Chereads / Oh Baby (Romance) / Chapter 51 - Bab 51

Chapter 51 - Bab 51

Vote sebelum membacašŸ˜˜

.

.

"Kau tidak harus mengantarku, Ed, kau bias terlambat masuk ke kantor," ucap Sophia menatap suaminya yang mengendarai mobil.

Edmund menggeleng. "Kau tidak bicara padakku sejak semalam, Sophie, apakah terjadi sesuatu?"

"Jika kau mengantarku hanya untuk menanyakan hal itu, percayalah, tidak ada yang salah," ucapnya melemparkan tatapan kea rah depan saat Edmund membalas tatapannya.

"Kau memalingkan wajah setiap aku menatap matamu."

"Aku takut kau tidak berkonsentrasi dan membuat kita berdua celaka," ucap Sophia memajukan bibirnya. Dia tersentak kaget saat sebuah tangan menggenggam tangannya erat, Sophia menatap Edmund yang tersenyum lembut padanya. "Ya, sepertinya aku sudah terpesona sejak dulu."

Sophia terkekeh pelan dan melepaskan genggaman tangan Edmund padanya. "Maka lihatlah ke depan, jalanan mulai padat," ucapnya dengan lembut dengan senyumannya yang indah.

Edmund menyadarinya, dia tahu Sophia menyembunyikam sesuatu di balik senyuman itu, dia tahu sesuatu terjadi hingga istrinya itu enggan menciumnya pagi ini. Sophia begitu dingin sejak semalam, dia bahkan menolak ciuman Edmund dengan alasan takut kedua orangtua Edmund menunggu untuk sarapan. Sungguh bukan alasan yang bagus untuk pembohong amatir seperti Sophia. Maka dari itu, Edmund menyiapkan sesuatu yang memang sudah direncanakannya sejak mengetahui jenis kelamin sang bayi, dia begitu mempersiapkan kejutan ini sejak kemarin untuk istrinya.

Tangan Edmund menuntun Sophia saat memasuki apartemen. Seringkali Sophia hendak melepaskan tangan Edmund dengan alasan salah satu bagian tubuhnya gatal, tapi Edmund tidak melepaskannya, dia malah membantu Sophia menggaruk bagian yang Sophia sebut gatal.

"Kau tidak harus mengantarku ke dalam kamar," ucap Sophia dengan suara kecilnya.

"Ada yang harus aku tunjukan padamu."

Edmund membawa istrinya menuju kamar yang dulu pernah ditempati Sophia sebelum bersamanya, dia berhenti di depan pintu itu dan mengisyaratkan Sophia membuka pintu dengan tatapan matanya. "Ayolah, buka pintu itu."

"Apa kau menyuruhku tidur di kamar ini lagi?"

"Omong kosong, tempatmu hanya di ranjangku."

Sophia terkekeh, dia membuka pintu kamar itu sambil tersenyum. Begitu pintu terbuka, mata Sophia tidak bias menyembunyikan kekagumannya dengan isi kamar itu. Ruangan yang dulunya sebuah kamar elegan kini berubah menjadi kamar anak dengan wallpaper merah muda, ranjang bayi yang dipenuhi boneka dan beberapa mainan di sudut ruangan. Lemari-lemari yang ada di sana berubah menjadi warna merah muda, begitu pula dengan langit-langitnya, dipenuhi lukisan malaikat yang seolah sedang menatap dari atas sana. Sophia menutup mulutnya tidak percaya. "Apa kau yang membuat ini?"

Edmung menggeleng. "Bukan, pekerja yang melakukannya, aku yang membayarnya," ucap Edmund memeluk Sophia dari belakang. Untuk yang kesekian kalinya, tangan Edmund menelusup masuk ke dalam gaun Sophia menggapai perut lalu mengelus perutnya.

Sophia terkekeh. "Di sini masih harum cat," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Mereka memulainya kemarin dan menyelesaikannya malam tadi." Edmund mencium puncak kepala Sophia. "Tadinya akun ingin menunjukan padammu besok, tapi kau begitu dingin hingga membuatku tidak tahan memperlihstksn ini sehingga kau tidak marah lagi padakku," ucapnya sambil menghela napas.

Tangan Sophia yang semula mengelus tanga Edmund itu terdiam. "Aku tidak marah padamu."

"Aku tahu, kemarilah," ucapnya menarik tangan Sophia mendekati salah satu lemari yang ada di dekat jendela. Sophia menyentuh tirai yang berwarna putih itu, merasakan betapa halus dan harumnya kain itu.

"Bukalah."

