Vote sebelum membaca😘😘
.
.
"Lalu ini, saat aku berusia 17 tahun." Tangan Sophia menunjuk layar ponselnya pada Edmund. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Dia mengusap kening istrinya di mana bekas luka sayatan itu sudah hamper tidak terlihat lagi.
"Baiklah, sekarang giliran kita berfoto bersama," ucap Sophia mengaarahkan kamera depan itu pada wajahnya dan Edmund, dia memeluk istrinya dari belakang tanpa tersenyum saat kamera memotretnya.
"Kenapa kau tidak tersenyum?"
"Kelemahan pria adalah tersenyum."
Sophia tertawa tidak percaya. "Kau ini," ucapnya dengan malas. Sophia kembali memakan biji kacang mete saat Edmund meminjam dan memainkan ponselnya.
Getaran ponsel Edmund mengalihkan perhantiannya, dia mengambil ponselnya dan membaca pesan dari seseorang. "Kurasa aku harus pergi, Sophie."
"Di minggu sore?" Sophia menegakan tubuhnya supaya Edmund bisa berdiri.
"Ya, ada sesuatu yang mendesak," ucapnya mengganti pakaiannya, Edmund mencium pipi Sophia yang masih duduk di sofa sebelum keluar dari kamar itu. Sophia mengambil ponselnya, dia mengerutkan kening saat Edmund menandai hari besok dengan tulisan My Beloved Husband pada kalender.
"Apa maksudnya itu?" Dia bergumam heran.
Dirinya tersentak kaget saat ponsel yang ada di tangannya itu berbunyi dengan volume melebihi biasanya, Sophia menggerutu pasti Edmund yang melakukannya.
"Hallo, Mommy, ada apa?"
"Bagaimana kabarmu, Sophie?"
"Jauh lebih baik," ucapnya tidak berhenti mengunyah kacang mete itu.
"Apa kau sudah tahu kalau besok Edmund ulang tahun?"
Seketika dia menghentikan gerakan mengunyahnya lalu menggeleng. "Tidak, Mommy. Astaga, aku tidak tahu, aku belum membeli apa pun," ucapnya terdengar panic.
"Tenanglah, tenang, Mommy ada di pusat perbelanjaan kota, datanglah kemari bersama bodyguard-mu."
Sophia mengangguk. "Tunggu aku di sana, Mommy. Aku takut Edmund akan pulang cepat."
Terdengar Rose yang tertawa di telpon. "Sergío memperkerjakannya hingga pukul 11 malam, jadi kita akan mengejutkannya tengah malam, bagaimana?"
Sophia mengangguk antusias. "Ya, ya, aku setuju. Oh, Mommy, untuk kue biar Sophie yang membuat."
"Aku mengerti, datanglah kemari cepat, Mommy menunggu."
Sophia segera memutuskan panggilan dan memakai pakaian hangatnya. "Apa kita punya bahan kue, Lucy?" Sophia yang menuruni tangga itu memakai jaketnya dengan terburu-buru'
"Kue apa yang ingin anda buat, Nyonya?"
"Black forest?"
"Kita tidak punya cokelat."
"Aku mengerti," ucap Sophia. "Di mana Martin?"
"Saya di sini, Nyonya," ucap pria yang bertugas menjaga keselamatannya itu.
"Aku akan ke pusat kota."
"Tentu," ucapnya mempersilahkan Sophia melangkah lebih dulu. Martin dan Simon yang bertugas sebagai bodyguardnya itu mengantar ke pusat perbelanjaan. Benjamin tidak lagi bekerja pada Edmund, dia memilih mundur dengan alasan istrinya mengkhawatirkannya setelah kejadian itu. Dan sekarang, kemana pun Sophia pergi dirinya selalu diikuti dua pria berbadan besar yang jaraknya lima meter di belakangnya. Mereka berdua tidak memakai pakaian hitam seperti yang ada di film-film. Martin bergaya rock seperti genre music kesukaannya, sedangkan Simon yang memiliki wajah asia itu menggunaakan pakaian kasual khas boyband dari Negara asalnya, Korea Selatan. Tidak akan ada yang menyangka kalau keduanya itu adalah seorang bodyguard yang memiliki kemampuan bertarung yang hebat.
Sophia mengirim pesan pada Rose kalau dirinya berada di depan kedai donat. Saat itu, seorang anak kecil tiba-tiba mendekatinya sambil berkata, "Mama?"
