Chereads / Oh Baby (Romance) / Chapter 57 - Bab 57

Chapter 57 - Bab 57

Vote sebelum membaca😘😘

.

.

Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.

Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.

Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan rambut Aurin hingga wanita itu perlahan menegakan kepalanya dan melihat siapa yang mengelusnya.

"Kita makan, ya?" Bujuk Allarick menggenggam tangan Aurin yang sudah dingin sejak hari itu.

Aurin menggeleng. "Ak.. aku tidak mau." Dia beringsut mundur menjauhi Allarick.

"Kalau kau tidak mau makan tidak apa, tapi pikirkan bayimu," ucap Allarick berhasil membuat Aurin berhenti menangis dan menatap mata hitam itu. Pria itu akhirnya bisa menghela napas lega saat Aurin bersedia makan. Dia menuntunnya untuk duduk di sofa dan membiarkannya menyuapi wanita itu.

"Kenapa kau melakukan ini?"

"Apa maksudmu?"

Aurin menolak saat Allarick hendak menyuapinya lagi, dia memilih untuk makan sendiri. Namun, Allarick mengangkat sendok itu dan menatap Aurin seakan memintanya untuk diam.

"Kenapa kau begitu baik padaku? Kau bahkan menampungku," ucap Aurin menundukan pandangannya.

"Rumah ini kosong, jadi tidak ada salahnya jika aku memintamu menempatinya."

Aurin melihat ke sekeliling, dia memang berada di sebuah rumah yang ada di pinggir danau. Rumah ini jauh dari keramaian, Allarick bilang ini milik pamannya yang sudah meninggal dan tidak ditempati siapa pun. Aurin yang tidak memiliki tempat tinggal akhirnya menerima tawarannya dan tinggal di sini. Namun, sejak kematian Jaden satu minggu yang lalu, Allarick selalu berada di sampingnya. Pria itu seakan takut dirinya melakukan hal gila hingga harus menjaganya dan rela mengambil cuti dari rumah sakit.

"Apa kau menyukaiku?"

"Apa?"

Aurin mengusap sisa-sisa air matanya. "Kau membiarkanku tinggal di sini, kemari setiap malam dan cuti selama satu minggu untuk membujukku makan setiap harinya."

Allarick terkekeh. "Apa kau belum pernah menerima kebaikan dari orang lain?"

"Tidak, tidak yang seperti ini," ucapnya sambil menggeleng saat Allarick hendak menyuapinya lagi. "Aku kenyang."

"Minumlah.' Allarick menyodorkan susu hamil yang membuat Aurin terkekeh pelan, pria dihadapannya ini bersikap seolah dia adalah suaminya.

"Apa yang kau rencanakan sebenarnya? Aku tahu ada sesuatu di balik kebaikanmu?"

"Apa kau selalu securiga itu?" Allarick memandang Aurin yang mengangkat bahunya, akhirnya setelah sekiann lama, mereka bisa berkomunikasi seperti ini. Awalnya Aurin selalu menghindar, dia tidak ingin berada di dekat seorang pria.

"Ya, aku curiga pada setiap pria yang baik."

"Kenapa begitu?"

Aurin membuang pandangannya keluar jendela. "Mereka selalu merencanakan sesuatu yang menyakitkan."

"Bagaimana jika aku menyiapkan sesuatu yang menyenangkan?"

Aurin menggeleng. "Aku tidak mengerti," ucapnya memandang pria yang duduk dihadapannya. Aurin segera mengalihkan pandangannya saat Allarick mendekatkan wajahnya, pria itu seakan ingin menciumnya.

"Aku akan pergi dari sini besok."

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak ingin merepotkan pria asing," ucapnya sambil menunduk. "Terima ksih untuk semuanya."

"Kemana kau akan pergi? Aku sudah katakana rumah ini kosong."

"Tapi aku tidak suka beberapa tetangga di sini memandangku seakan aku adalah wanita simpanan," ucapnya diakhiri kekehan.

"Kalau begitu kita buktikan kalaun itu salah."

"Apa?"

"Kita akan menikah," ucap Allarick menatap serious wanita yang ada dihadapannya.

"Jika kau sedang bercanda maka itu tidak lucu sama sekali."

"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?"

