"Kamu harus kembali ke kantor?" Lilia bertanya sambil bersandar ke tiang lampu jalan.
"Sudah, jangan khawatir," Angguk Vivi dengan jengkel sembari menarik Lilia ke arah parkiran, "Aku pasti akan mengantarmu pulang dulu."
"Vivi, pergilah ke kantor. Aku bisa pulang sendiri." Lilia melepaskan tangan Vivi dan mendorongnya pergi.
Begitu dia mendengar omongan teman baiknya itu, semua rasa jengkel dalam hati Vivi pun menghilang. Dengan khawatir dia bertanya, "Lilia…apa kamu yakin…?"
Lilia tersenyum dan mengangguk. "Aku bisa pesan taksi. Kamu tahu rumahku tidak jauh dari sini, kan."
Vivi mengerutkan kening. Dia tidak ingin meninggalkan sahabatnya sendirian, tapi masalah di kantornya tidak bisa diabaikan. Akhirnya Vivi mengalah pada bujukan Lilia dan memanggilkan taksi untuknya. Dia memastikan sopir taksi itu tahu alamat rumah Lilia sebelum dia bergegas pergi ke kantor.
Namun Vivi tidak menyangka kalau taksi itu hanya berbelok di tikungan dan menurunkan Lilia di depan gedung karaoke.
Lilia memesan ruangan VIP dan juga dua botol anggur untuk menemaninya. Dia memberi tip untuk pelayan yang mengantarnya dan menunggu sampai pelayan itu pergi sebelum menendang lepas sepatunya. Sambil bertelanjang kaki, Lilia menghempaskan diri ke sofa.
Wanita itu mulai membuka botol anggur pertamanya sambil menyetel lagu keras-keras, seolah berusaha menenggelamkan kata-kata Rina tadi.
William sudah kembali…
Lilia menggelengkan kepalanya dan menenggak botol anggur itu. Namun kenangan manis saat dia masih bersama William muncul satu demi satu di pikirannya, seperti hantu yang menolak diusir.
Saat William menyatakan cintanya pada Lilia, dia merasa seolah berada di atas awan. Untuk pertama kalinya, hidup Lilia terasa sempurna. Namun di hari William meninggalkannya, ilusi itu hancur berkeping-keping.
Setelah berhari-hari depresi dan mengurung diri di kamar, Lilia bersumpah untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Dia berhenti mempercayai pria lain dan melemparkan diri ke dalam pekerjaannya. Berkat itu, karir Lilia melejit dan semua orang mengakui kemampuannya sebagai model.
Namun sekarang dia harus menikahi pria yang tidak dia kenal, dan William telah kembali untuk menikahi orang lain…
Lilia membuka botol kedua dan kembali meneguk anggur itu. Normalnya dia tidak akan berani minum anggur sebanyak ini, tapi berita tentang William telah membuatnya terguncang. Lilia butuh minuman untuk menenangkan dirinya.
Lilia cegukan dan memeluk botol anggur itu. "Apa bagusnya menikah? Semua laki-laki itu bajingan! Hanya mendekatimu kalau butuh dan membuangmu kalau kamu tidak berguna! Aku tidak butuh laki-laki!" Lilia terus mengomel dan memaki hingga dia akhirnya jatuh tertidur.
*****
Saat Kenny membuka pintu, dia segera menyalakan lampu dan tertegun melihat kondisi di dalam ruangan karaoke VIP itu.
Wanita yang mereka cari sedang berbaring di sofa. Satu lengannya memeluk botol anggur kosong, sementara lengannya yang lain menutupi wajahnya. Musik yang disetel kelewat keras menenggelamkan semua suara yang lain.
Kenny diam-diam merasa kagum Lilia dapat tidur dengan begitu pulas di tengah semua keributan ini. Dia segera mematikan televisi, membuat ruangan itu diselimuti keheningan.
Hilangnya suara musik mengganggu tidur Lilia. Wanita itu perlahan membuka matanya dan berjuang untuk duduk di sofa.
Lilia yang sedang mabuk berat memancarkan daya tarik yang berbeda dari biasanya. Pipinya yang kemerahan membuat wajah cantiknya terlihat makin mempesona. Mata hitamnya tampak sejernih air dan sepolos bayi. Bibir merahnya berkilauan seperti rubi karena anggur.
Wajah Kenny memerah saat melihat penampilan Lilia itu, tapi untungnya dia masih ingat kalau bosnya berdiri tepat di belakangnya. Kenny buru-buru berbalik dan berjalan keluar. Tatapan dingin Jean yang menusuk punggungnya membuat pria itu mempercepat langkahnya.
Setelah menutup pintu, Jean menghampiri Lilia sambil menghela nafas. Dia dapat mendengar Lilia meracau tidak jelas, tapi nama 'William' berulang kali terucap dari mulutnya. Hal itu membuat Jean semakin jengkel.
Begitu Jean mendekat, Lilia langsung berpaling ke arahnya. Jean tertegun saat pandangan mereka bertemu. Wanita itu biasa memberinya tatapan ketus dan keras kepala, tapi sekarang dia memandangnya lembut dengan sepasang mata sayu. Ini bukan sosok Lilia yang dia tahu.
Sesuai dugaannya, Lilia memiringkan kepalanya dengan bingung. Rambutnya yang hitam seperti tinta terurai menyelimuti bahu kanannya. "Apa tempat ini menyediakan…layanan spesial…? He…hehe…" Gumam Lilia sambil tersenyum mabuk.
Jean kehilangan kata-kata selama sejenak. Dia benar-benar ingin tahu bagaimana Lilia bisa mengambil kesimpulan itu. Jean berlutut di depan sofa dan menyentil dahi wanita itu satu kali.
