Tasia segera mendorong kasar tubuh Hadyan sebelum pria itu sempat melepaskan tangannya.
"Kau?! Apa yang kau lakukan di sini?! B-bagaimana cara kau masuk?!" Dengan sedikit berbisik, Tasia melayangkan pertanyaan penuh amarah sambil bergeser mundur, meski sia-sia karena punggungnya sudah menempel pada tembok.
Hadyan menghela napasnya panjang sebelum bangkit berdiri dari sisi ranjang dan melangkah menuju jendela.
"Aku tidak bisa melakukannya lagi. Aku tidak bisa terus berbohong demi menantimu untuk menyukaiku dengan sendirinya." Tutur Hadyan.
"Apa? Kau gila! Bagaimana cara kau masuk? D-dan kenapa bola matamu kuning seperti itu? Kau sedang sakit kuning?" Tanya Tasia terbata.
"Karena aku bukan manusia, melainkan siluman ular. Karena itu, aku bisa masuk ke kamarmu dengan mudah. Dan aku tidak tahu apa itu sakit kuning." Jawab Hadyan.
Tasia mengerutkan dahinya. Entah mengapa, ia mempercayai kata-kata Hadyan. "Kau bahkan menyalakan lampu tanpa menyentuh saklarnya. Ini mustahil! Kenapa kau melakukan ini? Apa kau manusia biasa yang bertapa menjadi siluman ular?"
Hadyan tertawa. "Jika aku manusia, untuk apa aku melakukan itu? Tidak ada gunanya sama sekali. Tidak ada satu pun petapa yang bisa menyamai kekutan pangeran siluman. Sebaliknya, aku siluman yang menyamar menjadi manusia."
Diam-diam, Tasia mencubit pahanya sendiri. Ia mengaduh kesakitan merasakan cubitan pedasnya sendiri. Ia tidak sedang bermimpi. Ini semua adalah kenyataan.
"Lalu kenapa kau mengincarku? Apa salahku? Aku bahkan tidak ingat pernah bertemu denganmu sebelumnya. Bahkan aku selalu menjaga sikap saat berpergian ke tempat-tempat sakral. Aku selalu sopan dan menghargai sekitar." Ungkap Tasia sambil berusaha mengingat-ingat kembali, barangkali ada sikap kurang ajarnya yang ia lupakan.
"Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak perlu berusaha mengingat mati-matian, karena ingatanmu saat kita pertama kali bertemu sudah aku hapus." Jelas Hadyan.
"A-apa? Kenapa.." Tasia terbata.
"Saat kau tenggelam dan hilang di lautan ketika kau berlibur ke pantai Slamaran, bukankah itu aneh bahwa kau masih bisa kembali lagi ke tepi pantai dalam keadaan selamat tanpa luka sedikit pun? Itu karena aku yang menculikmu. Aku jatuh cinta padamu dan membawamu ke istanaku untuk menjadikanmu permaisuriku." Jelas Hadyan dengan tersenyum miris. Lalu ia menundukkan kepalanya sedikit, membayangkan kembali kejadian saat itu.
"Lalu saat terbangun, kau menolakku sambil menangis histeris. Bahkan kau ketakutan melihat pelayan kerajaan dan menyebut mereka hantu. Kau meminta pulang, dan aku tidak mungkin menikahi seseorang secara paksa atau mengurungmu di istana, membiarkanmu membenciku. Karena itu, aku melepaskanmu."
Tasia menatap Hadyan nanar, berusaha mencerna hal yang teramat mustahil itu. Namun entah mengapa, ia merasa sangat mempercayai itu.
Semua yang diceritakan Hadyan justru terasa sangat masuk akal jika dikaitkan dengan kejadian-kejadian yang menimpa Tasia semenjak liburan itu.
Dan entah mengapa, sejak mendengar penjelasan Hadyan, ketakutannya pada pria itu mendadak sirna.
"Lalu kenapa kau menghapus ingatanku? Kau telah membuatku kebingungan selama ini. Sebenarnya apa rencanamu terhadapku?" Tanya Tasia.