Aurin memandang wajah pria dihadapannya, tatapannya begitu serius dan menyatakan kalau dirinya tidaklah main-main.

"Kalau kau ingin menikahiku karena rasa kasihan, maka tidak perlu kau lakukan."

"Aku ingin menikahimu karena aku menyukaimu."

Aurin tertawa tidak percaya. "Pria mana yang menyukai wanita yang sedang mengandung anak pria lain?"

"Aku orangnya," ucap Allarick menarik tengkuk Aurin dan memberinya ciuman yang begitu lembut dan memabukan.

***

"Apa ini?"

Kening Sophia berkerut menerima sebuah undangan yang diberikan Edmund, dia membalikan badannya menatap suaminya yang sedang membuka jas. "Siapa yang menikah?"

"Buka saja," ucap Edmund mengganti pakaiannya dengan kaos lalu mendekati istrinya yang sedang duduk di sofa, dia mengecup bahu telanjang Sophia.

"Mandilah, kau bau."

Edmund terkekeh. "Kau menyukai bau ini."

Sophia tidak mempedulikan Edmund, dia membuka undangan pernikahan itu. Matanya membulat saat melihat nama yang terukir oleh tinta berwarna emas di atas kertas hitam itu. "Aurin dan Allarick?"

Edmund mengangguk. "Hebat bukan? Mereka menikah."

Dia membalikan badannya sekatika. "Apa ini lelucon?"

"Kenapa aku harus memasukan nama Aurin ke dalam lelucon kita?"

Sophia tertawa tidak percaya, lalu kembali membaca surat undangan itu. Hari pernikahannya adalah minggu nanti. Berulang kali dia membacanya, dan itu tidak ada yang salah.

"Allarick adalah dokter yang menangani nenekku."

Edmund mencium kembali bahu Sophia. "Aku tahu."

"Apa kau tahu bagaimana mereka mulai berhubungan?"

Edmund mengangkat bahunya, dia melangkah mendekati ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana. Matanya menatap langit-langit sambil memijat kepalanya yang terasa pusing. Edmund tersenyum saat merasakan sebuah tangan ikut mengusap kepalanya dan memberikan pijatan yang membuatnya ingin memejamkan mata lebih rapat.

"Kau harus mandi, Ed."

"Nanti," ucapnya menahan tangan Sophia agar tetap memijat kepalanya.

Sophia menatap suaminya yang nampak sangat menikmati pijatannya. Dia kini mulai merasakan hubungan suami istri yang sebenarnya, Sophia tidak malu-malu lagi pada Edmund, apa pun yang dia inginkan selalu dia utarakan. Bahkan Sophia terkadang mengecek ponsel Edmund, memastikan tidak ada nama wanita dijajaran pesan masuk atau pun pesan terkirim.

"Apa kau dan Sara benar-benar sudah berakhir?"

Edmund mengangguk. "Ya, semuanya sudah berakhir."

"Apa kau tahu alasannya pergi meninggalkanmu?"

Edmund membuka matanya dan melepaskan tangan Sophia yang sedang memijatnya, dia mendudukan dirinya diikuti Sophia yang memeluknya dari samping. "Aku tidak ingin mengetahuinya."

"Kenapa begitu?"

Keterdiaman Edmund menjelaskan semuanya, Sophia melepaskan pelukan itu. Tangannya ditahan oleh Edmund saat dia hendak melangkah menjauh, dia cukup mengerti kenapa Edmund tidak ingin mendengar alasan Sara, dia tahu pria itu takut akan kembali pada wanita itu setelah mendengar semuanya.

"Apa kau mencintainya, Edmund?"

"Kau tahu bagaiamana perasaanku, Sophie, kumohon jangan bahas ini lagi," ucapnya mengelus pipi istrinya.

"Kau berjanji tidak akan meninggalkanku."

Edmund memngangguk dan segera menghapus air mata yang jatuh pada pipi istrinya, dia segera menarik Sophia ke dalam pelukannya. "Aku tidak akan meninggalkanmu."

Sophia menenggelamkan wajahnya di dada Edmund, dia tidak ingin pria itu kembali pada Sara dan meningglkannya. Karena Edmun adalah segalanya, dia yang pertama untuk Sophia, dia terlalu nyaman dengannya hingga tidak mampu menjauh darinya.

