Lilia ingin menolak perintah Jean dan langsung pulang saat ini juga. Tapi perutnya yang keroncongan memilih momen itu untuk berbunyi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Lilia duduk dan mulai menyantap sarapannya.
Setelah berada dalam keheningan yang canggung selama beberapa saat, Lilia akhirnya mengucapkan sesuatu. "…terima kasih buat semalam. Aku benar-benar menghargainya." Katanya dengan suara rendah.
Meskipun Lilia masih merasa jengkel terhadap Jean karena telah membawanya pulang tanpa meminta izin dulu, setidaknya dia tahu kalau Jean hanya berusaha membantunya. Hal ini membuat Lilia berpikir kalau mungkin pria ini lebih baik dari yang dia bayangkan.
"Aku hanya tidak mau mendengar berita kalau calon istri putra keempat Keluarga Widjaya ditemukan bermabuk-mabukan di tempat karaoke sampai pagi." Jawab Jean datar.
Ralat—pria ini masih sedingin dan searogan yang dibayangkannya. Lilia menggigit bibirnya supaya dia tidak mulai mengutuki Jean. Tidak bisakah pria ini mengatakan sesuatu yang manis sekali saja?
Pada saat itu, wanita paruh-baya yang bercelemek itu masuk ke ruang makan. Jean memperkenalkannya sebagai Suster Mei. Dia adalah pengasuh Jean sejak kecil dan bertanggung jawab mengurus rumah ini.
"Tuan Muda, ada telepon untukmu." Suster Mei menyodorkan ponsel Jean.
Jean menerima ponsel itu dan membaca nama penelepon di layarnya, lalu dia menatap Lilia dengan pandangan aneh.
"…?" Lilia membalas tatapannya dengan bingung.
Jean berdiri dan keluar ruangan untuk mengangkat telepon itu.
Mata Lilia terus mengikuti sosok Jean seolah tersihir. Dia harus mengakui kalau wajah tampan Jean memang sesuai dengan tipenya. Kalau saja pria itu menghilangkan sikap arogannya dan tidak berusaha mengatur hidupnya, Lilia takkan keberatan menikahinya.
"Nona, Anda adalah wanita pertama yang dibawa pulang oleh Tuan Muda!" Suster Mei mendekati Lilia dan mulai mencecarnya dengan pertanyaan. "Bagaimana kalian pertama kali bertemu? Sudah berapa lama kalian bersama?" Mata wanita paruh-baya itu bersinar-sinar penuh semangat.
"Uhuk…Uhuk…!" Lilia tersedak makanannya dan membuat Suster Mei buru-buru menyodorkan segelas susu padanya.
"Tidak usah malu-malu, Nona. Tuan Muda Jean adalah orang yang luar biasa. Nona punya selera yang bagus!" Suster Mei memuji tuan mudanya setinggi langit sambil terus membereskan meja makan. "Saat aku mengganti bajumu semalam, Tuan Muda berulang kali menekankan supaya aku berhati-hati dan tidak membangunkanmu!"
Lilia tertegun dan menatap Suster Mei dengan bingung. Dia tidak percaya kalau Jean bisa bersikap penuh perhatian seperti itu padanya. Sejak pertemuan pertama mereka dua hari yang lalu, Jean selalu bersikap dingin terhadapnya. Lilia tidak paham kenapa pria itu mau menikah kontrak dengan wanita yang tidak dia sukai walau dia bisa memilih wanita manapun yang dia mau.
"Tidak, kami…"
"Apa kamu sudah selesai makan? Kenny sudah di sini." Kemunculan Jean memotong ucapan Lilia.
Lilia buru-buru menghabiskan susunya dan berdiri. "Ya, aku sudah selesai."
Ketika dia mengikuti Jean pergi, Lilia bisa merasakan tatapan Suster Mei yang berbinar-binar dan penuh ekspektasi. Dia menghela nafas sambil berharap Jean akan menyelesaikan kesalahpahaman ini sebelum pengasuhnya yang baik hati itu kecewa.
*****
Saat Lilia tiba di rumah, dia melihat ibunya di ruang duduk. Sylvia Pangestu duduk di sofa bergaya Eropa sambil meminum secangkir teh. Lilia tahu kalau ibunya sedang menunggunya pulang.
Sylvia melirik Lilia dengan tatapan dingin dan meletakkan cangkir tehnya. "Kenapa kamu baru pulang sekarang?" Tanya Sylvia tegas.
"Aku menginap di rumah Vivi semalam." Lilia menjawab ketus sambil melepas sepatunya.
Dia tidak repot-repot berbicara sopan atau bahkan melirik ibunya. Setiap kali Lilia menatap wajah ibunya, dia hanya akan menemukan ekspresi dingin dan cuek yang lebih parah dari ekspresi Jean.
Sejak kecil, Lilia tahu ibunya tidak suka padanya. Semua kasih sayang dan perhatian Sylvia dicurahkan pada adiknya, Daniel. Terkadang Lilia bertanya-tanya apakah dia benar-benar anak kandung Keluarga Pangestu.
"Kamu sekarang sudah terkenal. Kamu harus lebih berhati-hati dengan perkataan dan tindakanmu. Jangan bergaul dengan orang-orang yang tidak jelas latar belakangnya." Lilia hanya mendengar kekhawatiran untuk reputasi Keluarga Pangestu dalam ucapan Sylvia itu.
Tidak ada setitik pun rasa khawatir untuk putrinya yang tidak pulang semalaman dalam suara wanita itu.
"Ya, Ibu." Lilia membalas dengan nada datar. Dia tergoda untuk membantah, tapi memancing keributan hanya akan membawa masalah untuk dirinya sendiri.
Lilia segera menuju ke kamarnya sendiri. Dia tidak ingin berada di ruangan yang sama dengan Sylvia lebih lama lagi.
"Oh ya, kemarin ayahmu bercerita kalau kamu sudah bertemu putra keempat Keluarga Widjaya. Apa itu benar?"
Langkah Lilia langsung berhenti. "…ya." Jawabnya enggan.
"Kamu harus berterima kasih padanya. Berkat Keluarga Widjaya, keluarga kita bisa melewati krisis finansial ini. Oh ya, tiga hari lagi kedua keluarga kita akan bertemu untuk membicarakan pernikahan ini. Pergilah dan beli baju yang terbaik. Jangan sampai kamu mempermalukan nama Keluarga Pangestu."
Lilia mengepalkan tangan sambil berusaha menahan amarahnya. Tapi kali ini dia tidak tahan lagi. Lilia membalikkan badan dan bertatapan dengan Sylvia.
"Ibu, apakah aku harus menikah?" Ucap Lilia tanpa pikir panjang.
Ekspresi dingin Sylvia berubah jengkel. "Kamu pikir kita bisa mengubah kontraknya sekarang? Memangnya kamu tahu seberapa besar mas kawin yang sudah diberikan oleh Keluarga Widjaya?! Kalau kamu tidak menikah, apa kamu pikir keluarga kita bisa hidup nyaman seperti ini seterusnya?!"
"Jadi kamu menukarkan kebahagiaanku dengan kekayaan dan reputasi?!" Tukas Lilia sengit.