Bam!
"Beraninya kamu bersikap kurang ajar! Kamu dibesarkan dengan makanan enak dan baju bagus selama ini!" Sylvia memukul meja dengan wajah murka. "Sekarang keluarga ini sedang menghadapi kesulitan dan kamu tidak mau membantu? Tidak bisakah kamu berkorban sedikit untuk keluargamu? Ayahmu dan aku hanya ingin yang terbaik untukmu!"
Ucapan Sylvia memang masuk akal dan membuat Lilia terdengar seperti anak kurang ajar yang egois. Tapi Lilia tidak dapat mempercayai perkataan Sylvia. Jika mereka benar-benar peduli padanya, mereka tidak akan menyetujui pernikahan kontrak ini tanpa sepengetahuannya!
"Yang terbaik untukku? Atau untuk keluarga ini?" Lilia bertanya dingin.
Selama sesaat, Sylvia terdiam. "…apa yang baik untuk keluarga kita, itu juga baik untukmu. Kamu adalah bagian dari keluarga ini." Sylvia akhirnya menjawab.
"Benarkah?" Suara Lilia terdengar sarkastik. "Kupikir aku hanya ada untuk berkorban demi keluarga ini."
Sebelum Sylvia bisa menjawab, sang kepala keluarga muncul dari ruang kerjanya di lantai dua. Mungkin suara perdebatan Lilia dan Sylvia terlalu keras dan membuatnya terganggu.
"Kenapa kalian bertengkar lagi?" Robert bertanya dengan wajah lelah.
Melihat suaminya muncul, amarah Sylvia lenyap dan dia kembali duduk dengan postur yang elegan. "Putri kesayanganmu ini menolak untuk menikah." Jawabnya tenang.
Robert mengerutkan dahi dengan ekspresi tidak berdaya. "…Lilia, ayo kita bicara di atas." Panggilnya.
"Tapi…" Lilia ingin memprotes kalau dia tidak melakukan kesalahan apapun.
"Lilia." Nada ayahnya terdengar tegas dan tidak bisa dibantah.
Lilia mengangkat dagunya dengan tatapan keras kepala, tapi dia tidak memprotes lagi. Saat berjalan menuju tangga, dia melirik Sylvia. Wajah ibunya sudah kembali tanpa ekspresi seolah pertengkaran itu tidak pernah terjadi. Namun Lilia melihat seulas senyum puas menghiasi bibir Sylvia selama sekejap.
Mata Lilia terasa panas dan dia buru-buru membuang muka. Lilia mengerjap-ngerjapkan mata untuk mengusir air mata yang mulai menggenang. Menangis tidak akan menyelesaikan apapun saat ini.
Di dalam ruang kerja Robert, Lilia duduk di depan ayahnya. Dia menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang penuh emosi sambil memainkan kukunya.
Setelah keheningan yang cukup lama, Robert mendesah. "Lilia, apa kamu bersama Jean semalam?"
Mendengar pertanyaan tidak terduga itu, Lilia mengangkat wajah dengan kaget. "Bagaimana Ayah bisa…" Dia teringat tatapan aneh Jean tadi pagi dan segera menghentikan ucapannya. "Apa dia memberitahumu?"
Robert menggeleng. "Kamu tidak bisa dihubungi semalam. Aku sudah menelepon sahabatmu, tapi dia juga tidak tahu ke mana kamu pergi. Pagi ini asisten Jean menelepon dan memberitahuku kalau pria itu telah menjemputmu dari bar."
Lilia teringat deskripsi Jean tentang perilaku mabuknya semalam. Dia sedikit bersyukur Jean tidak mengatakan apa-apa pada Robert.
"Ayah, tidak ada apa-apa yang terjadi semalam. Dia hanya kebetulan lewat dan menawariku menginap di rumahnya, yang lebih dekat dari bar. Itu saja!" Lilia memutuskan untuk menggunakan kebohongan yang digunakan Jean tadi.
Robert mencondongkan tubuh ke arah Lilia, sorot matanya terlihat memohon. "Ayah percaya padamu. Tapi tolong jangan salahkan ibumu. Keluarga ini sedang menghadapi krisis besar. Jika bukan karena itu, aku tidak akan memaksamu menikah seperti ini."
