Vote sebelum membaca😘😘
.
.
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.
Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.
Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia.
"Katakan apa yang ingin kau katakan."
Sara tersenyum miris, ini pertama kalinya Edmund berkata begitu dingin padanya. Sebesar apa pun Edmund marah padanya dulu, dia tidak pernah memberikan tatapan itu.
"A... aku ingin minta maaf karena meninggalkanmu seperti itu, Edmund," ucap Sara dengan bibir bergetar.
"Itu sudah berlalu, tidak apa. Berhenti menghubungiku mulai sekarang."
Edmund melangkah mundur saat Sara hendak menyentuhnya. Wanita itu tersenyum pedih. "Aku hanya menghubungimu untuk meminta maaf, Ed," ucapnya penuh penyesalan.
"Kau sudah melakukannya, dan aku memafkanmu. Jangan hubungi aku lagi apa pun yang terjadi, aku sudah berkeluarga."
Kalimat itu bagaikan tamparan untuk Sara, rasanya begitu sakit sampai matanya mulai berair. "Aku tahu," ucapnya dengan lemah.
"Baguslah, berarti kau tahu wanita yang menghubungi suami orang lain untuk menemuinya bukan hal yang bagus."
Saran menganggukan kepala dengan mata terpejam, bersamaan dengan itu air matanya jatuh. "Kau membenciku."
"Aku mencoba menghilangkan rasa itu."
Sara terkekeh, dia mencoba memegang tangan Edmund, tapi pria itu kembali menjauhkan tangannya dengan mundur secara perlahan. "Apa kau benar-benar ingin kita saling menjauh?"
"Akan lebih baik jika kita seperti ini. Bersikaplah seolah tidak saling mengenal, itu akan membuat kita lebih baik. Istriku seorang yang sensitif, apalagi tentang masa lalu."
Sara memaksakan senyumannya, mendengar Edmund membicarakan wanita lain yang menjadi istrinya membuat tangannya mengepal tidak terima. Seharusnya posisi itu miliknya, seharusnya Edmund menunggunya.
"Apa kau ingin tahu alasan aku pergi?"
Edmund menggeleng. "Tidak, jangan lakulan itu," ucap Edmund hendak melanglah keluar, tapi Sara menahan tangannya.
"Kau harus mendengarkanku, Ed, dengarkan alasanku pergi."
"Tidak!" Edmund menghentakan tangan sara, dia terdiam sesaat ketika melihat mata wanita itu mengeluarkan air mata. "Aku tidak ingin mendengarnya, Sara, jika aku melakukan itu aku takut akan merusak pernikahanku bersama Sophia."
"Lalu kenapa kau kemari? Kau ingin mengetahui alasanku 'kan?"
"Aku kemari hanya untuk memberitahumu untuk jangan menghubungiku lagi, aku takut kau yang tidak lebih dari masa laluku menjadi alasan pertengkaran kami," ucap Edmund keluar dari kamar hotel itu. Dia menatap jam tangannya yang masih menunjukan pukul 8 pagi.
Edmund mengendarai mobil dengan cepat, dia khawatir istrinya itu sudah sadar lebih dulu dengan dirinya yang tidak ada di sampingnya. Dia kembali mengingat kejadian malam tadi, di saat dirinya menerima foto dari seseorang tanpa nama. Itu foto Sophia bersama seorang pria dan anaknya, dan hal yang membuat Edmund marah ketika tangan anak kecil itu memegang perut Sophia dengan senyuman menghiasi ketiganya.
Edmund dipenuhi amarah, apalagi saat Martin membenarkan hal tersebut. Tanpa mendengar lagi penjelasan dari bodyguardnya, Edmund memutuskan sambungan hingga dirinya tidak tahu kalau alasan Sophia ke mall untuk menemui Rose, bukan jalan-jalan seorang diri. Jika saja Nicholas tidak menjelaskannya, mungkin dia masih buta dengan amarah hingga sekarang. Bodohnya Edmund, dia tidak menyadari banyak balon di apartemen untuk dirinya.
Dia merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya dia buta dengan amarah hanya karena foto yang dikirimkan orang tidak dikenal. Edmund sungguh menyesal.
