Chereads / Oh Baby (Romance) / Chapter 52 - Bab 52

Chapter 52 - Bab 52

Seorang pria mengepalkan tangannya hingga buku buku jarinya memutih, pandangannya terkunci pada layar yang menunjukan video Sophia di bawa oleh beberapa orang pria masuk ke dalam mobil asing. Video diputar berulang-ulang dan hanya menampilkan itu. Yang paling membuat Edmund marah adalah pelaku penculikan itu adalah teman Sophia sendiri, Aurin.

Helaan nafas lagi-lagi keluar dari mulut seseorang yang memperhatikan Edmund. Tangan Sergío mengusap pundak anaknya supaya berhenti hanya menatap layar itu dan segera istirahat. Edmund tidak tidur sejak kemarin malam, sejak hari di mana dia menyadari istrinya tidak ada di apartemen. Sore kemarin saat Edmund pulang ke apartemen lebih awal karena Sophia tidak bisa dihubungi. Awalnya Edmund berpikir kalau ponsel Sophia kembali remuk mengingat perempuan itu sangat ceroboh, tapi saat Edmund kembali ke apartemen, dia tidak menemukan Sophia di mana pun. Sesuatu yang salah terjadi. lampu apartemen tidak menyala dan saat Edmund pergi ke dapur, tidak ada masakan hangat yang seringkali Sophia sediakan. Satu lagi fakta yang membuat Edmund terkejut, ayahnya menelpon dan berkata kalau Benjamin masuk rumah sakit karena dipukul di beberapa bagian tubuh hingga tulangnya patah. Hal itu terjadi saat Benjamin hendak melaporkan hilangnya Sophia ke kantor polisi, dia dicegat beberapa pria berbadan besar yang memukulinya hingga babak belur

Mata Edmund memerah, dia langsung pergi ke apartemen Aurin. Sayang, ketika sampai di sana apartemen itu kosong. Edmund tidak bisa menemukan apa pun, bahkan pihak kepolisian hanya berhasil mendapatkan satu rekaman CCTV. Sementara sisanya, semua CCTV yang ada di sepanjang jalan telah diretas hingga polisi tidak menemukan petunjuk apa pun. Mereka menyimpulkan kalau ini adalah penculikan yang sudah direncanakan. Bahkan, pekerja di restaurant itu yang melayani Sophia dan Aurin meninggal satu jam sebelum polisi datang, tentu saja mereka mati karena dibunuh, terbukti dengan beberapa luka tusukan di perut mereka.

Hingga pagi ini Edmund belum juga menemukan petunjuk atau kabar dari pihak kepolisian. Mata-mata terbaik Edmun-pun belum bisa menemukan Sophia. Seseorang yang menculiknya benar-benar pandai menutupi jejak dan bersembunyi. Hampir 24 jam Sophia hilang, dan itu sukses membuat Edmund setengah gila. Dia mengkhawatirkan istrinya, bayinya. Anak yang ada di dalam kandungan Sophia adalah segalanya untuk Edmund.

"Ed, istirahatlah sejenak. Biar Dad yang menangani," ucap Sergío saat melihat Edmund menulis email untuk temannya yang sekaligus bekerja sebagai badan inteljen Negara, dia membutuhkan bantuannya.

"Tidak, aku tidak akan berhenti mencari mereka." Edmund memijit kepalanya dengan frustasi.

"Lexi kembali ke Los Angeles sebulan yang lalu."

Seketika Edmund memutar badannya, dia menatap Sergío penuh keterkejutan, matanya membulat dan jantungnya berpacu dengan cepat. Edmund berdiri dari duduknya dan berjalan menuju Sergío.

"Kenapa kau tidak pernah memberiatahuku, Daddy?!" Edmund berteriak sambil menatap kecewa Sergío.

"Aku tidak ingin membuatmu khawatir, aku mencoba mencari keberadaannya seorang diri, tapi aku belum menemukannya hingga saat ini."

"Fuck! Bagaimana dengan Marxel?"

