Keesokan harinya, di sebuah kafe yang terletak di lantai dasar gedung perkantoran milik Keluarga Widjaya. Kafe itu terlihat penuh oleh para karyawan yang sedang istirahat makan siang.
Seorang wanita muda sedang duduk sendirian di meja samping jendela. Jemarinya yang ramping mengetuk-ngetuk permukaan meja, seolah mengekspresikan kekesalannya. Lilia tampak mencolok dengan kacamata hitam, T-shirt, dan celana denim yang terlihat kasual. Dia mengawasi pintu kafe sambil meminum segelas macchiato karamel.
Lima belas menit sudah lewat dari waktu pertemuan yang mereka setujui, tapi Jean tidak juga muncul. Lilia mengerutkan kening. Apakah pria itu hanya mempermainkannya?!
Saat Lilia tengah menggerutu tentang Jean, seorang pria memasuki kafe. Pria bertubuh kurus kering itu mengenakan jas abu-abu dan kacamata dengan pinggiran berwarna emas.
"Pak Kenny!" Para karyawan yang sedang menikmati kopi mereka segera menyapa pria itu dengan penuh hormat.
Namun Lilia hanya melirik pria bernama Kenny itu sesaat sebelum kembali menatap ponselnya. Dia mempertimbangkan untuk menelepon Jean sekali lagi, tapi suara seorang pria yang lembut dan sopan menyela pikirannya.
"Permisi, apakah Anda Nona Lilia?"
Lilia mengangkat wajah dan melihat Kenny berdiri di depannya. Lilia mengangguk, "Betul, dengan saya sendiri. Apa Anda punya urusan dengan saya?"
"Izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Kenny Sadana, asisten pribadi Presiden Jean. Beliau meminta saya mengantar Anda ke kantornya di lantai atas. Anda dapat menunggu di sana sampai rapatnya selesai." Kenny menjelaskan dengan senyum bersahabat. Dia sangat bertolak belakang dengan bosnya yang angkuh.
"Baiklah." Lilia mengangguk dan melepas kacamata hitamnya. "Maaf merepotkan Anda, Pak Kenny."
"Tidak, tidak, ini sama sekali tidak merepotkan. Silakan Anda panggil saya Kenny saja." Ucap Kenny sambil tersenyum ramah.
Kenny mengantar Lilia ke ruangan kantor Jean. Udara yang sangat dingin langsung menyambut Lilia saat dia menginjakkan kaki ke dalam ruangan itu. Apa AC di sini rusak? Ruangan ini terlalu dingin!
Hanya dalam beberapa detik saja Lilia sudah mulai menggosokkan kedua tangannya supaya tetap hangat. T-shirt tipis yang dikenakannya tidak mampu mengatasi udara dingin ini.
Namun Kenny bersikap seolah tidak ada yang salah dengan situasi ini. Setelah memastikan Lilia duduk dengan nyaman di sofa, Kenny meletakkan segelas air di atas meja. "Nona Lilia, silakan menunggu di sini. Rapat yang diikuti Presiden Jean akan segera selesai."
"Terima kasih." Lilia mengangguk. "Um…AC ruangan ini terlalu dingin, apakah suhunya bisa dinaikkan?"
"Mohon maaf, tapi Presiden Jean melarang kami menyentuh apapun di ruangan ini." Kenny menolak permintaannya secara halus.
Lilia hanya bisa mengangguk pasrah. Kenny berpamitan sebelum meninggalkan ruangan itu. Setelah beberapa saat, Lilia menjadi bosan dan mulai memperhatikan isi kantor itu.
Perabotan dalam ruangan ini terbuat dari kayu padat dan tampak mahal. Jendela kaca yang besar di salah satu sisi ruangan memudahkan sinar matahari masuk, namun saat ini tirai jendela itu ditutup rapat-rapat. Rak besar yang dipenuhi buku-buku berbahasa asing menutupi dinding sebelah kiri. Secara keseluruhan, kantor ini tampak praktis tapi elegan.
Pandangan Lilia jatuh pada meja kerja Jean. Permukaan mejanya ditutupi oleh tumpukan dokumen yang tersusun rapi. Sebuah pigura foto di antara tumpukan itu menarik perhatian Lilia.
Lilia tidak bisa membayangkan pria arogan seperti Jean menghiasi meja kerjanya dengan pigura foto. Pigura itu berwarna biru langit dan terlihat kekanak-kanakan. Rasa penasarannya pun muncul. Lilia menoleh ke arah pintu dan menajamkan telinganya. Dalam ruangan yang sunyi ini hanya terdengar suara dengung AC. Setelah memastikan kalau situasi sudah aman, Lilia berdiri dan mendekati meja itu.
Tiga langkah…dua langkah…satu langkah…
Lilia berhenti di depan meja Jean dan mengulurkan tangan ke arah pigura yang terlihat sederhana itu. Jemarinya yang ramping meraih pigura itu. Dia membalik pigura tersebut untuk melihat foto di dalamnya.
"Eh?" Selama sesaat, Lilia tidak dapat mempercayai matanya.
Sesosok wanita muda yang tersenyum anggun balas menatapnya dari foto itu. Wanita tersebut mengenakan gaun yang sempat menjadi populer beberapa tahun lalu dan tengah berjalan di atas panggung fashion show. Wajah wanita itu terlihat tidak asing—karena itu adalah wajah yang selalu Lilia lihat setiap kali dia bercermin. Dengan kata lain, itu adalah foto Lilia sendiri!
Sebelum pikiran Lilia bisa mencerna fakta ini, pintu kantor berayun terbuka. Lilia terlonjak dan menoleh ke arah pintu, membuat rambut hitamnya tersibak ke samping seperti tirai yang terbuka.
Pemilik ruangan itu berjalan masuk sembari menyampirkan jas hitam di lengannya. Jean tengah membuka kancing paling atas dari kemeja putihnya ketika dia melihat Lilia.
Keduanya tampak sama terkejutnya.
Kemudian pandangan Jean jatuh pada pigura yang masih berada di tangan Lilia dan matanya berubah tajam.
Lilia mencengkeram pigura itu semakin erat sambil bertanya dengan nada dingin, "Kenapa kamu menyimpan fotoku?"