Hari itu, jadwal piket sudah diatur ulang karena adanya murid baru. Jadwal baru itu membuat bibir Tasia menjadi manyun.
Ya, Tasia mendapat giliran piket di hari kamis. Dan lebih parahnya lagi, di dalam daftar piket kamis terdapat satu nama yang cukup mengganggunya, yaitu Hadyan.
"Ayolah, Nadine.. Aku ada les biola setiap hari kamis." Rengek Tasia, berupaya membujuk gadis berkukit coklat eksotis itu.
"Maaf, Tasia. Tidak bisa. Hari kamis aku juga ada jadwal di klub basket." Tolak Nadine.
"Lagipula les biolamu dimulai jam 7 malam, 'kan? Seharusnya tidak bentrok jika kau piket di sekolah. Selesai piket paling lama sampai jam 5 sore dan perjalanan ke rumahmu kurang dari satu jam." Tata menghitung-hitung.
Tasia melirik Tata sinis. 'Dasar bocah menyebalkan.'
"T-tapi tetap saja. Aku lelah baru saja pulang harus langsung berangkat lagi. Lagipula jarak dari rumahku menuju ke tempat les bisa sampai satu jam."
"Pasti bisa, kok. Kau naik ojek online saja. Toh, ongkosnya tidak beda jauh dari angkot. Masalahnya, tidak ada lagi yang mau bertukar jadwal denganmu." Ucap Sandra yang dari tadi ikut mengobrol bersama mereka. Kebetulan ia juga kebagian jadwal piket hari ini.
Diam-diam, Hadyan mendengarkan pembicaraan mereka.
'Piket ya? Tanpa Patra, ini kesempatan bagus bagiku untuk mendekati Tasia.'
***
"Kita duluan, ya, Tasia!" Tata dan yang lainnya melambai padanya.
"Tenang saja, Sia. Aku sudah minta Hadyan untuk membantumu lebih banyak," Ucap Marya bangga.
Tasia membalas lambaian teman-temannya dengan senyum masam. Berkali-kali, ia berdecak jengkel.
'Dasar Marya. Ia bicara seakan Hadyan menurut sekali padanya. Lagipula aku tidak butuh bantuannya jika hanya sekedar untuk piket. Memang apa susahnya membersihkan kelas?' Gerutu Tasia di dalam hati.
"Dah, Hadyan! Jangan lupa pesan-pesanku, yah!" Teriak Marya lagi.
Diam-diam, Tasia meliriknya sebal. Sedangkan Hadyan tersenyum dan mengangguk pada Marya.
Lalu Tasia segera berbalik untuk masuk ke dalam kelas dan mengambil sapu yang digantung di dekat lemari.
"Aku akan menaikkan kursi," Ucap Hadyan.
"Oke," Jawab Tasia asal.
"Kau tidak perlu mendengarkan permintaan Marya bahwa kau harus lebih membantuku. Ya, meskipun Tibet tidak masuk hari ini, kau tahu ini hanya piket yang tidak terlalu berat."
"Aku akan tetap membantumu, Tasia." Jawab Hadyan dari balik meja sambil memperhatikan Tasia yang mengajaknya bicara namun sama sekali tidak menatap wajahnya karena sibuk dengan lantai dan sapu.
"Aku tahu kau menuruti permintaan Marya. Tapi aku ini kuat dan mandiri, jadi aku bisa saja mengatakan pada Marya bahwa kau sangat membantuku. Dengan begitu kau tidak perlu repot-repot,"
"Ini bukan karena permintaan Marya. Aku memang akan membantumu meski dia atau kau memintaku ataupun tidak. Aku akan selalu membantumu. Mengerti?" Sahut Hadyan.
Tasia langsung menghentikan aktifitasnya dan menatap Hadyan dengan bingung sambil bertolak pinggang. Ada perasaan kaget sekaligus takut di dalam dirinya.
"K-kau itu.. seperti.. maniak, tahu? Maaf jika kau tersinggung." Jujur Tasia.
"Maniak? Apa itu?" Ulang Hadyan.
"Kau tidak tahu maniak, ya?" Tanya Tasia dan mendapat gelengan polos dari Hadyan.
"Em.. bukan apa-apa. Lupakan saja," Jawab Tasia dengan sunggingan geli di bibirnya.
"Apa ada yang lucu?" Hadyan ikut tertawa melihat ekspresi Tasia yang sangat terlihat menutupi tawanya. Sebuah lesung pipi terbentuk di pipi kanan gadis itu saat bibirnya berusaha keras menahan tawa.
Namun, Tasia akhirnya mengeluarkan tawanya. "Maaf yah, aku merasa lucu pada wajah kebingunanmu itu. Andai wajahmu bisa selalu seperti itu, bukan mengerikan seperti biasanya,"
"Benarkah? Jadi, selama ini menurutmu wajahku mengerikan seperti hantu?" Tanya Hadyan.
Tasia mengangguk dan semakin tertawa keras saat menyadari Hadyan sengaja membuat mimik aneh pada wajahnya. "Hey! Kau berlebihan! Aku tidak pernah bilang wajahmu seperti hantu!"
"Tapi wajahmu seperti baru saja melihat hantu setiap kali aku berbicara denganmu. Rasanya aku ingin mengenakan topeng saja. kau tau, kan? Topeng 'cepot'." Sahut Haydan.