"Dia jatuh sakit, itu yang membuat Lexi kembali kabur," ucapnya tidak sanggup menatap mata Edmund yang memandangnya kecewa.

"Dia seharusnya mati saja," gumam Edmund melewati Sergío begitu saja.

"Ed, mau kemana?" Pertanyaan Sergío tidak Edmund hiraukan, dia berjalan menuruni tangga hingga dengan cepat hingga bertabrakan dengan Rose.

"Ed istirahatlah, kami akan mencarikannya untukmu." Rose mencekal tangan Edmund yang sudah di ambang pintu. Pria itu menggeleng sambil melepaskan tangan Rose.

"Mereka dalam bahaya, Mom."

"Kami akan menemukannya. Istirahatlah, kau bisa sakit. Sarapan, kau belum makan sejak kemarin."

"Tetaplah di sini, Mom, mungkin Sophia akan kembali ke sini," ucap Edmund melangkah pergi dari sana, dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh tanpa arah. Sejak semalam Rose dan Sergío berada di apartemennya, membantunya mencari hingga saat ini. Hal yang membuat Edmund kecewa adalah Sergío yang tidak memberitahukan tentang Lexi padanya, dia yakin kalau Lexi juga terlibat dibalik penculikan istrinya itu.

Edmund yang berkendara terlalu cepat itu hamper saja bertabrakan dengan mobil lain, dia memilih menepi sesaat lalu memukul-mukulkan kepalanya pada setir mobil. Mata Edmund memerah, buliran air mata itu mendesak untuk keluar. Ini pernah terjadi, Sophia pernah hilang saat itu. Namun, kini Edmund merasakan ketakutan berjuta kali lipat, dia takut sesuatu terjadi pada mereka. Dua orang yang kini sangat berarti baginya.

Saat ponselnya berdering dan menampakan nama Nicholas, Edmund langsung mengangkatnya. "Apa kau menemukan Sophia?"

"Tidak, Tuan, sa-"

"Apa kau bodoh?! Ini hamper 24 jam semenjak dia hilang, Nicholas!"

"Maafkan saya, Tuan," ucap Nicholas terdengar penuh penyesalan. "Tapi saya menemukan sesuatu, Tuan. Anda ingat tentang keluarga Blackstone?"

Edmund terdiam, dia teringat William Blackstone yang dipenjara seumur hidup karena mencuri asset perusahaannya yang ada di Zurich. Edmund juga ingat saat dirinya pulang dari pengadilan setelah menuntut William Blackstone, seorang wanita dengan pakaiannya yang berantakan bersumpah seluruh keturunannya akan membunuh semua orang yang dia sayang sampai semua keluarganya mati.

"Maksudmu William Blackstone?"

"Ya, Tuan. Kami berhasil meretas kamera keamanan di salah satu mansion milik mereka. Dan fakta mengejutkan, Lexi bersama anak dari William Blackstone."

"Dimana lokasinya?" Edmund segera menyalakan mobilnya.

"Los Angeles bagian selatan, tempat itu berada di hutan Amezoritas," jelas Nicholas yang membuat Edmund begitu puas.

"Dimana kau sekarang?"

"Dalam perjalanan menuju ke sana, polisi dan yang lainnya bersama kami," ucap Nicholas.

Edmund langsung memutuskan sambungannya, dia segera mengendarai mobil dengan kecepatan penuh menuju lokasi yang diucapkan oleh Nicholas.

***

Seorang wanita terus saja menangis tanpa henti, dia dipukul berkali-kali, wajah dan kakinya lebam. Namun, Aurin masih bertahan, dia meringkuk saat Lexi menendangnya. Tidak jarang Aurin memberikan perlawanan meskipun dirinya selalu berakhir dengan luka yang baru, wanita yang memperlihatkan wajah marah padanya itu selalu memukulnya tanpa henti sejak semalam. Hal ini dikarenakan Aurin mencoba melindungi Sophia semalam, dia memukul Jaden hingga mereka berdarah di bagian kepala.

