bersama!" Suara James terdengar penuh nostalgia.
Jean melontarkan tatapan setajam pisau pada kakaknya, seolah menyuruhnya untuk tutup mulut.
Sylvia menggunakan kesempatan ini untuk menimpali, "Sebagai ibu, aku lega melihat anak-anak muda ini akrab. Lilia menjadi sangat gembira selama beberapa hari saat tahu dia akan menikah dengan Tuan Muda Jean."
Lilia diam-diam menghela nafas. Ibu, kapan kamu pernah melihatku gembira soal ini? Kalau ingin berbohong, setidaknya buatlah kebohongan yang lebih masuk akal!
Lilia bisa merasakan tatapan Jean tertuju padanya, seolah menunggunya mengoreksi kata-kata Sylvia. Tapi Lilia tidak ingin berdebat tentang hal kecil ini. Dia menundukkan kepala tanpa mengucapkan apapun, kedua tangannya terkepal erat di bawah meja.
Keheningan Lilia membuat suasana menjadi sedikit canggung. Namun setelah beberapa saat, kedua pasangan suami-istri itu kembali mengobrol seolah Sylvia tidak pernah mengatakan apa-apa.
Setelah mereka selesai menyantap hidangan utama, James memberi sinyal pada asistennya. Asisten itu datang membawakan kotak berwarna merah yang dihiasi banyak batu berharga. James meletakkan kotak itu di atas meja dan mendorongnya ke arah Robert.
"Tuan Robert, karena putri Anda dan Jean setuju dengan pernikahan ini, malam ini kami membawakan daftar mas kawin yang akan diberikan oleh Keluarga Widjaya. Silakan Anda periksa daftarnya."
Robert sangat terkejut sampai dia hampir menjatuhkan gelasnya. Pria itu menaruh gelasnya dengan tangan gemetar dan melirik Sylvia. Dia pikir bantuan dana untuk proyeknya adalah mas kawin dari Keluarga Widjaya, tapi sekarang…
Sylvia menjadi tidak sabar dan diam-diam mencubit suaminya. "Cepat buka kotaknya!" Bisiknya.
Robert perlahan membuka kotak itu dan melihat setumpuk kertas berwarna merah. Dia membaca tulisan yang tertera di kertas itu dan kerutan di dahinya menjadi semakin dalam.
Hanya Keluarga Widjaya yang bisa memberikan mas kawin sebesar ini!