Ombak mengalun tenang malam itu. Laut terlihat memancarkan cahaya bulan yang bersinar terang sendirian di langit yang luas.
Jauh di kedalamannya, sebuah istana berdiri kokoh dengan seorang pangeran yang termenung sendirian di balkon istana, memikirkan bagaimana cara yang tepat memenangkan hati gadis pujaannya.
"Kau datang?"
Hadyan menoleh malas menanggapi suara itu. Rangin tersenyum jahil pada saudaranya.
"Jika ternyata aku datang hanya untuk mendapatkan ejekanmu, lebih baik aku pergi saja." Keluh Hadyan sinis.
"Hey.. aku belum mengatakan apa-apa." Tawa Rangin dengan memberikan pelukan singkat pada sudaranya yang sedang dilema itu.
"Jadi.. bagaimana perkembangannya? Apa kau mulai dekat dengan Tasia? Apa ia mulai menyukaimu?"
Mendengar pertanyaan Ragin, Hadyan hanya bisa menghela napas panjang dan dalam. Lalu dengan susah payah ia menggeleng. "Aku tidak mengerti mengapa sesulit ini bahkan hanya untuk bisa mengobrol dengannya. Ia penakut dan aku sering kali tidak bisa menahan emosiku sendiri."
Sedetik Rangin nampak menyinggungkan senyuman geli, namun dengan cepat ia sembunyikan itu dan menggembalikan wajah seriusnya.
'Selama ini Hadyan terlalu banyak memilih. Sekali dapat, ia mendapatkan yang sangat sulit.' Pikir pria bermata sayu itu. Di dalam hati, ia tertawa terbahak-bahak.
"Mungkin kau bisa menggunakan cara lama." Ucap Rangin.
"Cara lama?" Ulang Hadyan.
***
Tasia menarik selimut karena suhu di kamarnya semakin lama terasa terasa semakin dingin. Namun ia terlalu malas untuk keluar dari gumpalan nyaman selimut dan speri yang baru ia ganti hanya untuk meraih romote AC dari atas lemari kaca dan memencet tombol untuk menaikkan suhu.
Hingga akhirnya, ia terbatuk-batuk saat merasakan tenggorokannya tergelitik dan hidungnya makin dingin.
'Kenapa bisa sedingin ini? Padahal di luar tidak hujan. Yah.. lebih baik aku naikkan suhunya daripada besok aku malah demam.' Pikir Tasia.
Dengan rasa malas, Tasia menggantungkan satu per satu kakinya dari atas ranjang dan bersiap merasakan sensasi dingin yang mengagetkan dari ubin putih kamarnya yang dari tadi diterpa dinginnya suhu kamar itu.
"Hupp!"
'Loh? Kenapa tidak dingin.' Pikir Tasia.
Dengan bingung, Tasia melihat apa benda padat yang saat ini tengah ia pijak. Ia langsung berpikir tentang tas kulit yang dihadiahkan oleh teman-temannya di ulang tahunnya tahun lalu.
Mungkin ia lupa meletakkannya di lemari, dan entah mengapa benda itu bisa pindah ke dekat kolong ranjang.
Namun benda itu bukanlah tas kulitnya. Jika iya, itu adalah tas kulit terbesar dan terpanjang yang pernah ia lihat.
Kalau diperhatikan lebih seksama lagi, benda itu lebih seperti ular hitam raksasa yang menyembul keluar dari kolong ranjangnya.
"Arrgh!!!" Tasia berteriak takut.
Ia langsung melompat kembali ke atas kasur dan merapat ke tembok dingin di belakangnya. Kini, ia tidak dapat melihat ke sisi bawah ranjangnya karena ia sudah duduk merapat pada tembok dengan pikiran kacau.
'U-Ular? Tidak mungkin! Aku pasti bermimpi! Mana mungkin ada ular sebesar itu di dalam kamarku! Kecuali aku tinggal di hutan!' Pikir Tasia, berusaha berpikir logis. Lama-lama ia bisa gila.
Perlahan, Tasia meraih lampu meja dan memencet tombolnya hingga lampu itu memancarkan cahaya.
Kamar yang tadinya hanya bermodalkan cahaya rembulan dari jendela, kini menjadi lebih terang, setidaknya cukup terang untuk bisa melihat benda apa sebenarnya yang ada di bawah ranjangnya tadi.
Kamar terasa sangat sunyi, hanya terdengar suara jam yang berdetik dan AC yang berdengung. Dan juga, di telinganya sendiri, semua suara itu kalah oleh suara jantungnya yang berdegub tidak karuan.
Tasia melirik dari pinggir ranjang. Ia sangat penasaran apa yang tadi ia injak, namun masih ketakutan meski sudah berusaha berpikir logis dan positif.
'Hah?! Tidak ada apa-apa. Lalu apa yang aku injak barudan?' Bingungnya.
Mungkin benar ia sudah gila. Mungkin saat ia hanyut di lautan, tanpa sadar kepalanya terbentur batu karang hingga sekarang otaknya bermasalah.
Dengan rasa penasaran yang lebih tinggi bercampur bingung dan heran, Tasia melompat langsung ke arah pintu dan berlari kecil lalu menyalakan saklar lampu utama yang terletak di samping pintu tersebut hingga kamarnya menjadi terang benderang.
'Tidak ada apa-apa. Di kolong juga..' Pikir Tasia sambil melangkah kembali ke dekat ranjang dan berjongkok untuk memeriksa kolong tempat tidurnya.
Tidak ada apa pun, hanya kotak berisi koleksi novel-novel dan komik-komik yang sudah lama tidak ia baca.
'Hem.. tidak ad..'
