Pagi itu, Tasia merasa bahwa dirinya sedikit berbeda dibanding pagi-pagi biasanya.
Ia mengenakan seragam sekolahnya dengan bayangan bahwa ia adalah seorang ditektif berjubah panjang yang mengenakan topi dan kacamata hitam.
Bahkan, ia membeli sebuah buku catatan dengan sampul kulit cokelat imitasi dan pena hitam legam yang dapat tersambung pada pembatas buku tersebut seharga 115.000 ribu rupiah. Gadis itu memang konyol.
Sesampainya di sekolah, Tasia bertekad bulat untuk memata-matai Hadyan seharian sampai segala sesuatunya menjadi jelas dan kasusnya selesai.
Ia akan menangkap basah pria itu. Menangkap basah bahwa Hadyan bukanlah anak SMA biasa. Dan pasti memiliki hubungan dengan segala kejadian aneh yang Tasia alami akhir-akhir ini.
Semoga saja dirinya benar-benar masih dalam kondisi waras, alias tidak gila. Karena di dalam hati, Tasia sangat yakin bahwa ia tidak gila.
Tasia datang pagi-pagi sekali, dan itu adalah suatu hal yang bukan menjadi kebiasaannya. Namun ia berniat menulis catatan pembuka dan poin-poin penyelidikan pada buku catatan mahal kesayangannya karena ia lupa melakukannya tadi malam karena ketiduran.
"Wah? Nak Tasia tumben sudah datang pagi-pagi? Ada apa ini?" Sapa Pak Rahmat dengan menghentikan aktifitasnya menyapu halaman sekolah.
"Pagi, Pak Rahmat. Tak ada apa-apa, Pak. Saya bangun terlalu pagi hari ini," Sahut Tasia dengan sedikit berbohong pada Pak Rahmat yang kemudian mengangguk-angguk.
Tasia melangkah ringan menyebrangi lapangan basket untuk mencapai kelasnya sambil bernyanyi-nyanyi. Ternyata benar kata ibunya dahulu: Bangun lebih pagi akan membuat perasaan kita lebih ceria.
Sekolah masih sangat sepi dan bau segar rumput yang baru saja dipotong semerbak memenuhi indra penciuman Tasia. Namun langkah riang itu terhenti ketika ia mendapati Hadyan ternyata tengah duduk sendirian di dalam kelas. Ternyata ada yang datang lebih pagi dibanding dirinya.
'Mimpi apa aku semalam hingga bertemu dia pagi-pagi begini?' Pikir Tasia tidak senang.
Dalam sekejap, semua rencana yang telah ia susun selama perjalanan ke sekolah gagal total.
Tasia memanyunkan bibir dan langkahnya berubah yang tadinya ringan menjadi langkah karet tua. Niatnya untuk mencatat di buku mahalnya itu tidak jadi ia lakukan karena target sasaran sudah berada di depan matanya dan ia tidak mau rencananya terbongkar bahkan sebelum setengah jalan.
"Tasia? Kau sudah datang? Pagi sekali," Sapa Hadyan yang bangkit dari kursinya dengan riang gembira.
"Ah? Iya. Aku bangun terlalu pagi tadi," Balas Tasia kikuk sambil mengisi tempat duduknya. Rasanya belum apa-apa energinya sudah terkuras.
Namun Tasia tidak mau patah semangat. Ini kesempatan bagus. Tasia harus mendekati Hadyan selagi ia tidak dikelilingi oleh teman-teman mereka yang bertingkah bagai bebek kelaparan. Sangat berisik dan menganggu.
Hadyan segera melangkahkan kakinya dan mendekati tempat duduk Tasia. Bahkan sebelum Tasia sendiri yang mendekatinya, pria itu bagai motor yang kelebihan bensin hingga langsung tancap gas tanpa menunda-nunda.
"Kau agak pucat. Kau tidak apa-apa?" Hadyan memberikan sebuah teh dingin kemasan botol kepada Tasia.
Gadis itu menggeleng. "Aku tidak apa-apa,"
Hadyan tersenyum lembut. "Setidaknya minum ini dulu. Kau akan merasa lebih baik jika minum yang manis-manis. Kalau dilihat-lihat, menurutku wajahmu seperti orang yang sedang banyak pikiran."
Hadyan membuka tutup botol teh yang masih tersegel itu dan menyodorkannya pada Tasia yang menatapnya jengkel. Jelas-jelas pria itu yang membuat dirinya banyak pikiran.
Akhirnya Tasia mengala napas dan menerima teh botol itu sebelum minumnya beberapa teguk.
Tiba-tiba, Tasia merasakan sebuah De Ja Vu. Rasanya ia pernah mengalami kejadian sama seperti ini entah dimana dan entah kapan. Namun, pikiran itu cepat-cepat ia singkirkan. Ada hal lebih penting yang harus ia kerjakan, yaitu mencari topik yang bisa menjurus ke pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Hadyan.