"Sudah cukup." seorang pria menarik pinggang Lexi mencoba menjauhkan dari Sophia yang sudah terkapar tidak berdaya di pojok ruangan.

"Ini masih berjalan." Lexi melepaskan tangan Jaden dan menatapnya tajam.

"Dia sudah menjalankan tugasnya." Jaden mencoba menarik tangan Lexi, tapi wanita itu menjauhkan tangannya, dia menjambak lagi Aurin dan melemparkannya ke dinding.

Jaden yang semakin murka menarik Lexi tangan Lexi dengan kuat. "Dengar Lexi, aku yang berkuasa di sini. Aku mampu tanpamu, jika kau terus membantah perkataanku maka pergi dari sini. Ingat, aku hanya memerlukanmu untuk memukul Sophia," ucap Jaden lalu melemparkan Lexi ke luar ruangan itu.

"Kalau begitu buka kode pintu kamar itu," ucap Lexi menahan jaden yang hendak melangkah mendekati Aurin. "Aku tidak bisa menyiksa Sophia jika kau menguncinya. Dia pasti terkejut melihatku ada di sini."

"Belum saatnya," ucap Jaden tidak menghiraukan lagi teriakan Lexi yang memanggilnya, dia mengangkat tubuh lemah Aurin dan membaringkannya di atas ranjang. Tangan Lexi terkepal melihat adegan itu, entah mengapa kini dia lebih tertarik dengan Jaden daripada dengan Edmund. Dia mendengus kesal sebelum pergi dari sana.

Jaden membawa kotak obat untuk mengobati luka-luka yang Lexi berikan pada Aurin. Desahan kesakitan keluar tiap detik dari bibir Aurin, dia memandang Jaden menatap penuh penyesalan yang sangat mendalam.

Saat Jaden akan beranjak pergi, Aurin menahan tangannya. "Hentikan ini, Jaden, hentikan semuanya," ucap Aurin dengan air matanya yang berjatuhan.

Jaden terdiam, dia mengusap kepala Aurin pelan. "Aku harus menuntaskannya, Aurin," ucapnya keluar dari kamar itu.

Jaden menyandarkan tubuhnya pada pintu kamar Aurin sesaat, dia memejamkan matanya sebelum kembali melangkah menuju kamar tempat Sophia berada. Jaden memang belum menyentuh Sophia lagi setelah menyayat dahinya, karena Aurin melindunginya. Saat Aurin dibawa Lexi, pikiran Jaden menjadi kacau. dia memilih mengunci Sophia yang masih terikat dan mengamati Aurin yang tengah disiksa oleh Lexi.

Jaden memasukan kode untuk membuka pintu itu, di sana Sophia masih terikat lemah tidak berdaya, bibirnya ditutupi oleh solasi yang tebal. Jaden mengambil pisau yang ada di nakas lalu memainkannya sambil mendekat kea rah Sophia.

Perempuan itu menatap Jaden dengan air mata yang berjatuhan, darah pada keningnya sudah mengering dan itu membuat Jaden tersenyum senang. dia akan membuat luka baru lagi.

Jaden mendekati Sophia dan membuka solasi yang menutupi mulutnya. Isakan kecil dapat Jaden dengar ketika mulutnya terbebas.

"Sophie, kau tahu aku sangat menyayangimu seperti adikku, tapi saat kau memutuskan menjadi bagian keluarga D'allesandro, maka saat itu kau juga memutuskan menjadi musuhku," ucap menempelkan pisau itu pada pipi Sophia.

Perempuan itu menangis semakin kencang. "Jangan sakiti aku, Jaden."

Suara ketukan high heels terdengar begitu nyaring, Jaden menengok kebelakang dan terlihat disana wanita berpakaian sexi sedang melihatnya dengan sangat senang. Mata Sophia semakin memanas melihat wanita itu, Lexi yang tahu tatapan Sophia mulai mendekatinya untuk memberikan ketakutan yang lebih mendalam lagi.