"Guk! Guk! Gukk!"
Tasia hampir melompat kaget begitu mendengar suara anjing menyalak dengan sangat keras dari depan rumahnya.
"Anjing siapa itu? Subuh-subuh begini?! Rumah mana yang berani melepas anjingnya tengah malam begini di dalam komplek?" Gumam Tasia.
Sambil mengerutu kesal, Tasia melangkah ke jendela dan mengintip keluar. Benar saja, ada seekor anjing coklat berukuran sedang tengah menyalak keras sekali dari luar pagar.
Anjing itu terus menatap jendela kamar Tasia dan menyalak seperti ingin memangsa apa pun yang ada di balik jendela kamarnya. Ia menyalak seperti anjing gila, membuat dahi Tasia berkerut heran. Setelah mengamati sebentar, Tasia menyibak tirai jendela kamarnya agar tertutup.
'Lagi.. lagi-lagi sesuatu melihat kearah jendela kamarku,'
Whush!
Tasia sontak berbalik saat merasakan sesuatu dengan cepat berjalan melewati punggungnya.
"A-apa itu?! Hantu! Ya, sudah pasti hantu! Pantas anjing itu menyalak ke arah kamarku!' Serunya histeris di dalam hati.
Dengan cepat, Tasia melompat kembali ke atas kasur dan menarik selimutnya sampai menutupi dagu. Tubuhnya bergetar ketakutan dan kedinginan. Ia tidak sempat mengambil remote AC dan suhu semakin ruangan dingin.
'Aku takut! Ibu, tolong! Aku sangat merindukan kaluan! Aku takut hidup sendirian..' Tangis Tasia di dalam hati.
Ia terus menangis dalam diam dan terus mengaduhkan rasa takut dan rindunya kepada keluarganya yang sudah tiada.
Hingga akhirnya, perlahan suhu udara kamarnya sudah tidak lagi sedingin tadi. Semuanya berangsur hangat dan suasana tidak lagi mencekam. Tanpa sadar, Tasia sudah tertidur dengan keadaan kedua lampu kamar menyala terang.
***
Jika bisa memilih, Tasia sudah memilih mata minus agar ia bisa mengenakan kaca mata untuk menutupi sembab parah pada kedua matanya saat ini.
"Matamu kenapa? Kau nangis semalam?" Tanya Patra khawatir.
Tasia mengangguk lemas. "Tadi malam ada hantu di kamarku."
Bukannya prihatin, pernyataan Tasia malah ditanggapi oleh tawa teman-temannya. Ia tidak marah, karena sudah terbiasa atas perlakuan teman-temannya yang kejam.
"Hahaha! Matamu bengkak seperti itu hanya karena hayalanmu itu?! Karena kau takut hantu?!" Patra tidak dapat menahan kata-kata yang berloncat-loncatan gembira di dalam pikirannya.
"Astaga.. Aku masih tidak habis pikir.." Marya tidak sanggup berkata-kata lagi. Ia tau Tasia itu penakut, tapi tidak sampai separah itu hingga menjadi konyol.
"Tidak semua hantu berniat mengganggu, Tasia."
"Hah?!"
Serentak semua menganga pada kalimat yang dilontarkan Hadyan. Ternyata ia sebelas dua belas dengan Tasia, hanya saja Hadyan pemberani dan tidak berlebihan.
"Tidak aku sangka kau juga sangat percaya terhadap hal semacam itu, Hadyan." Tawa Jordi melihat wajah serius Hadyan. Tampaknya pria itu tidak sedang bercanda.
"Dia sama saja.." Patra terkekeh bersama Mark.
"Aku percaya. Dan aku tahu bahwa hal itu benar-benar ada." Jawab Hadyan sebelum kembali menoleh pada Tasia dengan wajah iba "Tidak perlu takut. Tidak semua yang kau kira jahat, benar-benar jahat dan akan menyakitimu."
Semua kembali tertegun ketika Hadyan membuka botol air mineral yang masih tersegel dan memberikannya pada Tasia "Suaramu serak, kau harus banyak minum."
"Ehem!"
"Swit.. Swit!"
"So sweet!"
Semua mulai riuh menggoda karena merasakan ada getaran-getaran istimewa dari kedua muda mudi itu.
"Kalian itu apa-apaa?!" Omel Tasia karena malu.
Untungnya, mata Tasia memang sudah bengkak. Begitu pula dengan hidungnya sejak awal sudah merah. Jika tidak, mungkin rona di wajahnya akan terpampang jelas sekarang.
"Aku juga haus, Hadyan. Apakah hanya Tasia yang kau beri minum? Uhuk! Uhuk!" Marya memberikan sandiwara terbatuk-batuknya yang berlebihan.
"Heeh! Cari perhatian saja kau!" Ejek Mark gemas.
"Terserahku! Kenapa kalian yang repot?" Sahut Marya sebelum memeletkan lidahnga.
Hadyan tertawa dan memberi sebuah es teh manis botol kemasan rasa melati dari kantong belanjaan yang sama. Ia membuka segel dan tutupnya lalu memberikan botok itu kepada Marya yang tersipu kegirangan. "Kau itu, lucu sekali, ya,"
"Aw.. Trimakasih Hadyan. Kau baik sekali. Kau itu adalah.. pacar idaman setiap gadis." Puji Marya dengan gayanya yang centil.
Ia tawa dan ejekan teman-temannya yang jijik atas tingkahnya yang seperti wanita penggoda. Meski begitu, mereka tidak pernah memandang rendah sosok Marya.
'Tapi aku juga mau teh..' Pikir Tasia dalam hati saat melihat Marya yang dengan asik meneguk teh botol dingin itu.