"Apa Sophia sudah bangun?"
Darla yang sedang membantu Lucy memasak bubur itu menggeleng. "Belum, Señor."
Edmund segera naik ke lantai dua dan memasuki kamarnya. Berbeda dengan ucapan Darla, Sophia sudah terbangun saat Edmund masuk. Perempuan itu mengucek matanya sambil berusaha mendudukan dirinya. Edmund segera mendekat membantu istrinya yang kini sudah tidak terpasang lagi selang infuse.
"Apa kau baik-baik saja?"
Sophia melepaskan tangan yang memijat kepalanya lalu menatap Edmund dengan mata yang berair.
"Maafkan aku," ucap Edmund menarik Sophia ke dalam pelukannya sebelum buliran air mata itu jatuh.
"Aku tidak mengenal pria itu, Ed. Aku datang ke pusat perbelanjaan untuk membelikanmu hadiah," ucap Sohia tersedu-sedu. Edmund mengelus kepalanya pelan dan menghirup aroma yang selalu membuatnya tenang akhir-akhir ini.
Dia melepaskan pelukannya lalu merangkup wajah istrinya. "Seseorang mengirimkan foto itu setelah aku selesai dengan pekerjaanku, Sophie. Aku marah, rasanya ada api yang bergemul di dada melihat kau tersenyum pada pria lain. Aku tidak mendengar penjelasanmu karena buta dengan amarah. Maafkan aku," ucapnya menatap mata hijau yang mulai berhenti menitikan air matanya itu.
Sophia mengangguk. "Jangan mengulanginya lagi," ucapnya dibalas senyuman suaminya. Pria itu kembali menariknya ke dalam pelukan.
"Jangan membentakku lagi."
Edmund mengangguk dalam pelukan.
"Lain kali dengarkan penjelasannya."
Edmund kembali mengangguk. Perlahan Sophia melepaskan pelukan mereka dan menatap Edmund sambil tersenyum kecil. "Happy birthday."
Edmund tertawa, mengecup kening istrinya dengan lembut. Sophia memejamkan mata merasakan belaian Edmund pada pipinya. "Kau cemburu saat melihat foto itu?"
"Lebih dari itu, aku sangat marah melihatmu tersenyum. Kalian nampak seperti keluarga kecil dalam foto itu, apalagi kau sedikit mirip dengan anak perempuannya."
"Edmund!" Teriak Sophia tidak suka.
"Aku berkata sejujurnya, Sophie."
Perempuan itu mengerucutkan bibirnya kesal.
"Aku tidak tahu, dia berdetak begitu kencang saat melihatmu dengan orang lain. Kepalaku pening sampai aku lupa bahwa aku menantikan hari ulang tahunku," ucapnya disertai kekehan. "Bisa kau rasakan itu, Sophia?"
Dia meletakan tangan istrinya tepat di jantungnya yang berdetak begitu kuat. Sophia terdiam merasakan detak itu di setiap detiknya. Sophia tersenyum kecil, matanya mulai terpejam saat Edmund menciumnya.
"Kau memaafkanku bukan?"
"Sebenarnya hanya sebagian, aku tidak memaafkanmu sepenuhnya," ucap Sophia merebahkan dirinya di atas ranjang sebelum Edmund kembali menciumnya. Perempuan itu tertawa melihat raut wajah kecewa suaminya.
"Kau bilang memaafkanku."
"Hanya sebagian, tidak sepenuhnya," ucap Sophia menahan Edmund yang hendak menciumnya lagi.
"Baiklah, apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku?"
Sophia berpikir sesaat dengan wajahnya yang dihiasi senyum menggelikan, dia sangat suka melihat wajah Edmund yang nampak merajuk seperti ini.
"Biarkan aku tidur dengan tenang selama satu minggu."
Edmund menatap istrinya tidak percaya, dia mengguyar rambutnya mengerti dengan apa yang dimaksud istrinya itu. "Kau bercanda."
"Aku harap begitu," ucap Sophia diakhiri tawa saat Edmund menggelitiknya. Mereka terlalu senang dengan dunia mereka hingga tidak menyadari Lucy berbalik dengan sarapan yang ada di nampan, dia tidak ingin menganggu kebersamaan majikannya itu.
