Bel istirahat akhirnya berbunyi setelah sekian lama jam mata pelajaran matematika. Lalu seperti seharusnya, Tasia dan kawan-kawannya pergi ke kantin untuk makan siang.
Tidak ada yang keberatan dengan keberadaan Hadyan yang nampak ingin bergabung ke dalam kelompok mereka.
Meski masih sedikit canggung, namun karena sifat Hadyan yang menyenangkan, ia mudah berbaur di dalam kelompok anak-anak rusuh itu.
Hadyan selalu mencari kesempatan untuk duduk berhadapan dengan Tasia. Hal itu, hanya Tasia yang merasakannya dan membuat dirinya sangat tidak nyaman, namun tidak sampai hati untuk mengungkapkannya karena takut dikira terlalu percaya diri. Ia juga berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa hal itu hanya kebetulan saja.
"Dengar-dengar, kau juga tinggal di komplek perumahan taman sari, ya?" Tanya Mark, dibalas oleh anggukan Hadyan.
"Rumah kami juga di daerah sana, loh. Kebetulan sekali, 'kan? Kita bisa bermain bersama nanti," Ucap Marya dengan tersenyum girang.
"Benarkah? Pantas saja saat itu aku sempat bertemu Tasia di komplek sebelum aku masuk ke sekolah ini. Kala itu, ia menolongku saat aku terjatuh dari motor." Tawa Hadyan. Lalu ia menoleh pada Tasia. "Kau masih ingat, kan, Tasia?"
Namun, senyuman di wajah manis itu hilang saat ia menyadari Tasia tidak berpartisipasi pada percakapan mereka. Bahkan, Tasia tidak menyadari pertanyaan Hadyan yang jelas-jelas duduk berhadapan dengannya.
Seakan ada api yang membakar kepala dan dada Hadyan saat melihat Tasia tengah sibuk bercanda berdua dengan Patra. Lagi-lagi, mereka bermain suap-suapan sambil tertawa-tawa.
Saat itu, Tata melihat kejanggalan pada ekspresi wajah Hadyan yang nampak geram. Hal itu semakin meyakinkan perasaannya bahwa anak baru itu menyukai sahabat semejanya.
"Tasia! Kau ditanya oleh Hadyan. Kalian bercanda sampai tidak ingat dunia!" Tegur Tata dengan nada bercanda.
Tasia tersontak kaget dan segera tersenyum kaku pada Hadyan. "Ah.. Maaf, Hadyan. Ada apa?"
Mendadak, suasana menjadi hening. Semua terkejut atas reaksi Hadyan yang memasang wajah super murka pada gadis polos itu.
'Oke. Mungkin Tasia ada benarnya,' Pikir Tata.
Ia tidak menyangka Hadyan yang biasanya berwajah sangat ramah bisa memasang raut muka seperti ingin membunuh orang seperti itu. Jangan-jangan sebenarnya laki-laki itu adalah seorang psikopat? Hal itu tentu sangat berbahaya.
"Wow.. wow.. kenapa wajahmu jadi begitu? Tasia bukannya sengaja tidak mendengarmu," Tegur Patra.
"Kau sangat suka bermain dengannya, ya?" Hadyan tidak menggubris Patra sama sekali. Ia menatap Tasia tajam.
"Jika iya, kenapa? Ada masalah?" Jawab Tasia tersinggung. Ia menyadari sikap Hadyan itu sangat tidak pantas kali ini dan ia juga yakin kali ini semua teman-teman pasti menyadarinya.
Tasia mulai sadar bahwa hal aneh yang ia rasakan dari Hadyan bukanlah keanehan biasa. Kini ia merasa Hadyan sudah melewati batasnya dan benar-benar menganggu kenyamanan hidupnya.
Patra menaikkan salah satu alisnya sambil menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulut Hadyan.
Perlahan raut wajah Hadyan mulai melunak. Ia tahu, dengan cara yang biasa ia gunakan sebagai seorang pangeran, ia tidak akan mendapatkan apa-apa selain kemurkaan dari para manusia ini. Terlebih, ia sedang dalam misi memenangkan hati Tasia. Tidak mungkin ia rela membuat Tasia benci padanya hanya demi sebuah ego dan kecemburuan.