Sophia menunjuk dirinya sendiri. "Kau bicara padakku?"
"Apa kau mamaku?"
Sophia menggeleng. "Aku tidak merasa melahirkanmu, cantik," ucapnya mencubit pipi gembul anak perempuan itu. "Siapa namamu?"
"Elle," ucapnya memamerkan sebagian giginya yang tidak ada.
"Elle!" teriak seorang pria mendekat kea rah mereka. Sophia mengisyaratkan pada Martin dan Simon untuk tetap di tempat mereka.
"Berkali-kali Papa bilang jangan berlarian sembarangan."
"Dia seperti ibu," ucapnya menunjuk Sophia yang tersenyum kaku.
"Hallo, aku Sophia," ucapnya memperkenalkan diri.
"Christoper, kau bisa memanggilku Chris. Maaf atas tindakan anakku ini."
Sophia mengangkat tangannya membuat gerakan di udara. "Tidak, tidak apa."
"Apa kau sedang hamil?"
Sophia mengangguk sambil tersenyum melihat Elle yang nampak ingin mengentuhnya. "Kau ingin memegangnya?"
Elle mengangguk lalu menyentuh perut Sophia, dia tertawa saat merasakan tendangan dari dalam sana.
"Sophie."
Sophia membalikan badannya melihat ke asal suara. "Aku harus pergi," ucapnya pada kedua orang itu. "Selamat tinggal."
Sophia mendekat ke arah Rose yang memegang sebuah kotak. "Apa itu, Mom?"
"Hadiah untuk Edmund, jam tangan, apa yang akan kau berikan padanya?"
Sophia mengangkat bahunya, dia tidak tahu apa yang harus diberikannya pada pria itu. Sophia tahu Edmund sudah memiliki semuanya, dia juga takut jika barang yang dia pilih tidak akan disukainya. Hingga tatapan Sophia terpaku pada tali warna-warni yang ada di sebuah toko aksesoris. "Aku akan memberinya ini, Mommy."
"Tali?"
Sophia tersenyum. "Membuatkannya gelang," ucapnya tersenyum manis.
***
Malam itu di apartemen Edmund penuh dengan teman-teman dan kejutan yang telah Sophia siapkan. Sergío juga datang dengan kunci supercar di tangannya. Dia sengaja memberikan pekerjaan pada anaknya di hari minggu ini hingga Edmund pulang ke apartemen tepat tengah malam.
Saat pukul 11.30 malam, semuanya sudah siap-siap dengan posisi masing-masing. Nicholas yang memberitahukan Sergío bahwa pekerjaan Edmund selesai membuat para penanti di apartemen itu senang. Beberapa teman Edmund sengaja datang untuk meminta makan gratis pada bos besar itu.
Namun, waktu terus berlalu dan tidak ada tanda-tanda Edmund akan pulang. Ketika Sergío menghubungi Nicholas, pria tua itu berkata kalau Edmund mengendarai mobilnya seorang diri. Hal yang membuat Sophia khawatir, apalagi ketika nomor Edmund tidak aktif. Dan waktu terus berputar hingga menunjukan pukul 1 dini hari.
"Sophia," ucap Rose menyentuh bahu menantunya.
"Pulanglah, Mom, aku akan menunggunya."
"Aku harus kembali, Sophia," ucap salah satu teman Edmund yang berkulit hitam, dia menguap begitu lebar. "Aku harus bekerja besok," lanjutnya disetujui oleh yang lain.
"Pulanglah kalian, maaf kejutannya gagal, aku akan mengundang kalian jika mengadakan pesta."
"Itu harus," ucap wanita berambut pendek sambil melangkah keluar bersama yang lainnya. Mereka semua menyimpan kado yang mereka bawa di meja.
"Kalian juga pulanglah," ucapnya pada Rose dan Sergío.
"Hubungi Mom jika dia sudah pulang."
Sophia mengangguk menatap kepergian Rose. "Apa perlu aku memanggilkan polisi untuk mencarinya?"
Sophia tertawa. "Pulanglah, Daddy."
Dan kini apartemen benar-benar sepi, hanya dirinya, Lucy dan dua bodyguard yang masih menunggu kepulangan tuannya bersama sang nyonya. Sophia mengusap wajahnya, tidak biasanya Edmund mematikan ponselnya, tidak biasanya dia pulang selarut ini. Pria itu bahkan belum memberinya kabar semenjak keluar dari apartemen. Ada sesuatu yang tidak beres, Sophia tahu itu.