***
Rose menggerutu kesal saat seorang pelayan membangunkannya dengan alasan ada tamu yang ingin bertemu dengannya. Dia memakai jubah tidurnya dengan segera dan turun kr bawah.
"Sara?" Rose mencoba memastikan pandangannya, wanita yang sedang duduk di sofa itu adalah wanita yang dikenalnya selama bertahun-tahun.
"Mommy!" Sara berlari dan langsung memeluk Rose dengan erat. Rose membalas pelukan wanita itu lalu kembali duduk di sofa.
"Bagaimana kabarmu, Mommy?"
Rose menganggukan kepalanya. "Aku baik, seperti sebelumnya. Bagaimana denganmu?"
"Tidak cukup baik."
Rose tersenyum kecil. "Kemana saja kau selama ini, Sara? Kau tahu pernikahan tinggal sebentar lagi dan kau meninggalkan Edmund begitu saja?"
Sara menundukan kepalanya dengan mata berair. "Itu sebabnya aku kemari, Mommy, aku ingin memberikan penjelasan pada Edmund. Aku ingin memberitahu dia segalanya, Mommy."
"Kau belum bertemu dengannya?"
"Aku bertemu dengannya tadi pagi, tapi dia pergi sebelum aku menjelaskan semuanya," ucap Sara mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipinya. "Dia bilang dia sudah berkeluarga dan tidak ingin kehadiranku menghancurkan pernikahannya."
Rose tersenyum, anaknya melakukan hal yang benar. Sebelumnya dia takut kalau Edmund mengkhianati Sophia yang jelas-jelas sedang mengandung anaknya. "Dia memang benar, aku juga tidak ingin kau menjadi alasan pertengkaran Edmund dan Sophia."
"Tapi… tapi…." Sara memejamkan matanya tidak menerima keadaan ini. "Tolong bantu aku bertemu dengannya lagi, Mommy. Aku ingin bicara dengannya, menjelaskan semuanya."
"Edmund sudah memutuskan, Sara. Kau wanita yang baik, kau pasti mengerti."
"Aku mencintainya, begitupun dengan dia. Pernikahan Edmund tidak akan berlangsung lama jika mereka tidak saling mencintai. Hanya aku yang Edmund cintai."
Rose mulai tidak suka dengan percakapan ini, dia menegakan badannya mencoba menahan amarah. Sara tidak pantas bicara seperti itu, seharusnya dia sadar Edmund menikahi Sophia karena kepergiannya. Dan Rose tidak ingin cucunya tidak memiliki orangtua yang utuh nantinya.
"sebaiknya kau pulang, Sara. Ini sudah larit malam, tidak ada yang bisa aku lakukan."
"Aku mohon, Mommy, bantu aku agar bersama Edmund kembali. Buat dia bercerai dengan istrinya."
Seketika Rose menampar Sara dengan kuat hingga wanita itu berpaling ke samping. Dia menghela napasnya kuat tidak percaya apa yang dilakukannya pada wanita yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
"Mommy menamparku?"
"Maffkan aku, Sara, tapi Sophia yang akan mendampingi Edmund sampai akhir hayatnya. Maaf, kau harus pergi," ucap Rose berdiri terlebih dahulu, dia meminta penjaga untuk mengantar Sara keluar dari mansion ini.
Dia menulikan pendengarannya, mengabaikan semua teriakan Sara yang memohon padanya untuk membantu. Rose lepas kendali, dia menampar Sara dengan begitu mudahnya. Padahal, Rose tahu Sara adalah wanita yang baik, tapi kini dia seolah berubah menjadi orang lain, kata-katanya sungguh tidak pantas.
"Jangan biarkan siapa pun bertamu pada malam hari," ucap Rose pada salah satu pelayannya.
"SÃ, Señora."
***
Sementara di tempat lain seorang perempuan belum memejamkan matanya, entah kenapa rasa kantuknya menghilang layaknya asap rokok di udara. Mata Sophia masih terjaga saat malam sudah larut, pria yang berstatus menjadi suaminya masih setia ikut membuka matanya menemani sang istri.
