Sinar matahari pagi menyelinap masuk dari sela-sela tirai jendela kamar itu. Cahayanya menimpa sisi wajah Lilia dan menggugahnya dari dunia mimpi. Dia perlahan membuka matanya yang terasa berat. Kepalanya berdenyut nyeri dan tangannya otomatis terangkat untuk memegang dahinya.
"Ow…" Lilia mengerang dan mengedipkan mata, berusaha memfokuskan pandangannya yang kabur.
Hal pertama yang dilihatnya adalah kamar tidur yang tampak asing. Dinding-dindingnya dilapisi wallpaper berwarna abu-abu. Perabotan dalam kamar itu terbuat dari kayu padat dan memberikan kesan elegan. Ranjang ini pun terasa jauh lebih empuk daripada ranjang di kamarnya sendiri.
Lilia buru-buru duduk dan selimut tebal yang menutupi tubuhnya merosot jatuh. Dia menunduk dan menyadari kalau seseorang telah mengganti pakaiannya. Dia kini mengenakan gaun tidur dari sutra putih yang terasa lembut di kulit. Lilia memandang berkeliling dan menemukan pakaiannya semalam di atas meja, terlipat rapi dan sudah dicuci bersih.
Lilia menyingkapkan selimutnya dan turun dari tempat tidur. Kakinya menginjak karpet Persia tebal yang terhampar menutupi lantai. Semakin lama dia memikirkannya, semakin banyak pula pertanyaan yang muncul di kepala Lilia.
Kamar mewah ini milik siapa? Bagaimana dia bisa ada di sini?
Lilia hanya ingat pergi ke karaoke semalam dan minum sedikit lebih banyak dari seharusnya. Dia merasa ada orang lain juga di sana, tapi dia tidak bisa mengingat siapa orang itu. Lilia menghela nafas panjang. Kenapa dia minum sebanyak itu kemarin?!
Lilia menghampiri meja dan akan berganti pakaian saat terdengar bunyi ketukan di pintu kamar.
"Nona Lilia? Apakah Anda sudah bangun?" Suara seorang wanita bertanya dari balik pintu.
"Y-Ya, aku sudah bangun. Tunggu sebentar, aku sedang berpakaian." Lilia membalas sambil buru-buru berganti baju. Pakaiannya berbau harum dan terasa kering, seperti habis dicuci di laundry profesional.
Setelah Lilia memberinya izin, pintu kamar itu berayun terbuka. Seorang wanita paruh-baya yang mengenakan celemek melangkah masuk. Dia tersenyum lebar dan menyapanya, "Selamat pagi, Nona. Tuan Muda sudah menunggu Anda untuk sarapan di bawah."
Lilia mengangkat alisnya dengan ekspresi bingung. "Tuan Muda? Siapa itu?"
Namun wanita bercelemek itu hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Lilia. Wanita itu mengajak Lilia turun ke lantai bawah dan dia otomatis menemukan jawaban atas pertanyaannya.
"Jean?" Lilia menatap pria yang duduk di depan meja makan itu dengan wajah tercengang.
"Akhirnya bangun juga, Putri Tidur?" Jean menggodanya sambil menyesap segelas kopi.
Pagi ini Jean hanya memakai kaus abu-abu tipis dan celana pendek berwarna gelap. Pakaian kasualnya membuat pria itu terlihat seperti orang yang sepenuhnya berbeda. Ditambah dengan gelas kopi di tangan dan ekspresi yang malas, ketampanan Jean pagi ini membuat jantung Lilia berdetak lebih kencang.
Lilia berusaha menutupi kekagumannya pada penampilan Jean dengan mengamati sarapan yang sudah disiapkan untuknya. Wanita paruh-baya itu telah memasakkan telur dan bacon yang terlihat menggugah selera.
Namun dia sedang tidak berselera makan saat ini. "Kenapa aku ada di rumahmu?!" Tanya Lilia dengan nada menuduh.
"Kamu mabuk, dan aku kebetulan melihatmu di tempat karaoke itu. Jadi aku membawamu pulang." Jawab Jean singkat sambil menaruh gelas kopinya.
"Kebetulan, katamu?" Lilia mengangkat alisnya. "Itu bukan berarti kamu bisa membawaku ke rumahmu begitu saja! Kamu tahu kita belum menikah, kan?" Protesnya.
"Baiklah. Kalau begitu, menurutmu apa yang seharusnya aku lakukan?" Jean membalas tatapan Lilia dengan kalem. "Apakah seharusnya aku meninggalkan saja tunanganku yang sedang mabuk berat sendirian di tempat seperti itu? Hmm?"
Lilia mengalihkan pandangannya sambil berusaha mencari argumen lain. Setelah beberapa saat, Lilia berhasil menemukan solusi lain yang lebih masuk akal. "Kamu kan bisa mengantarku pulang ke rumahku sendiri!"
Seulas senyuman tipis menghiasi bibir Jean, seolah dia sudah menunggu jawaban ini. "Seandainya bisa, aku akan melakukannya. Tapi kamu benar-benar menyulitkan kemarin malam."
Lilia memiringkan kepala saat mendengar itu. Menyulitkan?
"Kamu menangis dan membuat kekacauan di mana-mana." Ucap Jean kalem.
Mata Lilia melebar dan dia otomatis mundur selangkah. "A-Aku tidak melakukan…"
"Kamu juga menangkapku dan menolak melepaskanku sambil berurai air mata." Lanjut Jean tanpa ampun.
Wajah Lilia mulai memerah saat dia menutup telinganya. "Aku tidak tahu apa-apa! Aku tidak ingat apa yang terjadi semalam…!"
"Lalu kamu berulang kali menyebut nama William…"
"Oke, baiklah! Aku sudah paham kalau aku menyulitkanmu, jadi terima kasih sudah membawaku pulang!" Lilia akhirnya menyerah berusaha membantah Jean. Dia menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena malu.
Semabuk apa dia kemarin sampai menolak melepaskan Jean dan memanggil nama William?!
Lilia perlahan mengangkat wajah untuk melihat reaksi Jean. Ekspresi pria itu tampak puas oleh jawaban Lilia.
"Baguslah kalau kamu sadar. Sekarang, duduklah dan makan. Kenny akan mengantarmu pulang nanti." Perintah Jean sebelum kembali berfokus pada iPed-nya.