Chereads / Oh Baby (Romance) / Chapter 54 - Bab 54

Chapter 54 - Bab 54

Vote sebelum membacašŸ˜˜

.

.

Sudah seminggu sejak kepulangan Sophia dari rumah sakit, kini Sophia lebih banyak melamun dari sebelumnya. Pikirannya terus menyeret alam sadarnya untuk mengingat kembali masa masa dimana dia berdarah. Sophia tidak bisa ditinggalkan sendiri, dia sering kali tiba-tiba berteriak dan memeluk perutnya erat.

Beberapa orang kepercayaan Rose selalu menemani Sophia di apartemen, tentu saja mereka adalah seorang terapis. Sophia selalu saja menolak jika dia mengajaknya tinggal di mansion Rose, tidak ada pilihan lain kecuali menyuruh orang-orang terbaik menemani Sophia.

Pekerjaan Edmund sedang berada di puncaknya, dia tidak bisa meninggalkannya meskipun dia menginginkannya. Perusahaan Edmund bahkan kini bekerja sama dengan militer, yang memaksanya harus berunding dengan salah satu jendral untuk membangun rumah sakit umum khusu tentara yang sedang bertugas menjaga keamanan Negara. Rumah sakit yang tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh anggota tentara saja, tentu saja satu hari tidak cukup untuk menyelesaikan masalah itu. Dia selalu pulang saat istrinya sudah terlelap, kini Sophia memang selalu tidur lebih awal. Dan Edmund, dia mempercayakan semuanya pada Darla, perawat sekaligus psikiater. Edmund jug menempatkan kembali bodyguard di sekitar apartemennya untuk berjaga.

Malam ini Edmund pulang seperti biasanya, pukul 10 malam. Dilihatnya Sophia sudah tertidur lelap. Edmund duduk disisi ranjang kemudian mengelus kepala Sophia, dahinya mengkerut merasa tidak nyaman. Edmund mengusapnya lebih pelan hingga Sophia kembali memasang raut wajah normal.

Pria itu berdiri dan masuk ke kamar mandi, setelah membersihkan dirinya, Edmund turun ke lantai bawah menuju dapur. Dia membungkukan badannya melihat isi kulkas.

"Anda butuh sesuatu, SeƱor?"

Edmund menggelengkan kepala tanpa melihat siapa yang berbicara padanya, dia adalah Lucy, wanita yang bertugas memasak dan bersih-bersih. Sophia tidak ingin apartemennya menjadi ramai, jadi Edmund harus menyewa manusia yang bisa melakukan lebih dari satu pekerjaan.

"baiklah, Lucy, buatkan aku sesuatu," ucap Edmund melangkah lalu duduk di kusi yang ada di sana, menatap wanita yang sudah cukup tua menyiapkan makanan untuknya. Lucy membuatkan pasta dengan daging sapi rebus di atasnya, memasak itu bisa dalam waktu singkat untuk perut Edmund yang sudah lapar.

"Bagaimana keadaan Sophia hari ini?" Edmund mengunyah mals pasta itu, dia benar-benar merindukan makanan yang dibuatkan istrinya.

"SeƱora tidak lagi berteriak atau apapun, SeƱor. Dia juga ikut membantu pekerjaan saya beberapa kali."

Edmund mengangguk-anggukan kepalanya. "Jangan biarkan dia terlalu lelah, Lucy."

Wanita itu mengangguk. Edmund yang sudah merasa cukup kenyang meminum air putih sampai habis. Dia kembali melangkah menuju ke kamarnya.

Edmund merebahkan dirinya disamping Sophia yang tertidur menyamping menghadapnya. Dia mengelus wajah istrinya penuh kelembutan lalu mengecup bibir cantiknya.

"Maaf untuk luka ini." Edmund mengusap bekas luka pada dahi Sophia yang membuatnya selalu merasa sedih setiap saat.

"Cepatlah pulih seperti biasa, aku merindukanmu." Dia menyenggesekan kepalanya ke ceruk leher Sophia, mengirup aroma yang selama ini dia rindukan.

Sophia yang terbangun dari tidurya mengelus rambut Edmund. Pria itu memang selalu seperti ini setiap kali setelah pulang, Sophia terbiasa terbangun karena gangguan kecil ini.

"Aku merindukanmu," ucap Edmund membuat Sophia tersenyum dalam pejaman matanya.

"Aku juga." Sophia memeluk kepala Edmund dengan erat, pria itu semakin menyembunyikan wajahnya di leher istrinya.

"Bisakah?" Edmund bertanya dengan suara parau. Membuat Sophia terkekeh dan perlahan membuka matanya.

"Besok saja," ucap Sophia mengecup kening Edmund lalu kembali tertidur.

