Marisa mendekat pada mereka berdua dan secara mendadak tangan Syifa diraih untuk digenggam oleh Hali. Hal itu terjadi begitu cepat sampai-sampai si pemilik tangan agak linglung.
"Kalian berdua datang, dari siapa kalian mendapat kabar kalau aku akan menikah?" tanya Marisa membuka pembicaraan.
"Aku mendapat undangan jadi datang ke sini bersama Syifa," Hali membalas datar. Genggaman tangan pria itu jadi makin erat saja seakan gugup.
"Aku yang mengundang mereka," suara dari arah belakang Marisa menyita perhatian dari si mempelai wanita.
Tak jauh dari tempat berdiri tampak sosok seorang pria memakai pakaian selaras dengan Marisa. Dia adalah Sultan, mempelai pria.
Didekatinya dan menggenggam tangan calon istrinya. Senyum mengejek ditampakkan untuk Hali namun pria itu berdiam diri.
"Pria ini bukankah dia adalah orang yang sangat penting bagimu? Kita harus mengundang dia agar ikut berbahagia di hari pernikahan kita," lanjutnya enteng.
Masih dengan keadaan tenang Hali tersenyum namun tapi lain hal dengan Syifa. Jika saja ini buukan tempat umum, dia tak akan segan menendang wajah songong Sultan.
Apa dia mengundang mereka hanya untuk pamer nikah?
"Selamat ya untuk kalian berdua, aku berdoa semoga pernikahan langgeng sampai maut memisahkan," kata Hali.
"Oh ya aku juga membawakan hadiah buat kalian mohon diterima." sebuah bingkisan berwarna emas diberikan oleh Hali kepada Sultan dan Marisa.
Keduanya mengucapkan terima kasih sambil menerima yang kemudian di taruh dengan hadiah pemberian orang lain.
"Nikmati pesta ini sampai selesai, kami harus bersiap-siap sebab akad nikah akan dimulai," ujar Sultan. Pria berdarah Melayu itu berjalan meninggalkan Syifa dan Hali tentu bersama sang calon istri.
"Kau tak apa-apa?" tanya Syifa. Sorot matanya tampak khawatir sekarang tertuju pada temannya.
"Aku tak apa-apa," Hali membalas singkat.
"Yakin? Kalau tidak ayo kita pulang saja." permintaan Syifa dibalas dengn tatapan memicing tanda kalau dia sedang protes.
"Aku mau di sini sampai acaranya berakhir," kata Hali bersikukuh.
"Tapi apa kau tak merasa terganggu?" Syifa bertanya secara hati-hati. Ia tak mau gara-gara hal ini mental Hali akan jatuh.
"Iya jangan cemaskan aku." keras kepala sang bos tidak bisa dikalahkan sehingga sekretarisnya cuma bisa diam mendengar keputusan.
Pandangan kemudian melekat pada sepasang tautan tangan antara Syifa dan Hali. Wanita itu baru sadar betapa hangatnya telapak tangan nan besar ketika memeluk tangan mungil miliknya.
Perbedaan yang mencolok begitu jelas tapi menimbulkan suatu kenyamanan tersendiri. Akibat hal tersebut wajah Syifa memerah, dia mendongakkan kepala dan melihat Hali tidak terlalu memperhatikan.
"Ayo kita duduk di sebelah sana," pinta Hali mendadak. Ternyata dari tadi dia mengedarkan mata sementara sekedar untuk melihat kursi kosong.
Tangan Syifa yang masih digenggam mau tak mau mengikuti arah jalan Hali namun dengan lihai wanita itu menarik tangannya sendiri agar terlepas.
"Aku mau pergi ambil minum dulu, rasanya gerah sekali," Syifa memberi alasan dan pergi selekas mungkin. Detak jantung wanita berkulit kuning langsat tersebut jauh lebih cepat tidak seperti biasa.
Pikirannya cuma tertumpu dengan mengingat perasaan hangat nan menjalar. Bukannya tenang malah Syifa merasa dada makin bergumuruh seakan bisa melompat keluar dari raga.
Dalam kalut seseorang tiba-tiba menyentuh salah satu bahu. Ia membalikkan tubuh dan terkejut saat bertemu mata dengan seorang pria yang tak lain adalah Paul.
"Tu-Tuan Paul, anda juga datang ke pesta ini?" tanya Syifa mencoba agar tenang. Paul melihat gelagat aneh dari sekretaris Hali itu mengundang senyuman kecil sebab merasa agak terhibur.
"Ya aku diundang oleh pihak pria. Kami melakukan hubungan kerja sama, sudah selayaknya teman dekat." Paul menjawab.
"Kau datang bersama Hali?" sebagai balasan Syifa mengangguk.
"Oh begitu, Syifa apa kau tak punya waktu untuk besok?" wanita itu terperanjat namun akhirnya mengeleng.
"Kau mau tidak jalan-jalan? Aku bisa mengantarmu kok," ajak Paul dan dia berharap Syifa memiliki waktu.
"Tuan maaf tapi besok saya sama Bos juga mau jalan-jalan jadi tak bisa ikut nanti kapan-kapan." belum bergerak satu langkah tangannya kemudian diraih oleh Paul.
"Ayolah tidak lama kok. Baik aku mau pun Hali sama-sama mengajakmu jadi tak ada bedanya," bujuk Paul memaksa.
"Tolong lepaskan saya!" Paul masih terus saja memaksa namun Syifa tak sama sekali tertarik. Sekarang ia berharap bahwa ada seseorang yang menolongnya.
Tiba-tiba Hali datang menghampiri. Pria itu langsung menarik Syifa memisahkan sekretarisnya dari orang seperti Paul. "Kau apakan sekretaris saya?" nada terkesan dingin ketika Hali bertanya ditambah mata sedang menatap penuh amarah.
"Ah tidak cuma ingin mengajaknya benar, kan Syifa?" Paul mengedipkan mata ke arah Syifa. Jelas caranya membuat Syifa tak merasa enak bahkan atasannya pun terusik.
"Syifa apa kau menerima ajakannya?" kontan Syifa menggeleng, dirinya tak berani menatap Hali mau pun Paul.
"Dia sudah menjawabnya jadi jangan memaksa Syifa untuk menerima ajakanmu. Lagi pula kami berdua sudah sepakat mau berpergian begitu pesta ini selesai." suara MC menghentikan percakapan mereka bertiga.
Tanpa kata pamit Hali langsung menarik diri juga Syifa agar keluar dari situasi yang tak mengenakkan.
Kemudian mereka duduk berdampingan membaur dengan para tamu undangan meski demikian masih tercetak jelas raut wajah gelisah dari wanita berparas ayu itu.
Hali jelas menyadari dan sebagai seorang teman mau pun atasan dia harus menciptakan rasa aman. Oleh karenanya ia menggapai tangan Syifa.
Sama seperti yang dilakukan tadi, digenggam lagi dan Hali menyelipkan jari-jarinya di antara celah jari wanita berusia 23 tahun tersebut.
"Jangan khawatir, aku ada di sini," bisik Hali tepat di telinga Syifa. Lantas darah berdesir dengan hebat seiring dengan pipi yang memanas. Untuk kesekian kalinya, Syifa terpesona pada tindakan Hali.
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!