Sophia tersenyum dan membuka lemari yang ada di hadapannya, dia tersenyum lebar saat menemukan beberapa pasang sepatu kecil yang begitu lucu dengan warna merah muda dan putih. "Astaga, mereka sangat cantik," ucapnya memegang salah satu sepatu yang kecil itu. "Kau menyukai warna putih dan merah muda?"

Edmund menggeleng. "Tidak, kau yang suka," ucapnya menunjuk Sophia dengan tatapannya. Perempuan itu melihat baju yang dipakainya, dia tersenyum sambil mengangguk. Sophia memang memakai gaun putih dengan rompi berwarna merah muda,

"Jadi, kau mau menceritakan apa yang terjadi semalam?"

"Kau tidak mempercayaiku?" Sophia bertanya dengan raut wajah sedih.

"Kau tidak pandai berbohong, Sophie," ucap Edmund menyelipkan rambut Sophia ke belakang.

Sophia menghela napasnya, dia menunduk sesaat sebelum menatap kembali Edmund dengan tatapan kecewanya. "Aku menemukan barang Sara yang ada di dalam kotak di kamar mandimu, kenapa kau masih menyimpannya?"

Elusan Edmund pada wajah Sophia terhenti sesaat, dia tersenyum lembut pada istrinya. "Aku tidak sempat membuangnya."

"Kau tidak sempat membuangnya atau kau memang masih ingin bersamanya?"

"Untuk apa aku ingin bersama orang yang jelas-jelas meninggalkanku?" Edmund menahan kepala Sophia yang hendak berpaling. "Sudah lama aku ingin membuangnya, Sophie. Aku meletakannya di kamar mandi karena hendak membuangnya ke dalam toilet saat itu, tapi dalam waktu yang bersamaan daddy menyuruhku turun ke bawah hingga aku menyimpannya ke dalam laci. Dan juga, aku sedikit melupakan benda itu masih ada di sana karena terlalu bahagia bersamamu," jelasnya meyakinkan istrinya.

Air mata Sophia menetes. "Lalu kenapa di dalam cincinku tidak ada tulisan Edmund's Wife?"

Edmund tersenyum. "Kau menginginkannya? Kita bias mengukirnya jika kau mau."

"Maksudku kau belum menikah dengan Sara, tapi kau punya cincin dengan tulisan Sara's Husband," ucap Sophia menghapus air matanya kasar.

"Lihat yang ada di jari manisku." Edmund memperlihatkan tangannya pada Sophia. "Aku memakai ini, Sophie, apa pun yang kau temukan di sana, lihatlah aku yang sekarang, jangan melihat masa laluku."

Sophia terdiam, dia menundukan pandangan membiarkan Edmund mengusap sisa air mata di wajahnya. "Listen, Wife,berulang kali aku katakan padamu, kau lebih unggul daripada Sara."

Sophia tersenyum, dia memejamkan matanya sat Edmund mendekat dan mencium bibirnya. Ya, hal ini seharusnya mereka lakukan sejak semalam. Sophia menyesal membiarkan rasa cemburu dan tidak percaya kepada Edmund merasuki pikirannya. Pria dihadapannya ini sempurna, dan dia adalah suaminya.

***

To : Edmund

11.21 A.M : Aku akan keluar sebentar, mencari makan di luar.

Sophia tersenyum saat mengetik pesan itu, belum juga dia memasukan ponselnya ke dalam tas, benda kotak itu bergetar.

From : Edmund

11.23 A.M : Hati-hati, pastikan Benjamin ada di sampingmu.

To Edmund

11.23 A.M : Serius?

Dan pria itu kembali membalas pesannya dengan sangat cepat.

From Edmund

11.24 A.M : aku serius, Wife.

Sophia tersenyum dan kembali memasukan ponselnya ke dalam tas, dia melihat keluar jendela mobil. Siang ini Aurin mengajaknya makan siang bersama, sungguh di begitu merindukan temannya itu setelah sekian lama tidak bertemu. Dan tentu saja, Sophia ditemani oleh Benjamin. Jika tidak, mungkin Edmund akan mengomeli Ben karena tidak menjaganya, seperti dulu.

"Masuklah ke dalam dan makan, Ben," ucap Sophia saat mobil berhenti di depan restauran Jepang.

Benjamin terdiam. "Saya sedang berpuasa, Nyonya."

Sophia menganggukan kepalanya kaku, dia ingat Benjamin adalah seorang pria beragama islam. "Kalau begitu kau boleh menunggu di sini," ucap Sophia membuka pintu mobil sambil merapikan penampilannya.

"Baik, Nyonya, anda bias menghubungi saya jika butuh sesuatu," ucap Ben dibalas anggukan oleh Sophia.