"Sebaiknya anda istirahat, Señora," ucap Lucy mendekati Sophia yang sedang mencoba menghubungi Edmund.
"Tidak apa, aku akan menunggunya."
Sophia benar-benar melakukannya, perempuan itu terjaga sepanjang malam. Hingga akhirnya mata itu tidak dapat menahan godaan untuk memasuki alam mimpi, dia tertidur selama beberapa jam di sofa yang penuh dengan balon.
Lucy terkejut melihat majikannya masih berada di tempat yang sama, yang membuatnya khawatir, perempuan itu tidak memakai selimut untuk menutupi tubuhnya yang dibalut gaun pendek. Dengan segera dia membangunkannya.
"Señora, Señora, bangun."
Tubuhnya bergerak pelan bersamaan dengan matanya yang terbuka. "Apa Edmund sudah pulang?"
Hal pertama yang ada dalam pikiran Sophia adalah suaminya. Namun, gelengan kepala Lucy membuatnya kembali bersedih. "Belum, Señora."
"Baiklah, bisa kau bawakan semua hadiah ini ke kamar?"
Lucy mengangguk. "Bagaimana dengan sarapannya, Señora?"
"Bawakan itu juga ke kamar," jawab Sophia sambil melangkah, tapi tertahan sesaaat ketika mengingat sesuatu. Sophia melangkah menuju Simon yang sedang menelpon.
"Anda perlu sesuatu, Señora?" pria itu memutuskan telponnya lalu menghadap Sophia.
"Apa kau mendengar kabar dari Edmund?"
Simon menggeleng.
"Hubungi Nicholas atau siapa pun itu. Dan, bisa kau meminta Martin untuk mencarinya?"
"Dia sudah pergi satu jam yang lalu, Señora."
Sophia tersenyum senang, kedua bodyguard nya sangatlah pengertian. Mereka mencari Edmund tanpa Sophia minta.
"Kau mau kemana, Darla?" Dia mendekat pada wanita yang kini memakai pakaian rapi.
"Saya akan ke rumah sakit untuk mengambil beberapa obat, Señora. Tapi sebelum itu saya ingin memeriksa anda terlebih dahulu."
Sophia terkekeh. "Pergilah, aku baik-baik saja," ucapnya menaiki tangga. "Kenapa kau tidak pergi?"
Darla yang membuka kembali jaketnya dan menatap Sophia yang berhenti melangkah. "Saya akan pergi setelah memriksa anda, Señora."
"Kau bisa memeriksaku nanti, Darla," ucapnya sambil kembali melangkah. Sophia perlu beristirahat, menyiapkan energinya untuk mewawancarai Edmund saat dia pulang.
Sophia menghela napasnya melihat hadiah yang sudah tertata rapi di meja, salah satunya kotak kecil berwarna hitam yang merupakan hadiah darinya. Sophia benar-benar khawatir dengan pria itu, dia mengusap tempat tidur yang biasa ditiduri suaminya. Rasanya hampa tidak mendapat pelukan dari pria itu, rasanya aneh tidak ada Edmund yang selalu mengganggunya di setiap pagi. Bagaimana pria itu menggodanya dengan mengatainya gendut, Sophia benar-benar merindukannya. Tuhan, ini baru satu malam dan Sophia sangat mengkhawatirkannya. Dia takut sesuatu terjadi pada pria yang dicintainya.
Namun, rasa khawatir itu tidak bertahan lama. Saat pintu kamar terbuka dan seorang pria masuk ke dalamnya, Sophia tersenyum lebar.
"Edmund!" Dia melangkah mendekat dan memeluk pria itu erat. "Kau tahu aku sangat mengkhawatirkanmu? Apa yang terjadi?"
Edmund memalingkan wajahnya saat perempuan itu merangkup pipinya, dia melepaskan tangan Sophia dan melangkah begitu saja menuju walk in closet.
Sophia mengerutkan keningnya heran. "Ada apa, Ed? Apa terjadi sesuatu?" Dia menyentuh bahu pria itu dari belakang.
Sophia terkejut saat melihat Edmund membalikan tubuhnya dengan tatapan tajam, dia tahu pria itu sedang marah, tapi Sophia tidak tahu apa yang membuat suaminya marah. "Apa yang terjadi?"