Lilia mengerutkan kening. Kini Robert mengucapkan hal yang sama persis dengan Sylvia tadi. Tidakkah ayahnya tahu kalau Lilia tidak dapat mempercayai ucapan mereka berdua?
"Lilia, aku tidak menyuruhmu menyukai Jean. Tapi setidaknya cobalah untuk lebih dekat dengannya. Dia adalah pria yang baik." Lanjut Robert.
Mendengar kata-kata Robert, Lilia akhirnya memahami sesuatu. Tujuan pembicaraan ini bukan untuk mendiskusikan solusi agar Lilia tidak perlu menikah. Namun Robert hanya ingin supaya dia berhenti melawan. Pernikahan ini tidak akan dibatalkan, tanpa peduli bagaimana perasaan Lilia soal itu.
"…baiklah, Ayah." Lilia tidak dapat membantah ayahnya.
Dalam keluarga ini, hanya ayahnya saja yang dapat membuat Lilia mendengarkan perkataannya dengan patuh.
Robert mengangguk, merasa senang dengan jawaban Lilia. "Keluarga Widjaya jauh lebih kaya dibandingkan keluarga kita. Setelah menikah, Ayah jamin kamu akan hidup nyaman."
"Tapi bukan itu yang kuinginkan." Lilia menelan kembali kalimat yang hampir diucapkannya.
*****
Lilia membanting pintu kamarnya hingga tertutup dan membuka jendela kamarnya. Dia menghabiskan beberapa menit menatap kosong ke langit. Matahari bersinar cerah dan angin segar berhembus masuk, tapi semua itu tidak dapat memberi Lilia semangat.
Bunyi dering telepon memecah lamunan Lilia. Dia melihat nama Vivi di layar telepon dan segera mengangkatnya.
Begitu telepon itu tersambung, Vivi langsung mengomelinya tanpa henti. Sahabatnya itu mencurahkan semua kekhawatiran dan kemarahan yang dirasakannya saat Lilia menghilang semalaman. Walau telinga Lilia terasa panas karena omelan Vivi, hatinya terasa hangat oleh perhatian sahabatnya itu.
Vivi menuntut Lilia memberinya penjelasan, maka Lilia bercerita kalau dia menginap di rumah Jean.
"Hah?! Kamu dan Jean tidur bersama?!" Vivi berteriak.
"Tidak!" Lilia langsung membantah. "Aku hanya tidur di kamar tamu! Kalau dia tidak menculikku ke rumahnya semalam, aku tidak akan mau dekat-dekat dengannya! Pikiranmu kotor, Vivi!"
Lilia bergidik membayangkan dia dan Jean tidur bersama. Bagaimana mungkin dua orang yang tidak saling mencintai bisa melakukan itu?
"Apanya yang kotor?! Jean Widjaya itu pria terbaik yang pernah ada! Apa kamu tahu berapa banyak wanita di luar sana yang mau tidur dengannya?!" Vivi terus membela diri.
Lilia sekali lagi menekankan pada Vivi kalau dia tidak memandang Jean seperti itu sebelum menutup telepon. Dia menghempaskan diri ke tempat tidur dan membiarkan pikirannya mengembara. Dia kembali memikirkan insiden semalam dan kabar kepulangan William. Namun hal yang paling mendominasi benaknya adalah pria yang menculiknya semalam dari tempat karaoke.
Di benak Lilia, Jean adalah pria menyebalkan yang terlalu angkuh hanya karena dia berhasil menjadi presiden perusahaan di usia semuda itu. Sebagai buktinya, pria itu berani membawa Lilia pulang ke rumah pria itu tanpa meminta izin darinya! Bukankah itu yang disebut penculikan?!
Lilia membalikkan tubuh sambil memejamkan mata. Walau dia merasa tidak terima dengan perlakuan Jean yang seenaknya sendiri, dia tidak dapat sepenuhnya membenci pria itu. Lilia bertanya-tanya mengapa Jean tidak melakukan apapun terhadapnya saat dia ada di rumah pria itu. Lilia tengah dalam kondisi mabuk berat dan tidak sadarkan diri, tentunya Jean bisa melakukan apapun yang dia mau dengan Lilia saat itu. Namun pria itu hanya membiarkannya tidur dengan damai. Apa pria itu tidak tertarik dengan penampilan Lilia? Atau…
Pikiran-pikiran semacam itu terus memenuhi benak Lilia hingga dia akhirnya jatuh terlelap.