Sophia tertawa dalam hatinya saat mendengar Edmund menghela napas kasar.

***

"Morning," ucap Sophia saat mata suaminya terbuka. "Kenapa kau belum berangkat? Ini sudah siang."

Edmund ikut mendudukan dirinya, dia mengecup bahu telanjang Sophia sebelum mengelus perut perempuan itu dari belakang. "Ini sabtu, jika kau amnesia," ucapnya disertai kekehan kecil. Sophia tertawa geli saat bulu halus Edmund menggelitik lehernya.

"Astaga, aku lupa hari," ucapnya mengucek mata dan menyandarkan punggngnya di kepala ranjang, membiarkan Edmund mengangkat bajunya, pria itu merebahkan kepalanya di paha Sophia dan menghadap langsung perut Sophia yang membuncit.

"Berapa umurnya?" Edmund yang melihat perut Sophia bergerak itu tertawa.

"18 minggu," ucap Sophia mengelus kepala Edmund. "Kapan kau akan ambil cuti?"

"Kenapa aku harus ambil cuti?"

Kening Edmund yang berkerut membuat Sophia kesal, dia mengusap kening suaminya dengan kasar. "Jangan mengerutkan keningmu seperti itu, terlihat menyebalkan."

"Kau menganggap semuanya menyebalkan akhir-akhir ini," ucap Edmund memutar bola matanya malas. Dia memeluk kembali perut itu sambil mengecupnya beberapa kali.

"Edmund?"

"Hmmm."

"Bagaiman dengan Aurin?" Pikirannya teringat pada sahabatnya yang melindunginya waktu itu. Sophia tahu Aurin dipaksa oleh Lexi dan Jaden saat. Dan hal yang paling membuat Sophia merasa sedih adalah, Aurin kini tengah mengandung anak Jaden.

"Aku tidak menuntutnya sesuai perintahmu, Tuan Puteri."

Sophia tersenyum. "Dia sedang mengandung, Ed."

"Tapi dia berbuat jahat padamu." Edmund mendudukan dirinya, dia berdiri dengan rambut yang masih berantakan. "Jika kau berubah pikiran, aku bisa menuntutnya saat ini juga."

Sophia segera melemparkan bantal pada pantat Edmund saat pria itu melangkah menuju kamar mandi, dia tertawa di dalam sana sambil diguyur air shower. Sophia memang tidak menuntut Aurin, dia tidak bisa melakukannya apalagi saat tahu dia mengandung, dan hal mengejutkan lainnya, ibu Aurin meninggal empat setelah insiden penculikan Sophia. Kematiannya disebabkan karena serangan jantung, dan sdik laki-laki Aurin pergi ke luar negri setelah menerima warisan bagiannya.

Dia yakin kalau sahabatnya itu pasti hancur, ingin sekali Sophia menemuinya dan menenangkannya, tapi Edmund melarangnya keras untuk bertemu dengan Aurin. Suaminya berkata kalau ada seseorang yang sudah menjaganya. Dan tentang Jaden, pria itu masih koma, belum ada tanda-tanda dirinya akan bangun. Mungkin dia takut menjalani hukumannya yang begitu berat.

"Apa yang kau lamunkan?"

Sophia tersentak kaget saat Edmund melemparkan handuk basah padanya, pria itu tanpa malu bertelanjang dan memakai pakaiannya di depan Sophia.

"Kita akan ke mana hari ini?"

Edmund terdiam sesaat. "Ada beberapa berkas yang harus aku baca," ucapnya menangkap raut wajah kecewa pada istrinya. "Aku akan membawamu keluar nanti malam."

Senyuman Sophia kembali tercipta, dia melemparkan kembali handuk milik Edmund hingga mengenai wajahnya. "Aku akan mandi," ucapnya sambil tersenyum.

Dan benar saja, seharian itu Edmund berada di ruangan kerjanya dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya. Dia membaca semua berkas itu dengan teliti, bahkan Sophia yang beberapakali mengajaknya bicara sempat diacuhkan. Hingga Edmund memutuskan mengunci ruangan kerjanya, dia berpikir dengan cara itu Sophia tidak akan masuk dan mengajaknya bicara. Edmund tidak mengkhawatirkan gangguan dari Sophia, dia hanya merasa tidak nyaman jika mengabaikan istrinya itu. Yang Edmund inginkan sekarang ini hanya satu, yaitu menyelesaikan pekerjaanya ini hingga dia bisa pergi keluar bersama Sophia.

Sophia menyalah artikan ruangan Edmund yang dikunci dari dalam, pikirnya pria itu tidak ingin dirinya masuk. Alhasil, Sophia merajuk hingga sore hari, membuat Edmund memijat pangkal hidungnya sambil menatap malaa perempuan yang kini sedang memunggunginya.

"Aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan," ucap Edmund pada akhirnya setelah dia menjelaskan semuanya. Sophia tersenyum, dia membalikan badan dan tersenyum pada suaminya. "Aku ingin makan di restaurant yang mahal hingga bisa melubangi dompetmu."

Sophia berteriak girang saat suaminya mengangguk setuju, dia segera pergi untuk memakai mantelnya. Makan malam kali ini dia bisa bersama dengan Edmund.

Pria itu menggelengkan kepala, tidak terpikir sebelumnya akan memiliki istrinya yang sangat muda, bahkan remaja. Tuhan memang adil, memberika dia istri yang muda, tapi dia juga menyelipkan sifat Sophia yang seringkali salah paham. Remaja, ya, seharusnya bukan di sini tempat Sophia. Edmund merasa miris dengan kehidupan istrinya, siumurnya yang masih muda dia malah mengandung. Namun, Edmund meyakinkan dirinya sendiri kalau itu setimpal, Sophia mendapatkan semua kebutuhannya dan dirinya mendapatkan Sophia.

Edmund mengendarai mobilnya menuju salah satu hotel miliknya. Sophia yang ingat dengan tempat itu menelan ludahnya kasar. "Kenapa kita kemari?"

"Tentu saja makan malam," ucapnya menggenggam tanga Sophia untuk masuk ke restaurant yang ada di dalam hotel tempat Sophia bekerja dulu. Inilah hotel tempat mereka pertama kali bertemu, tempat yang mengubah hidup Sophia selamanya.

Edmund memperlakukan Sophia seperti seorang suami yang sangat mencintai istrinya, dia memundurkan kusri untuk Sophia dengan tatapannya yang begitu mempesona. Sesuai janjinya, Edmund memesan makanan yang paling enak dan paling malah, membuat Sophia bersorak senang. Akhirnya dia bisa seperti wanita lain yang selalu menghamburkan uang suaminya.

Tanpa disadari, seorang pria yang duduk di kusri dekat jendela itu mengepalkan tangannya melihat Edmund dan Sophia tertawa bersama, hatinya membara ingin menghancurkan kebahagiaan itu.

Dia menelpon seseorang dengan pandangan tidak beralih dari sepasang insan yang saling menatap penuh kasih saying. "Lepaskan rantai rubah betina, saatnya dia berburu."

"Baik, Tuan."

***

Sophia menatap kosong kamar yang menjadi tempat pertamanya bertemu dengan Ednund. Bulu kuduknya terasa meremang mengingat kejadian waktu itu. Padahal dirinya dan Edmund sudah tidur bersama berulang kali, tapi melihat tempat ini mengingatkan Sophia akan kesakitan itu. Dia mengelus perutnya menenangkan diri sendiri.

"Kenapa kita harus menginap di sini?"

"Karena aku ingin mengubah kesan pertama kita di kamar ini."

Sophia tertawa geli saat Edmund mencium lehernya. Dia membalikan badannya dan langsung mentap mata biru yang nampak berkabut itu.

"Kau mabuk, Ed?" Sophia bertanya dengan nada khawatir, dia tahu bagaiaman prilaku pria itu ketika mabuk. Sulit dikendalikan hingga memperkosa sembarangan orang.

"Tidak, aku hanya merindukanmu."

Sophia tertawa keras. "Kau seperti maniak," ucapnya tertawa ketika Edmund membuka pakaiannya.

Mereka berdua larut dalam kebahagiaan masing-masing. Ruangan VVIP nomor 1 itu kini menciptakan dua kenangan bagi Sophia, yang buruk dan menyenangkan. Dia membiarkan Edmund menyentuhnya sebagaimana yang biasa mereka lakukan. Sling menyalurkan rindu satu sama lain hingga tertidur karena kelelahan.

Tepat saat jam satu malam, Edmund membuka matanya saat mendengar ponselnya bergetar. Keningnya berkerut melihat nomor baru yang menghubunginya. Tidak ingin membangunkan istrinya, dia mengangkatnya cukup jauh dari tempat tidur.

"Hallo?" Edmund mengerutkan kening tidak mendapatkan jawaban dari penelpon, tapi dia masih bisa mendengar suara desahan napasnya.

"Hallo?" ulang Edmund.

"Edmund."

Tubuh Edmund menegang mendengar suara halus yang selama ini dia rindukan. Tenggorokannya seakan tersangkut oleh sesuatu, Edmund tidak dapat berkata apa apa.

"Ini aku Sara, te echo mucho de menos, Querida.*"

----

*Te echo mucho de menos, Querida : aku sangat merindukanmu, sayang.

Ig : @alzena2108

ā¤