"Lama tidak bertemu denganmu, Cantik." Lexi memegang bahu Jaden mengisyaratkannya pria itu untuk berdiri. Jaden menjuh beberapa langkah dan membiarkan Lexi yang mengambil kendali, dia berjongkok sambil tersenyum pada Sophia.

"Oh lihatlah sekarang wanita yang Edmund puja tidaklah berdaya." Lexi memainkan rambut Sophia kemudian menjambaknya secara tiba-tiba.

"Akkhh..!" Sophia berteriak saat jambakan Lexi semakin kuat.

Wanita itu melepaskan tangannya pada rambut Sophia dan menatap tangannya dengan jijik. Disana tertinggal beberapa helai rambut Sophia yang segera Lexi buang sambil berteriak.

"Yaampun kau menjijikan." Lexi berdiri disamping Jaden yang masih memainkan pisaunya.

"Kau mau membunuhnya sekarang, Sayang? Aku ingin bermain hingga dia keguguran terlebih dahulu," rengek Lexi dengan manja. Jaden segera menyingkirkan tangan Lexi yang menempel pada tangannya.

"Terkutuklah kalian pasangan iblis, Lucifer akan memakan kalian dengan apinya, tidak ada pertolongan sama sekali. Membusuklah kalian dineraka! Kalian bahkan tidak lebih baik dari pada anjing rabies." Sophia mengutuk dengan sisa-sisa, bersamaan dengan air mata yang menetes.

Sophia tidak akan membiarkan siapapun membicarakan bayinya apalagi berniat jahat pada malaikat kecilnya.

Dua orang yang mendapat kutukan Sophia tertawa terbahak-bahak, bahkan Lexi sampai memegang perutnya karena sakit.

"Kunci pintunya," perintah Jaden dengan dingin. Itu kode yang menandakan Jaden akan segera memulai permainannya hingga korbannya tidak bernyawa.

Dengan senang hati Lexi mengunci pintu itu lalu kembali medekat pada Jaden. Pria yang berwajah malaikat berhati iblis itu mulai menancapkan pelan pisaunya pada lengan Sophia dan membuat sayatan di sana.

"Akhhhh!" teriak Sophia dengan darah baru yang keluar dari tangannya.

"Apakah itu sakit, Sophie?"

"Kenapa kau melakukan ini, Jaden?!"

"Karena suamimu yang memasukan ayahku ke dalam penjara, dia menuduhnya hingga William Blackstone mendekap ke dalam penjara seumur hidupnya."

"Jangan, Jaden, kumohon jangan sakiti aku."

"Kau pantas disakiti, bodoh!" teriak Lexi menatap tajam Sophia.

Jaden yang sedang tertawa itu berhenti karena mendengar suara tembakan dari lantai bawah, dia menghentikan kegiatannya lalu ke arah pintu dengan cemas. Jaden menatap Lexi seakan menyuruhnya memastikan apa yang terjadi. Dia mengangguk, berjalan ke arah pintu untuk melihat apa yang terjadi.

Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka akibat dobrakan, membuat Lexi terpental ke belakang hingga menyebabkan hidungnya patah dan berdarah.

Pria tampan yang baru selangkah memasuki ruangan itu menembakan senjata apinya tepat pada tangan Jaden hingga pisau yang dia pegang jatuh. Jaden yang tidak terima berniat membawa senjata apinya, tapi pria berjas itu melangkah dan menembak lantai sehingga Jaden menghentikan langkahnya.

Lexi mengambil pisaunya hendak menusuk pria asing itu dari belakang. Tapi sial, pria itu segera membalikan badannya dan menembak Lexi pada bagian kakinya. Lexi terjatuh, dia memegang kakinya yang berdarah sambil menjerit.

"Akkkhh!" Teriak Lexi penuh kesakitan sebelum akhirnya dia pingsan.

Pria itu kembali membalikan badannya dan kembali menatap Jaden dengan penuh amarah.

"Kau memangsa orang yang salah, dia memiliki tameng sekuat baja. Aku." pria itu memainkan senjata apinya, dia mengarahkan senjatanya tepat pada Jaden dan semakin mendekatinya. Jaden yang ketakutan berjalan mundur hingga dia tubuhnya hampir saja terjatuh karena dia dekat jendela.