Sophia duduk menghadap jendela yang terbuka menatap bintang-bintang, dan Edmund duduk di belakangnya memeluk perut Sophia dengan kepala yang bersandar pada punggung istrinya. Sesekali Edmund menutup matanya dan kembali terjaga saat istrinya bergerak.
"Tidurlah, Ed. Aku masih belum mengantuk," ucap Sophia mengelus tangan Edmund yang melingkar di perutnya.
Edmund yang sedang terlelap langsung membuka matanya. "Tidak, aku akan menemanimu." Edmund mengakhiri kalimatnya dengan menguap lebar.
"Aku tahu kau mengantuk."
"Dan aku tahu kau perlu ditemani," ucap Edmund dibalas senyuman oleh Sophia.
Sophia melepaskan tangan Edmund yang melingkar di perutnya, dia membalikan badann menghadap suaminya.
"Matamu merah, kau ngantuk berat." Sophia mengelus alis Edmund.
Tangannya menyentuh pipi Sophia dengan pelan, dan dalam sekali tarikan dia membawa Sophia duduk di pangkuannya. Perut mereka yang bersentuhan membuat Sophia terkikik geli.
"Sophie, ada yang ingin aku tanyakan padamu," ucap Edmund sambil menyelipkan anak rambut Sophia ke belakang.
"Tanyakanlah."
"Apa.. kau mencintai Gunner?"
Sophia terkekeh. "Tidak Ed, dia sudah kuanggap sebagai kakakku."
"Tapi dia mencintaimu, Sophie."
"Dan aku mencintaimu, Edmund."
Pria itu tersenyum seketika. "Dengar Sophie, ada yang harus aku katakan padamu." Sophia menganggukan kepala siap mendenngar apa yang akan dikatakan suaminya.
"Sara kembali."
Senyuman Sophia memudar, jantungnya berpacu dengan cepat. Dia takut hal yang dia bayangkan terjadi, di mana Edmund kembali pada Sara dan meninggalkannya bersama anak mereka. Di mana Edmund tidak menginginkan anaknya, dia pergi dan menikah dengan Sara.
"La... lalu?" Nafas Sophia seakan habis saat menanyakan satu kata itu.
"Dia memintaku untuk bertemu dan, ya, aku menemuinya tadi pagi saat kau pingsan."
Sophia menundukan kepalanya menyembunyikan air mata yang akan menetes dalam satu kedipan. "K.. kau menemuinya?"
"Ya, aku menemuinya untuk mengakhiri semuanya. Aku memintanya untuk tidak menghubungiku lagi, aku sudah punya keluarga. Aku punya istri, dan sebentar lagi akan dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik," ucap Edmund menghapus air mata Sophia yang hampir jatuh.
"Kau benar-benar melakukannya?"
Edmund mengangguk. "Kau tidak mengira aku akan kembali padanya kan Sophie?"
"Kau tidak akan kembali padanya?"
"Aku mengakhiri semuanya."
"Kau yakin, Ed?"
Edmund mengangguk yakin. Lalu tiba-tiba Sophia memeluknya erat dan menangis dalam pelukan Edmund.
"Aku tidak meninggalkanmu, Sophie, kenapa kau menangis?"
"Aku hanya ingin melakukannya," ucap Sophia menyembunyikan wajahnya di dada Edmund. Pria itu tersenyum dan mengelus pelan rambut panjang istrinya.
"Ada satu lagi yang ingin aku beritahu padamu."
"Apa itu?"
"Jaden meninggal."
Sophia menjauhkan tubuhnya dari Edmund, dia menatapm pria itu tidak percaya. "Bagaimana dengan Aurin?"
"Dia bersama dr.Allarick."
Kening Sophia mengkerut. "Apa mereka dalam hubungan atau apa?"
Edmund mengangkat bahunya lalu kembali menarik istrinya agar merebah di dadanya. "Sepertinya begitu."
"Ini aneh," gumam Sophia.
"Apa yang aneh?"
"Yang aku tahu dr.Allarick memiliki selera wanita yang tinggi."
---
Ig : @alzena2108