"Aku mencintaimu, Ed."

"Aku tahu."

***

Sophia dan Edmund memasuki gereja tempat Aurin dan Allarick akan menikah. Mereka duduk di jajaran bangku pertama, bersama dengan para keluarga Huntington, mereka adalah keluarga Allarick. Sophia tersenyum kecil melihat Allarick yang terlihat tampan dibalut tuxedo, pria itu berdiri dengan gagahnya di atas altar menanti sang mempelai wanita. Dibelakang Allarick ada Gunner, pria itu menatapnya sambil tersenyum pada Sophia.

Menyadari istrinya sedang bertatapan dengan pria lain, Edmund berdehem. "Kau tidak akan lari memeluknya kan?"

Sophia tertawa. "Kenapa aku harus melakukan itu?"

"Ingat saat kau tidak ingin aku mendekat dan hanya ingin Gunner yang ada di sampingmu?"

Sophia menatap Edmund yang menatap lurus ke depan, dia menggenggam tangan suaminya. "Kau tahu itu adalah kesalahan," ucapnya memaksa Edmund menatapnya lewat genggaman tangan. "Kau ingat apa kata psikolog itu?"

Edmund mengangguk. "Maaf, aku hanya tidak suka dia menatapmu seperti itu," ucapnya memalingkan wajahnya kembali.

"Kalau kau tidak suka, kita bisa pergi dari sini."

"Dan membuatmu kehilangan momen ini? Tidak, kau yang bilang ingin bicara dengan Aurin."

Sophia mengangguk. "Maka berhentilah marah," ucapnya mengecup pipi Edmund hingga senyuman kembali menghiasi wajahnya, pria itu membalas genggaman tangan Sophia lalu mengecupnya dengan penuh kelembutan.

Lalu pandangan mereka beralih pada mempelai wanita yang masuk dan melangkah menuju altar, mata Sophia tidak bisa berpaling dari Aurin yang begitu cantik dibalut oleh gaun berwarna merah dengan rambut yang dibiarkan digerai. Dibelakang wanita itu terdapat dua brides maid yang mengikuti langkahn Aurin dan bertugas memastikannya sampai di altar dengan selamat.

Hingga senyuman Sophia memudar saat melihat salah satu brides maid, dia mengenal wajah cantik itu. Tangannya gementar, Sophia menggoyangkan tubuh Edmund saat pria itu sedang mengirim pesan pada seseorang.

"Ada apa, Sophie?"

"Itu Sara 'kan?"

Edmund mengikuti arah pandang Sophia, rasa terkejut juga tidak bisa pria itu sembunyikan. Mata Edmund terus menatap Sara yang tersenyum manis mengantarkan Aurin ke altar, dan setelahnya dua brides maid itu duduk di bangku jajaran pertama yang bersebrangan dengan Sophia.

Merasakan genggaman tangannya semakin kuat, Edmund menatap istrinya. "Sophie."

"Aku ingin pulang," ucapnya dengan mata yang mulai merah.

Astaga, Edmund tahu ini. Dalam satu kedipan saja air mata Sophia bisa meluncur dan membasahi pipinya. Dia tahu bagaimana cengengnya wanita yang ada di sampingnya ini saat membahas sesuatu tentang masa lalu Edmund.

"Kau datang untuk bertemu Aurin," ucapnya mengingatkan. Edmund tahu bagaimana memaksanya Sophia agar mereka datang ke pesta ini dan meninggalkan jadwal berlibur mereka.

Mengingat kembali niat awalnya, Sophia memutuskan diam. Namun, dia diam dalam arti sebenarnya, Sophia tidak mendengarkan ucapan pendeta, bahkan dia tidak bertepuk tangan ketika kedua mempelai itu saling bertukar cincin dan berciuman. Sophia hanyan bisa membayangkan bagaimana jika Sara mendekat lalu bicara pada Edmund hingga membuat pria itu kembali padanya. Dia yang terlarut dalam lamunannyan itu tidak menyadari Edmund yang sesekali menatap Sara yang terus tersenyum menatap kedua mempelai di hadapannya.

