Ketika Lilia keluar dari ruang interogasi, dia segera melihat Harold dan Merry di ruang tunggu. Keduanya juga melihat Lilia dan langsung berlari menghampirinya.
Harold mengamati Lilia lekat-lekat sambil bertanya, "Apa kamu baik-baik saja?"
Lilia mengangguk dan memaksakan senyuman lebar. "Aku tidak apa-apa. Mereka hanya menanyakan beberapa hal saja padaku." Dia sengaja merahasiakan soal keributan dengan Detektif Kevin agar mereka tidak khawatir.
Dari sudut matanya, Lilia melihat Inspektur Marcus bergerak-gerak gelisah. Pria itu terus mencuri pandang ke arah gerbang depan. Dia ingin bertanya apakah sang inspektur sedang menunggu seseorang, tapi Merry mengalihkan perhatiannya.
"Kak Lilia, kamu pasti haus. Ini, minumlah dulu!" Merry menyodorkan botol minum kepada wanita itu.
"Terima kasih, Merry. Inspektur sudah membolehkanku pulang, jadi ayo kita kembali ke agensi." Lilia meneguk air dari botol itu sebelum menjelaskan.
Harold mengangguk dengan ekspresi lega. "Yah, aku lega kamu tidak apa-apa. Bagaimana kalau kita makan siang dulu sebelum kembali ke kantor? Aku yang traktir."
"Aku setuju!" Merry mengangkat tangannya dengan bersemangat. "Harold, kamu benar-benar paham penderitaan orang yang berdompet tipis di akhir bulan!"
Harold menghela nafas. "Aku melakukan ini bukan untukmu, tahu…" Gumamnya pelan.
Inspektur Marcus mengawasi ketiganya mengobrol sambil berjalan keluar dari kantor polisi. Dia menghela nafas saat mereka sudah menghilang dari pandangannya. Ketika dia berbalik untuk kembali bekerja, Komisaris Dean sudah berdiri di depannya.
"Inspektur Marcus. Ke ruanganku, sekarang. Kita perlu membahas sanksimu untuk kejadian hari ini."
Bahu Inspektur Marcus merosot saat dia mengekor di belakang Komisaris Dean.
*****
Saat Lilia melangkah keluar, dia melihat bagian luar kantor polisi sudah bersih dari para reporter. Kemudian tatapannya jatuh pada sebuah mobil Volkswagen hitam yang terlihat tidak asing. Jendela mobil itu perlahan bergeser turun dan menampakkan wajah Jean. Mata birunya menatap tajam ke arah Lilia.
Harold yang berjalan di belakang Lilia juga melihat pria itu. Dalam sekejap, Harold tahu kalau rencana makan siang mereka telah batal. Saat pikirannya dipenuhi kekecewaan, dia merasakan lengan bajunya ditarik oleh seseorang.
"Ha-Harold…bukankah itu Jean Widjaya? Kenapa dia di sini?" Bisik Merry dengan campuran rasa gugup dan takut dalam suaranya.
"Bagaimana menurutmu?" Balas Harold kering. Tidak sulit untuk menebak alasannya, melihat pandangan Jean yang tidak pernah lepas dari Lilia.
"Ugh…perutku sakit. A-Aku akan ke kamar kecil dulu, jadi kamu tidak usah menungguku." Kata Merry sambil memegangi perutnya.
"Baiklah. Sampai bertemu di kantor." Harold mengangguk, benaknya terlalu sibuk memikirkan hubungan pria itu dengan Lilia untuk mempedulikan alasan Merry.
Merry melirik ke arah Jean dengan tatapan ketakutan sebelum menyelinap pergi secepat kilat.
Harold menghela nafas dan menghampiri Lilia. "Aku akan kembali ke agensi dulu. Serahkan saja masalah ini padaku, nanti akan kukabari hasilnya. Jangan sampai kepikiran soal ini, oke? Semuanya pasti akan baik-baik saja." Harold menepuk kepala Lilia untuk meyakinkannya.