"Jangan merepotkanku seperti ini lagi." Tegur Jean dengan suara rendah.
Jika Lilia mendengar itu dalam keadaan sadar, dia pasti akan memprotes kalau dia tidak pernah meminta Jean datang menjemputnya.
Namun dalam keadaan setengah sadar dan dimabuk kenangan-kenangan pahit, Lilia tidak mendengar sepatah kata pun yang diucapkan Jean. Dia hanya mengernyitkan dahinya sambil cemberut.
"Aduh…" Protesnya dengan suara manja.
Kali ini Jean pun tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Tunangannya itu terlihat benar-benar menggemaskan. Dia pun kembali menyentil dahi Lilia, kali ini dengan iseng—namun wanita itu menangkap tangannya!
"Apa-apaan sih?" Lilia memprotes.
Jean berusaha menarik tangannya kembali, tapi Lilia mempertahankan 'mainan baru'nya dengan keras kepala, seperti seekor kucing yang memainkan gulungan benang. Tangan Lilia yang terasa panas menghangatkan kulit dingin Jean.
"Sudah, ayo kita pergi." Ucap Jean dengan tegas sambil beranjak berdiri. "Ini bukan tempat yang layak untukmu."
"…jangan." gumam Lilia. "Jangan pergi…"
Mendengar itu, Jean berhenti menarik tangannya. Dia menatap wanita itu dengan terkejut.
"Kalau kamu ikut pergi…" Ucap Lilia dengan suara yang lirih. "…aku akan sendirian lagi."
Setetes air mata jatuh ke tangan Jean. Pria itu mematung, tidak berani bergerak sama sekali. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Jean kembali berlutut di hadapan wanita yang akan dinikahinya itu. Perlahan, tangan kirinya mengusap pipi Lilia yang lembut dan hangat.
Tidak butuh waktu lama bagi Lilia untuk menangis. Perlahan-lahan, tetesan air matanya mengalir semakin deras. Mabuk berat dan dengan hati yang tersayat, Lilia pun menangis di hadapan pria yang dia benci itu.
Namun isakan tangisnya tidak berlangsung lama. Tangan Jean terasa sejuk, genggamannya yang kuat tapi lembut membuat Lilia merasa aman…seolah ada yang melindungi dirinya.
"Ssh... Jangan menangis." Bisik Jean lembut. "Aku ada di sini untukmu. Semuanya akan baik-baik saja."
Jean terus mengulangi kata-kata itu seperti mantra hingga dia mendengar suara nafas Lilia yang teratur. Wanita itu terlelap sambil terus menggenggam tangannya.
Jean mengamati Lilia yang terlelap tanpa mengucapkan apapun seolah tersihir. Baginya, wanita adalah makhluk yang menjengkelkan dan tidak dapat dipahami. Mereka selalu berkerumun di sekitarnya sambil berceloteh tanpa henti, seperti nyamuk yang berdengung di telinganya. Walau Lilia berbeda dari wanita lain, Jean hanya memandangnya sebagai 'wanita yang dia ingin dapatkan'.
Jean selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, sehingga ketertarikannya pada Lilia hanya sebatas itu saja. Dia sudah puas dengan memastikan wanita itu tidak bisa melarikan diri darinya.
Namun saat dia mendengar bisikan Lilia yang dipenuhi keputusasaan, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kehangatan tangan wanita itu dapat melelehkan es di dalam hatinya. Akhirnya Jean membuat suatu keputusan. Dia menginginkan hati wanita ini juga, dan dia akan mendapatkannya.
Pada saat itu, Jean tidak tahu kalau wajah dinginnya telah meleleh dan digantikan oleh ekspresi yang sangat lembut.
*****
Waktu sudah hampir tengah malam saat Jean tiba di rumahnya bersama dengan Lilia yang tertidur lelap. Tidur wanita itu begitu nyenyak sampai dia tidak sadar saat Jean membawanya masuk ke dalam kamar tamu. Walau demikian, Jean tetap berusaha bergerak sehati-hati mungkin agar tidak membangunkan Lilia.
Pria itu menghela nafas setelah membaringkan Lilia di atas tempat tidur. Wanita itu terus menggenggam tangannya erat-erat selama perjalanan pulang hingga Jean tidak sampai hati untuk menarik lepas tangannya. Cengkeraman Lilia akhirnya mengendur saat kepalanya menyentuh bantal dan Jean bisa melepaskan diri. Namun alih-alih keluar kamar, pria itu justru duduk di atas tempat tidur. Tatapannya selalu terpaku pada wajah terlelap Lilia yang tampak gelisah.
Jean mengulurkan tangan dan mengusap-usap pipi Lilia dengan ibu jarinya. "Kenapa kamu menangis…?"
Tidak ada seorang pun di kamar itu yang dapat mendengar bisikan Jean, namun pria itu terus berbicara.
"Setelah bertahun-tahun mencarimu, akhirnya aku menemukanmu. Aku tidak akan membiarkanmu terlepas dari genggamanku lagi. Aku berjanji aku akan menghilangkan semua yang membuatmu sedih. Karena itu…" Jean mencondongkan tubuh dan mendaratkan kecupan ringan di dahi Lilia. "…jangan menangis lagi."
Tanpa Jean sadari, ekspresi Lilia berubah damai seolah dia bisa mendengar kata-kata itu.
*****
Malam itu, Lilia terhanyut dalam sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, ada sepasang tangan yang mengangkat tubuhnya dan memeluknya dengan erat. Tangan itu terasa kuat dan memberinya rasa aman. Namun pada saat yang sama, tangan itu juga sangat lembut dan memperlakukan Lilia seolah dia adalah harta yang rapuh dan sangat berharga.
Malam itu, Lilia benar-benar dibuai mimpi paling indah.