Sophia kembali tersadar saat dia mendengar suara ricuh, dia mengalkihkan pandangannya pada asal suara. Matanya membulat saat melihat Sara yang pingsan dengan tubuhnya yang kejang. Sophia semakin terkejut saat Edmund melewatinya begitu saja, pria itu melangkah mendekat dan berlutut sambil mencoba membangunkan Sara.

Melihat hal itu, dada Sophia terasa sakit, dia berdiri di belakang Edmund yang terus berusaha membangunkan wanita yang ada dihadapannya.

"Sara, bangun, Sara." Edmund menepuk nepuk wanita yang pingsan dengan wajah pucat. "Hei, Sara, bangunlah!"

Sophia menatap nanar pemandangan di depannya. Allarick ikut berjongkok didekat Edmund dan memeriksanya. "Dia harus dibawa ke rumah sakit," ucapnya menatap orang-orang disekitarnya.

"Seseorang harus membawanya pergi!" teriak Allarick sambil melihat kesemua orang.

"Biar aku," ucap Edmund menggendong Sara dan melangkah keluar dari gereja, pria itu melangkah tanpa rasa bersalah, dia meninggalkan Sophia yang masih menatapnya dengan mata yang berair.

Sophia melihat tubuh kekar yang dibalut jas itu mulai menghilang di balik pintu gereja. Hatinya Sophia terasa sakit melihat hal itu, dia memegang dadanya dan tanpa dia sadari satu air mata jatuh.

Tiba-tiba seseorang menariknya agar kembali duduk dan tidak menjadi pusat perhatian. Sophia menatap seseorang di sampingnya dengan mata yang masih berair, bangku itu seharusnya ditempati oleh Edmund.

"Gunner?"

"Merindukanku, Cantik?"

Jari-jari Gunner menghapus air mata Sophia yang berada di pipinya. Bukannya berhenti, air mata Sophia malah semakin deras. Dia menggelengkan kepalanya saat Gunner hendak memeluknya, Sophia tersenyum kecil seolah memberitahu bahwa dia baik-baik saja.

"Menangislah, tapi jangan membuat suara, semua orang akan merasa aneh."

Sophia yang tidak bisa menahan kesedihan itu akhirnya menangis, dia membiarkan Gunner merangkul bahunya.

"Aku akan selalu jadi pelindungmu. Akulah orangnya," ucap Gunner mengelus punggung wanita yang dicintainya itu. "Apa kau ingin pulang?"

Sophia menggeleng. "Aku ingin di sini."

Sophia berhenti menangis saat menyadari orang-orang mulai berdiri untuk melanjtkan pesta di halaman belakang geraja. Dia mengusap air matanya dan tersenyum manis saat Aurin dan Allarick mendekat.

"Selamat untu kalian," ucapnya memeluk Aurin dan memberikan jabatan tangan pada Allarick.

"Aku minta maaf untuk apa yang aku la-"

"Hentikan, jangan mengungkitnya lagi, ini hari bahagiamu," ucap Sophia tersenyum, dia menyembunyikan wajah sedihnya dengan sangat baik.

"Edmund, dia…." Aurin menggantungkan ucapannya menunggu respon dari Sophia. Dia melihat dengan benar kejadian itu, suami sahabatnya menggendong mantan pacarnya dan meninggalkan istrinya yang sedang mengandung di pesta pernikahan temannya.

"Bagaimana Sara bisa menjadi brides maid?" Sophia tidak bisa menahan keingintahuannya. Niatnya yang ingin bicara dengan Aurin tentang Jaden kini berubah.

"Ibuku seorang agen model, Sara butuh uang, jadi dia menyuruh Sara menjadi brides maid," ucap Allarick menjelaskan.

"Dia butuh uang untuk apa?" Aurin yang baru mengetahui hal itu menatap suaminya dengan kening berkerut. Awalnya dia pikir Sara menjadi brides maid karena dia teman dekat ibu mertuanya, tapi nyatanya wanita itu butuh uang.

"Untuk biaya pengobatannya."

"Apa penyakit yang dia derita?" Sophia bertanya dengan bibir bergetar.

Gunner dan Allarick saling menatap. Gunner mengangguk mengisyaratkan agar memberitahu dua wanita yang ada di hadapan mereka.

"Kanker otak."

----

Ig : @alzena2108