"Aku tahu, kamu tidak perlu memperlakukanku seperti anak kecil." Lilia menjauh dari tangan Harold sambil merengut.
Harold tertawa, lalu berjalan pergi dengan dagu terangkat tinggi. Tidak ada seorang pun yang melihat rasa sakit dan kekecewaan di matanya.
*****
Waktu telah menunjukkan pukul dua siang dan matahari sedang bersinar terik-teriknya. Bau rumput yang samar berhembus masuk melalui jendela mobil yang setengah terbuka. Sama seperti kemarin, Lilia duduk di jok belakang bersama Jean.
"…terima kasih sudah membantuku tadi. Tapi kenapa kamu di sini?" Tanya Lilia blak-blakan.
Jean menyilangkan kakinya dan bersandar malas ke kursi mobil. "Memangnya aku tidak boleh ke sini?" Balasnya santai.
Lilia terdiam dan melirik Kenny, yang buru-buru mengalihkan pandangan. Dia merasa kalau Jean sepertinya terlihat marah. Tapi untuk apa Jean, yang tidak ada hubungannya dengan kasus ini, marah?
Lalu dia teringat kalau mobil Jean sempat dicurigai menabrak Sara. "Apakah masalah ini merusak reputasi Keluarga Widjaya? Karena itu kamu ke sini untuk mengklarifikasi soal itu?" Lilia bertanya sambil menatap Jean dengan mata yang polos dan jernih.
Setelah Lilia mengatakan itu, suasana di dalam mobil menjadi semakin berat. Kenny menutupi wajahnya dengan tangan dan berpura-pura dia tidak ada di sana.
Jean mengerutkan dahi dan membalas tatapan Lilia. "Apa kamu benar-benar berpikir begitu?"
Lilia memiringkan kepalanya dengan bingung. "Memangnya untuk apa lagi kamu ke kantor polisi? Mobil ini sempat dicurigai oleh pihak kepolisian, kan?"
Tatapan Jean menjadi semakin tajam dan kerutan di dahinya makin dalam. Kemudian dia menatap ke luar jendela tanpa menjawab pertanyaan Lilia.
Kenny tidak tahan lagi dan terbatuk kecil. "Nona Lilia, sebenarnya Presiden mengkha…"
"Jalankan mobilnya!" Jean memotong Kenny dengan suara dingin.
Lilia merasa kedua pria itu bersikap aneh, namun dia tidak mengungkit soal itu lagi.
Setengah jam kemudian, mobil itu berhenti di depan rumah besar yang mewah. Lilia, yang sejak tadi sibuk dengan iPed yang dipinjamkan Jean, akhirnya mengangkat wajah dan mengenali rumah itu.
Dia menoleh pada Jean. "Kenapa kamu membawaku ke rumahmu?"
Lilia berasumsi kalau Jean akan mengantarnya pulang dan tidak memperhatikan jalan yang mereka lewati.
Jean bersedekap. "Ada banyak reporter yang berkeliaran di depan rumahmu. Ayahmu setuju membiarkanmu tinggal di sini selama dua hari sampai semuanya mereda." Jean terdiam sejenak sebelum menambahkan dengan senyuman sadis, "Atau kamu lebih memilih pulang?"
Lilia buru-buru menggeleng. Dia merasa ada sesuatu yang aneh tentang situasi ini, tapi dia tidak dapat mengingat apa itu.
Lilia baru menyadari apa yang salah setelah dia menceritakan kejadian ini pada Merry, asistennya. Sejak mulai berkarir di dunia hiburan, Lilia tidak pernah mengungkapkan informasi pribadi tentang latar belakang keluarganya. Lalu bagaimana mungkin para reporter itu bisa menemukan rumahnya?!
Namun hari dimana Lilia menyadari kebohongan Jean itu masih jauh di masa depan.