Edmund kembali melepaskan tangan Sophia yang merangkup pipinya. "Apa yang kau lakukan kemarin?"
"kemarin ak-"
"Apa kau berselingkuh di belakangku?"
Sophia mengerutkan keningnya sebelum dia tertawa kecil. "Apa yang sedang kau bicarakan?"
"Apa ini?" Edmund mengeluarkan sebuah foto. Di mana di dalam foto itu terlihat Sophia yang sedang tersenyum saat seorang anak memegang perutnya. dan di samping anak itu terdapat seorang pria yang merupakan ayahnya.
Mulut Sophia membentuk huruf O, itu Christoper dan anaknya.
"It-"
"Apa kau diam-diam berselingkuh di belakangku?"
"Dengarkan penjelasanku," ucap Sophia penuh penekanan saat Edmund tidak memberinya kesempatan bicara.
"Sekarang aku mengerti."
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak mencintaku."
Sophia menggeleng. "Aku mencintaimu, Ed."
Edmund memundurkan langkah saat Sophia hendak menyentuhnya. "Cukup, Sophie, jangan ucapkan cinta."
Mata Sophia berair, dia meneteskan air matanya bersamaan dengan rasa pusing yang menyerangnya. Dia tidak dapat mendengar apa yang Edmund katakan, semuanya terasa sunyi hingga akhirnya kegelapan membawanya ke dalam dunia yang menenangkan.
"Sophie, Sophie." Edmund menepuk-nepuk pipi istrinya dengan panic, dia membawanya ke atas ranjang sambil berteriak memanggil Darla.
"Tuan?"
"Periksa dia," ucap Edmund begitu Darla masuk ke dalam kamar. Mata yang awalnya dipenuhi oleh amarah kini berubah menjadi penyesalan. Sungguh, dia tidak ingin hal ini terjadi. Edmund mengenggam tangan itu lalu menempelkannya pada pipinya sendiri.
"Maafkan aku," gumam Edmund menatap mata yang kini telah terpejam. Dia menyesal membiarkan amarah itu mengambil alih dirinya, sungguh dia hanya takut rasa cinta itu kembali menyakitinya, dia takut jika Sophia akan meninggalkannya bersama pria lain. Edmund takut dia menerima kenyataan bahwa dia memiliki rasa lebih dari saying pada istrinya.
"Apakah ini serius? Dia perlu ke rumah sakit?"
Darla menggeleng. "Dia hanya kelelahan, Tuan, tekanan darahnya rendah," gumamnya menyelimuti Sophia.
"Tidak ada demam? Atau apa pun itu yang mengkhawatirkan."
"Nyonya baik-baik saja, Tuan, dia butuh istirahat karena kurang tidur," ucap Darla menyuntik pergelangan tangan Sophia untuk memasukan selang infuse ke dalam sana.
Suara pintu kamar yang diketuk mengalihkan perhatian Edmund, di sana dia melihat Nicholas yang membawa sebuah map cokelat.
"Aku tidak ingin ada pekerjaan hari ini, Nich."
"Ini dari Nona Sara, Tuan," ucapnya dengan pelan.
Edmund mengisyaratkan Darla untuk keluar setelah dia selesai, saat pintu tertutup Edmund menatap Nicholas dengan kening berkerut. "Apa ini?"
"Saya belum membukanya."
"Bagaimana kau bisa bertemu dengannya?"
"Nona Sara datang ke rumah saya dan meminta saya memberikan ini pada anda, Tuan."
Edmund memijat pelipisnya. Berulang kali Sara meminta bertemu, tapi Edmund tidak menjawab pesan ataupun mengangkat lagi telponnya setelah malam itu. Bahkan, dia memblokir nomor Sara agar tidak menganggunya. Cukup, dia tidak ingin ada masalah di dalam rumah tangganya bersama Sophia. Tidak boleh ada yang masuk ke dalam pernikahan mereka, baik Sara atau pun pria lain.
"Ini alamat hotel," ucap Edmund. "Dan dia mengancamku akan datang kemari jika tidak menemuinya."
"Sebaiknya anda selesaikan masalah anda satu per satu, Tuan."
Edmund menatap Sophia yang terbaring lemah di sana. "Siapkan mobil."
---
Ig : @alzena2108
❤