Chereads / Istri Supermodel (For Sale!) / Chapter 22 - Kata Sandi

Chapter 22 - Kata Sandi

Malam itu juga, pihak kepolisian memberikan pernyataan lewat website resmi mereka:

"Berdasarkan laporan dari warga setempat, kemarin malam terjadi peristiwa tabrak lari di sekitar Jalan Tunjungan. Korban dari peristiwa itu berinisial S.H., seorang manajer artis. Melalui penyelidikan polisi, pelaku yang menabrak korban telah ditangkap. Pelaku dengan inisial L.M. mengakui tindakannya dan kini sedang diproses secara hukum.

Sepanjang proses penyelidikan, publik sempat menuduh model terkenal Lilia Pangestu sebagai pelakunya. Dengan ini, polisi menyatakan bahwa berita itu hanya hoaks. S.H. selaku korban juga menyatakan puas dengan hasil penyelidikan ini. Pihak kepolisian mengingatkan agar setiap orang menjaga ketertiban sosial dan tidak menyebarkan berita palsu."

Pernyataan itu tersebar luas di internet dan kembali membuat nama Lilia menjadi viral, walau untuk alasan yang positif.

Lilia kebetulan melihat berita tentang pernyataan itu di iPed-nya. Selain tulisan tersebut, ada dua foto yang terlampir. Salah satunya adalah foto penangkapan si pelaku dan satunya lagi adalah foto mobil yang menabrak Sara.

Setelah membaca berita itu, kekhawatiran yang selama ini memenuhi pikiran Lilia langsung lenyap. Dia mengirimkan pernyataan itu ke email Harold sebelum meninggalkan kamarnya.

Saat Lilia keluar ke lorong di lantai dua, hanya ada beberapa lampu dinding kecil yang menyala. Cahayanya yang lemah justru membuat lorong itu terlihat lebih gelap. Suasana rumah yang sunyi senyap juga tidak membantu mengurangi ketakutan Lilia.

Dia menyusuri lorong sambil mengecek setiap kamar yang dilewatinya, berharap bisa menemukan Jean. Namun pencariannya itu tidak membuahkan hasil.

Lilia turun ke lantai satu dan kembali menjelajahi rumah itu. Dia akhirnya menemukan satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Lilia berdiri di depan ruangan itu, tapi dia ragu-ragu untuk mengetuk pintunya.

Lilia merasa sungkan mengganggu Jean selarut ini, ditambah lagi dia selalu merasa canggung saat berhadapan dengan pria itu. Namun dia membutuhkan ponsel dan hanya ada ponsel milik Jean di rumah ini.

Ketika Lilia sedang berdebat dengan dirinya sendiri, pintu ruang kerja berayun terbuka.

Jean membuka pintu dan hendak melangkah keluar dengan cangkir teh di tangannya. Dia hampir menjatuhkan cangkir itu saat melihat seseorang berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Untungnya Jean dapat mempertahankan ekspresi wajahnya yang datar.

"Ada apa?" Tanya Jean.

Lilia juga sama terkejutnya, tapi dia segera menjawab, "Um…bisakah aku pinjam ponselmu? Ponselku masih dibawa oleh manajerku."

"Tidak masalah. Masuklah." Jean menjawab. Dia berbalik dan kembali masuk ke ruang kerjanya.

Lilia ragu-ragu sejenak untuk mengikuti pria itu. Namun dia mengingat kembali tujuannya kemari dan melangkah masuk.

Wanita itu memandang berkeliling. Tata ruang dan dekorasi yang sederhana tapi elegan mengingatkannya pada ruangan Jean di kantornya. Salah satu dinding ruangan ini ditutupi oleh rak besar yang penuh dengan buku. Di atas meja kerjanya ada poci teh dan asbak.

Tatapan Lilia jatuh pada sosok Jean yang memakai piama sutra berwarna abu-abu. Tubuh tinggi dan tegap pria itu membuatnya terlihat atletis dan maskulin. Melihat itu mengingatkan Lilia pada saat Jean memeluknya di mobil. Berada dalam dekapan pria itu memberinya rasa aman dan tenteram, seolah…

Lilia buru-buru menggelengkan kepala untuk menghapus pikiran itu. Dia berharap Jean tidak akan menyadari pipinya yang memerah.

"Ini. Kata sandinya 0601."

Lilia menoleh saat mendengar suara Jean. Dia menerima ponsel yang disodorkan pria itu dan memasukkan susunan angka itu tanpa berpikir panjang.

Setelah beberapa detik, Lilia baru sadar kalau urutan angka itu adalah tanggal ulang tahunnya.

Bagaimana Jean bisa tahu tanggal ulang tahunnya?

Lebih penting lagi, kenapa Jean memakai tanggal ulang tahunnya?

"Jangan berdiri saja di sana. Duduklah." Suara Jean memecah lamunan Lilia.

Lilia melihat pria itu duduk bersandar di sofa sambil menyilangkan kaki. Seperti sebelumnya, Lilia menuju ke sofa di seberang Jean. Namun tunangannya itu berdeham dan menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Lilia melontarkan tatapan membangkang pada Jean. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia duduk di hadapan Jean. Lilia merasa puas saat melihat mata Jean melebar penuh keterkejutan. Pasti pria itu belum pernah melihat orang lain menentangnya secara terang-terangan seperti ini!

Namun kepuasannya itu berumur pendek.

Jean berdiri dan pindah tepat di samping Lilia. Wanita itu menatap Jean dengan kesal. Apa kamu akan mati kalau tidak berdekatan denganku?!

Dia memutuskan untuk mengabaikan Jean dan menelepon nomor Harold. Tangannya memainkan bantal sofa sambil menunggu teleponnya tersambung.

Melihat Lilia bersikap seolah dia tidak ada di sana, seulas senyum kecil menghiasi wajah Jean. Setidaknya ini kemajuan dari sikap Lilia yang canggung dan malu-malu kapan hari. Pria itu tidak mengatakan apapun dan mulai bekerja dengan laptop di sampingnya.

"Halo, Harold? Ini Lilia. Bisakah kamu menjemputku besok jam 10 pagi? Ah, jangan lupa belikan bunga dalam perjalananmu ke sini. Bunga lili putih. Ke mana, kamu tanya? Tentu saja ke rumah sakit!"

Lilia terdiam sejenak saat Harold berbicara.

"Justru inilah waktu yang tepat untuk berkunjung. Tolong urus persiapannya ya. Hm? Tidak, aku tidak sedang di rumah."

Pada titik ini, Lilia mengerutkan dahi dan terdiam sejenak. Dia menoleh pada Jean, lalu menjauhkan ponsel itu sebelum berbisik, "Apa alamat rumah ini?"

Setelah Jean memberinya alamat rumahnya secara detail, Lilia tersenyum lebar dan kembali pada teleponnya. Dia memberitahu alamat itu pada Harold dan segera mengakhiri pembicaraan mereka.