"Oh ya.. Bagaimana kemarin? Kau tidak terlambat ke kelas biolamu, 'kan?" Tanya Hadyan lagi. Tampaknya Tasia tidak perlu berjuang keras.
Tasia menggeleng. "Tidak. Sebenarnya aku tidak jadi pergi ke tempat les kemarin,"
"Kenapa? Apa kau sudah terlambat? Seharusnya kau menerima tawaranku untuk mengantarmu pulang kemarin. Lebih cepat naik motor daripada angkot." Ujar Hadyan, mengingat sebelumnya ia ingin mengantar Tasia karena rumah mereka cukup dekat. Tapi gadis itu dengan sangat keras kepala menolak mentah-mentah ajakannya.
"Bukan.. Bukan karena itu. Aku tiba-tiba merasa kurang enak badan dan akhirnya memutuskan untuk istirahat saja," Jawab Tasia tergesa. Ia merasa tidak enak hati ketika mengingat kejadian kemarin saat menolak tawaran Hadyan yang menurutnya cukup ketus saat itu.
"Kau sakit? Pantas saja sekarang wajahmu pucat. Kenapa sekarang kau masih masuk sekolah? Apa kau sudah minum obat? Mau aku antar pulang?" Tanya Hadyan khawatir dan segera menarik kursi untuk duduk berhadapan dengan gadis incarannya itu.
"Aku ti.. " Tasia termenung kaget saat Hadyan menyentuh kening dan pipinya bergantian untuk merasakan suhu tubuhnya.
Seketika itu juga, wajah Tasia menjadi panas dan pipinya merona merah. Jantungnya berdebar tidak karuan karena bereaksi pada perlakuan tanpa ijin itu.
Tasia segera memundurkan posisi duduknya untuk menghindari tangan Hadyan dan menundukkan wajah agar pria itu tidak melihat kondisi wajahnya sekarang.
'Pasti wajahku merah padam sekarang! Astaga, apa yang kau lakukan Hadyan?! Berani-beraninya kau!' Seru Tasia di dalam hati.
"Tanganmu dingin. Seperti es," Ucap Tasia jujur sekaligus menjadikannya alasan mengapa ia melakukan hal itu.
Hadyan menarik lengannya dan tersenyum. "Ya, suhu tubuhku memang dingin. Tapi ternyata badanmu tidak panas. Itu bagus."
"Hadyan, maaf sebelumnya. Namun aku perlu memberitahukan ini padamu. Kau tidak boleh asal menyentuh orang lain seperti barusan, terutama kepada perempuan." Jelas Tasia.
Hadyan mengerutkan dahinya. "Aku melihatmu bermain saling menggelitik dengan Patra waktu itu. Bukankah itu dinamakan menyentuh?"
"Em.. Ya. Tapi Patra adalah sahabatku. Kami sudah saling mengenal sejak lama, sejak kami masih kecil sehingga kami sudah sangat dekat sekarang." Jelas Tasia agak tersingung. Memangnya dia siapa, bisa mempertanyakan dengan siapa saja ia boleh bermain?
'Manusia ini.. Dia membuatku kesal! Tahan dirimu Hadyan. Kau berada di dunia manusia sekarang. Tahan dirimu!
Baiklah. Kau bisa katakan itu sekarang Tasia. Tunggu saat kau sudah menjadi permaisuriku nanti.' Pikir Hadyan geram.
"Patra, ya.." Gumam Hadyan sambil berusaha meredakan amarahnya yang bagai api yang sedang meletup-letup di dalam gunung yang siap meletus. Jika ini area perang, mungkin kondisi sekolah ini sudah porak poranda sekarang.
Tasia yang kembali teringat akan misinya, segera mencari-cari pertanyaan tepat yang dapat ia gunakan untuk mengorek secercah informasi dari Hadyan.
"Hadyan?" Panggilnya, menyadari bahwa kawan di hadapannya itu sedang termenung sendiri.
"Ya, Tasia? Maaf aku melamun," Jawab Hadyan.
"Apakah kau menyukai ular?" Tanya Tasia dengan nada suara menurun, mengikuti keberaniannya.
"Ular? Tentu saja. Mereka kuat dan lincah," Jawabn Hadyan cepat. Tenntu saja karena ia adalah siluman ular.
Namun, Hadyan tidak sadar bahwa sikap Tasia agak aneh. Ia terlalu fokus terpesona pada kehadiran dan kecantikan gadis itu.
"Wah.. kau sangat menyukai ular ternyata. Apakah kau percaya bahwa siluman ular itu ada?" Lanjut Tasia.
Mata Hadyan langsung terbelalak mendengar pertanyaan cepat itu.
'Jangan-jangan, ia sudah tau.. Atau.. seperti yang dikatakan Kak Rangin.. Jangan-jangan Tasia..'