"Ketakutan, huh?" ejek pria itu dengan senyuman miringnya.

"Jangann!" Teriak Aurin saat pria itu akan menembak jantung Jaden, dia mendorong Gunner hingga dia hampir kehilangan keseimbangan dan secara tidak sadar menarik pelatuknya. Peluru itu mendarat di kaki Jaden, membuatnya kehilangan keseimbangan hingga terjatuh dari jendela lantai dua.

"Tidak!" Aurin segera berlari menuruni tangga, mengabaikan para pria berjas yang memegang senapan sedang membereskan mayat yang berserakan. Dia menuju taman belakang di mana Jaden terjatuh, air mata Aurin berjatuhan karena khawatir yang sangat mendalam.

"Jaden!" Teriak Aurin yang melihat Jaden terkapar ditanah dengan darah bercucuran dari tubuhnya.

Aurin mengangkat kepala Jaden dan membaringkan di pangkuannya. Pria yang masih tersadar itu membuat air mata Aurin mengalir dengan deras. "Bertahanlah," ucapnya penuh permohonan.

Perlahan tangan Jaden yang berdarah terangkat dan mengusap pipi Aurin yang basah karena air mata.

"Ja.. jangan me….nangis la.. gi," ucapnya dengan lemah. "Ma..afkan aku, A..aurin." Aurin memegang tangan Jaden sambil menangis."Bertahanlah, Jaden."

"Maafkan, aku."

"Jika kau tidak bisa bertahan untukku maka bertahanlah untuknya." Aurin menempelkan telapak tangan Jaden pada perutnya. Pria itu membuka matanya sedikit lebih lebar dan menatap sambil tersenyum. "A.. aku mence..tak gol?"

Aurin mengangguk menggigit bibir bawahnya menahan tangisan.

"Kau tahu bagaimana kerasnya hidup tanpa seorang ayah, apa kau ingin anakmu juga begitu?"

Jaden tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Beberapa detik kemudian Jaden menutup matanya rapat.

"Jaden!" Teriak Aurin dengan penuh kesakitan, pria yang ada di pangkuannya ini tidak lagi bernyawa, dia telah kembali pada Tuhan sebelum melihat anaknya lahir ke dunia.

Diwaktu yang sama, Gunner melepaskan tali yang mengikat Sophia, wajah Sophia basah dengan air mata dan darah. Saat ikatan terbuka, Sophia langsung memeluk Gunner dengan erat dan menangis kencang.

"Sssttt.. aku disini, tenanglah, Sophie." Gunner mengelus kepala Sophia memberikan ketenangan padanya.

Sophia memeluk erat Gunner, tangisannya teredam sebab dia menyembunyikan kepalanya di dada bidang pria berjas itu. Tanpa permisi, Gunner mengangkat Sophia. Perempuan itu masih menggan menjauhkan wajahnya, dia memeluk leher Gunner dengan kepala bersembunyi di dada pria itu.

Sementara seorang pria dan beberapa anak buahnya baru sampai di mansion milik Jaden menatap darah yang bercucuran di atas lantai. Edmund segera menaiki tangga. "Sophia!" teriaknya menggema di seluruh mansion.

Langkah Edmund terhenti seketika saat dia melihat Gunner yang baru saja keluar ruangan sambil menggendong sosok perempuan yang tidak asing. Gunner, dia melangkah sambil tersenyum miring. "Dia milikku," ucapnya saat melewati Edmund.

Pria itu membalikan badannya perlahan, dia menatap punggung seorang pria yang membawa wanitanya. Pemandangan itu membuat matanya berkabut akibat air mata yang hampir jatuh. Dia gagal melindungi Sophia, dia terlambat.

Dengan cepat Edmund menuruni tangga dan kembali masuk kedalam mobilnya mengikuti mobil Gunner dari belakang. Detik itu juga Edmund tahu, dia satu langkah di belakang Gunner.

---

Love,

Ig : @alzena2108