Perempuan itu keluar dari mobil hitamnya, beberapa orang yang melihatnya mengerutkan kening melihat seseorang yang keluar dari dalam mobil mewah adalah seorang gadis muda yang tengah hamil, Sophia tidak mempedulikannya, dia tetap melangkah memasuki

Restaurant itu. Sophia masuk ke dalam ruangan yang nomor 17 di mana Aurin mengabarinya kalau dia sudah memesan tempat itu. Dan benar saja, ketika Sophia menggeser pintu itu Aurin sudah ada di dalam sedang duduk.

"Sophia, aku kira kau tidak akan datang," ucapnya tersenyum kaku.

Sophia memeluk Aurin sambil tersenyum, lalu sedetik kemudian dia menatap terkejut sahabatnya saat melihat banyak luka lebam di wajah Aurin. "Astaga, apa yang terjadi, Aurin?"

"Akuā€¦.aku terjatuh, Sophie."

"Terjatuh? Bagaimana bisa?" Dia menatap ngilu wajah Aurin yang Nampak sakit itu.

"Aku terjatuh saat mendekorasi apartemenku."

"Apa Jade tidak membantmu?"

Aurin terdiam. "Ah, itu, Jaden memiliki kesibukan akhir-akhir ini. Sudahlah, jangan membahasnya," ucap Aurin memaksa Sophia agar duduk di sampingnya. "Aku sudah memesan makanan untukmu. Cobalah, makanan Jepanng ini sungguh enak," lanjutnya meyakinkan.

"Apa kau gila? Kenapa memesankan ini? Seharusnya kau pergi ke rumah sakit dan memeriksa lukamu."

"Berhenti memikirkan lukaku, Sophie, aku mengundangmu kemari untuk menghilangkan mood ku yang jelek," ucapnya memakan sushi yang ada di meja dengan sumpit.

"Apa terjadi sesuatu?"

Aurin berdecak. "Makan saja, aku tahu kau lapar," ucapnya dibalas kekehan oleh Sophia. Dia mulai memakan sushi yang ada dihadapannya dengan mencelupkannya ke dalam kecap asin. Tanpa disadarinya, Aurin meremas pakaiannya sambil menatap Sophia yang terus mengunyah makanan yang ada di depannya, ekspresinya memperlihatkan bahwa Aurin sangat menyesal, sorot matanya penuh dengan kesedihan.

"Kenapa kau tidak ikut makan?"

Aurin segera mengalihkan pandangannya dan memakan sushi yang ada di depannya. "Sedang aku lakukan," ucapnya menghindari tatapan sahabatnya itu.

"Sebulan lalu aku berlibur bersama Edmung di Anguilla," ucapnya dengan mulut yang penuh dengan makanan. "Dia benar-benar membuatku semakin jatuh cinta padanya."

"Pantas saja kau tidak menghubungiku satu bulan ini," ucap Aurin dibalas tawa Sophia.

"Edmundā€¦. Astaga, dia benar-benar suami idaman."

"Bagaimana dengan wanita bernama sara?"

"Ah, aku tidak lagi memikirkannya. Cukup aku, Edmund, dan bayi perempuan kami."

Aurin membulatkan matanya tidak percaya. "Dia perempuan?"

Sophia mengangguk. "Menakjubkan bukan?'

Mereka berdua larut dalam cerita Sophia, Aurin tersenyum kecil menanggapi semua cerita Sophia di Anguilla. Hingga perempuan itu tiba-tiba berhenti bicara, Sophia memegang keningnya yang terasa pusing. "Aurin, aku merasa sangat pusing," ucapnya menyipitkan mata saat semua yang ada di depannya nampak kabur.

"Aurin, bisakah kau bantu aku ke dalam mobil? Ben ada di depan restaurant," ucapnya mencoba berdiri, tapi Aurin tetap diam hingga Sophia kembali terjatuh. "Aurin, bantu aku."

"Maafkan aku, Sophia."

"Apa maksudmu?" Sophia yang semakin pusing itu memejamkan matanya.

"Aku terpaksa melakukannya, seseorang memaksaku untuk berbuat jahat padamu," ucap Aurin sambil terisak.

"Apa?" Sophia yang tidak tahan lagi akhirnya terkapar lemah di atas lantai kayu retauran itu. Meskipun begitu, di masih bisa mendengar Aurin yang menangis, dia masih bisa merasakan bagaimana tubuhnya terangkat dan dimasukan ke dalam mobil oleh orang-orang berbadan besar. Tiga hal yang Sophia ingat malam itu, Tuhan, Edmund, dan bayinya.

******