"Nah.. itu lebih baik. Aku suka si cepot!" Tasia mengangguk-angguk setuju. Lalu mereka tertawa bersama.
"Aku rela membuat wajahku menjadi seperti apa pun demi membuatmu terus tertawa seperti itu," Ucap Hadyan.
Jantung Tasia langsung berdentum mendengar kata-kata itu. Lalu ia berdehem dan menjawab, "Aku bisa mati jika terus tertawa."
Tasia segera melanjutkan aktifitas menyapunya yang dari tadi tertunda karena bercanda. Ia berusaha menghindari menatap Hadyan.
Mereka membersihkan dan merapihkan kelas dalam diam, hanya beberapa kali saling meminta tolong dan berkoordinasi saat membereskan meja. Karena salah satu teman kelas mereka yang bernama Tibet tidak masuk, mereka harus merapihkan kelas bertiga saja.
"Aku saja yang menggesernya," Hadyan segera meraih meja terdepan yang miring akibat tersenggol saat lantai dibersihkan tadi.
Tasia mempersilahkan dengan mundur beberapa langkah.
"Tasia, soal kejadian semalam yang kau ceritakan itu.. Apakah kau takut sekali?" Tanya Hadyan tidak enak.
"Tentu saja aku takut. Rasanya aku bisa mati karena takut," Jawab Tasia langsung.
"Bolehkah aku tahu kenapa kau bisa sampai setakut itu? Jujur, aku sangat penasaran." Tanya Hadyan pelan.
"Entahlah. Sejak keluargaku meninggal, rasa takutku semakin besar terhadap berbagai hal, terutama ketika aku sendirian. Aku merasa, jika ada sesuatu yang ingin berbuat jahat kepadaku, maka tidak akan ada orang yang akan menolongku. Yah.. Itu hanya sebuah trauma psikologi. Teman-teman berkata bah..."
"Kau tidak akan mengalaminya lagi. Aku berjanji. Aku salah tentang dirimu," Potong Hadyan dengan menampakkan ekspresi aneh pada wajahnya.
"Ka.. kau kenapa? Lagipula itu tidak ada hubungannya denganmu. Kecuali kau paranormal," Sahut Tasia bingung.
"Ma.. maksudku, kau harus percaya bahwa kau tidak akan mengalami kejadian seperti malam itu lagi. Dan, aku turut berduka atas meninggalnya keluargamu. Aku harap, aku tau lebih awal, sehingga aku bisa lebih mengenalmu sebelumnya." Jelas Hadyan agak terbata.
"Y-ya. Terimakasih," Jawab Tasia bingung.
Hadyan terlihat sangat ambigu bagi Tasia. Omongannya dan cara bicaranya aneh.
'Rencana macam apa ini, Rangin?! Aku malah menyiksa gadis yang aku cintai!' Geram Hadyan dalam hati.
"Teman-teman, kalian sudah selesai belum?" Tanya Sandra.
"Tinggal menaikan beberapa bangku lagi ke atas meja. Kau sudah mau pulang?" Tanya Tasia.
Gadis pendiam dengan suara imut itu mengangguk. "Papaku sudah menunggu di depan. Aku juga sudah mengerjakan semua tugasku. Aku duluan, yah!"
"Jangan khawatir, aku akan menyelesaikan semua dengan cepat jadi kau bisa cepat pulang sekarang jika ingin," Ujar Hadyan. Ia tahu Tasia ingin cepat-cepat pulang, meski ia tau hal itu untuk menghindari dirinya.
"Tidak apa-apa. Jangan terburu-buru, nanti kau malah.."
Brugh!
Salah satu bangku terjatuh dari atas meja karena tersenggol oleh lengan Hadyan. Tidak disangka tenaganya cukup besar hingga senggolan lengannya saja mampu menggeser bangku sekolah mereka yang cukup berat.
"Padahal aku belum selesai bicara, tapi sudah kejadian! Aku sudah bilang padamu, tidak perlu buru-buru begitu!" Omel Tasia, segera membantu merapihkan bangku yang terjatuh itu.
Bukannya menyesal, Hadyan malah tertawa geli. "Aku tidak tahu kau bisa galak begini."
Tasia sedikit tersipu. Tidak biasanya ia memperlihatkan sisi galaknya pada orang yang baru ia kenal, bahkan pada teman-temannya sendiri pun jarang ia tunjukan.
"Kau membuatku kesal." Tasia mendengus.
"Aku tidak sengaja, Tasia," Hadyan tertawa lagi. Ia merasa sangat gemas ingin mengusap kepala gadis itu, namun ia harus menahan diri.
"Kalau dipikir-pikir, aku selalu melakukan hal ceroboh di depanmu. Saat itu aku juga terjatuh dari motor di hadapanmu. Dan kau selalu menawarkan bantuan padaku." Tutur Hadyan.
"Tentu saja aku akan membantu. Mana mungkin aku meninggalkan orang yang sedang kesulitan begitu saja?" Sahut Tasia.
"Kau benar. Tidak mungkin gadis dengan hati sepertimu membiarkan orang lain kesusahan. Terlebih seorang anak kecil," Gumam Hadyan setengah melamun.
"Anak kecil?" Ulang Tasia.
'Apa hubungannya dengan anak kecil. Dasar pria aneh.' Pikirnya.