Hadyan tersenyum tipis dengan wajah sendu. "Ah.. Maaf jika aku terlalu berlebihan. Aku berpikir bahwa kau terlalu membenciku sampai tidak mau meladeni pertanyaanku,"
'Ah? Jadi ini salahku?' Pikir Tasia tidak senang.
Tasia mengerutkan dahinya meski tetap mengulum senyum yang dipaksakan. "Oh.. Baiklah. Itu tidak masalah, Hadyan. Aku juga minta maaf karena sudah sering berprasangka buruk kepadamu. Maaf kau jadi berpikir bahwa aku membencimu."
Selang beberapa detik yang sunyi, segerombol tawa pecah dari mulut teman-temannya.
"Jadi ini yang sering kau ceritakan, Ta?" Tanya Jordi di sela tawanya. Tata mengangguk cepat berulang-ulang sambil terbahak.
Hadyan memasang wajah bingung, tidak mengerti apa yang lucu dari kejadian itu. Sedangkan Tasia yang menyadari maksud teman-temannya, hanya bisa tertunduk malu.
Tiba-tiba Marya merangkul Hadyan. "Tasia memang orang yang seperti itu. Di kelompok ini memang sangat aneh anak-anaknya. Jadi, kau jangan kapok bertemab dengan kami, yah!"
"Nah! Benar itu! Terutama Tasia. Dia itu anaknya memang suka paranoid tanpa alasan. Dan lagi, si Marya sangat suka menggoda laki-laki!" Sambung Mark sambil tertawa, mengundang Marya untuk melepas rangkulannya pada Haydan dan beralih untuk menjitak kepala bocah itu.
"Sudahlah! Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Ayo kita habisin makanannya," Potong Tasia sebagai alasan untuk menyudahi ejekan yang mengeroyokinya.
***
'Tatapan matanya membuatku merinding. Tiap ia melihatku, bahkan saat ia menatapku dari belakang, aku bisa merasakannya.
Semakin lama, aku semakin merasa tidak nyaman. Aku merasa terganggu. Bukankah kita harus jujur dan mengatakan apa yang membuat kita merasa tidak nyaman?'
"Hadyan, aku merasa kau selalu memperhatikanku. Bisa tolong dihentikan itu? Kau membuatku merinding."
"Hahaha! Kau terlalu percaya diri, Tasia! Untuk apa aku memperhatikanmu?!"
'Ah! Membayangkannya saja sudah membuatku sangat malu. Bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi? Mau ditaruh di mana wajahku?!'
"Tasia!" Bentak Marya hingga sahabatnya itu terlonjak.
"Ya?"
"Kau tidak mendengarku, yah?" Tanya Marya kesal hingga ia menghentikan langkahnya.
"Eh? A-aku dengar. Aku.. hanya malas menyahut karena tenggorokan agak sakit," Jawab Tasia bohong. Padahal, sejak dari tadi ia sedang melamun memikirkan Hadyan.
"Oh... Aku kira kau tidak mendengarkan curhatku," Marya kembali melanjutkan langkahnya.
"Jadi, kau itu menyukai Hadyan atau tidak?" Sambung Marya sambil menendang-nedang kerikil yang berserakan di sepanjang jalan menuju rumah Patra dengan sepatu merahnya.
"Hah?! Tentu saja tidak!" Jawab Tasia cepat dengan penuh keyakinan.
Marya tertawa lepas menanggapi ekspresi Tasia yang bagai mendengar berita ada sebuah meteor jatuh di tengah kota.
"Baiklah.. Baiklah.. santai saja menjawabnya. Hahaha!" Ucap Marya.
Tasia hanya menatap Marya bingung. Namun, mau tidak mau ia ikut tertawa. Sebenarnya, ia tidak mengerti apa maksud Marya tiba-tiba bertanya hal itu. Namun ia tau, apa pun pertanyaannya, pasti berhubungan dengan cerita Marya yang tidak ia dengarkan dari tadi karena melamun. Jadi, daripada sahabatnya itu mengamuk, lebih baik ia tetap diam dan ikut tertawa.