"Aku melakukannya agar bisa mengikutimu pulang. Rencanaku adalah membuatmu jatuh cinta padaku sebagai sosok manusia dan nantinya kau mau ikut denganku ke istana. Tapi ternyata, ini tidak semudah yang aku kira. Dunia manusia terlalu rumit. Aku pikir akan lebih baik jika aku jujur padamu dan membuatmu mengerti agar kau tidak ketakutan dan mencurigai diriku lagi." Jelas Hadyan sendu, membuat dahi Tasia semakin mengkerut.
"Aku tidak akan ikut denganmu ke istana siluman itu, Hadyan. Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini? Aku bahkan tidak memiliki perasaan apa pun terhadapmu." Tutur Tasia pelan.
"Lihat luka lebamu itu?" Hadyan menunjuk pinggang Tasia.
"Tanda lebam itulah yang menutupi ingatanmu. Semakin itu pudar, perlahan kau akan mengingat ingatan yang telah aku hapuskan. Perjanjian yang aku buat sebelum menjadi manusia adalah saat lebam itu menghilang, aku akan kembali ke tempat asalku dengan atau tanpa dirimu." Jelas Hadyan.
Tasia meraba pinggangnya, tepat di mana lebam itu tertera. "Meski begitu, aku tetap tidak bisa ikut denganmu, Haydan. Rencanamu hanya akan menjadi sia-sia. Jadi.. maaf, sebaiknya kau menyerah saja dari sekarang dan kembalilah ke istanamu itu. Jangan buang-buang waktumu untuk orang sepertiku. Aku tidak mau kau menyesal nantinya." Jawab Tasia pelan.
Hadyan tersenyum lembut. "Kau boleh mengatakan itu. Tapi perjanjian tetaplah perjanjian. Aku akan pergi pada saat yang telah ditentukan. Tidakkah kau bersedia memberiku kesempatan?"
Tasia menggeleng pelan. "Aku tidak mungkin mencintai siluman, Hadyan. Dunia kita saja sudah berbeda. Aku minta maaf. Tapi jika memang kau harus menunggu hingga lebam ini menghilang, kita bisa menjadi teman sampai saat itu tiba. Bagaimana?" Ia tersenyum hangat, meski tersirat raut bersalah.
Rasa sakit itu kembali meremas hati Hadyan. Namun, ia tetap tersenyum karena tentu ia tidak akan menyerah. Ia juga tidak mau terlihat lemah di hadapan Tasia meskipun rasanya jantungnya terkoyak di dalam.
"Baiklah. Menjadi teman adalah awal yang bagus. Setidaknya kau tidak takut lagi padaku." Jawab Hadyan.
Tasia terkekeh geli. "Jangan mengejekku karena aku penakut! Dipikir-pikir, ini terasa sangat aneh. Biasanya aku takut pada hantu, tapi sekarang aku malah berteman dengan salah satunya. Bukankah ini lucu?" Ia lanjut tertawa.
"Ah!" Pekik Tasia tiba-tiba.
"Pipimu?" Tanya Hadyan khawatir, menyadari sisi pipi Tasia sedikit lebam membiru.
"Ah.. I-iya. Kau tau kejadiannya, 'kan? Tapi ini tidak apa-apa," Tasia segera mengambil cermin kecil dengan bingkai kepala kodok dari atas nakas untuk melihat kondisi pipinya.
Hadyan melangkah mendekat dan kembali duduk di sisi ranjang. "Lebamnya semakin membiru. Kau harus mengobatinya."
Pria itu menelisik wajah Tasia dengan teliti hingga membuat gadis itu kembali menggeser mundur posisi duduknya.
Hadyan tersadar akan itu dan segera mundur untuk menghormati Tasia.
"Ohya! Bukankah kau punya kekuatan mistik? Bisakah kau menyembuhkan ini?" Tanya Tasia antusias sambil menunjuk pipinya yang agak bengkak.
Hadyan tertawa kecil. "Tentu saja aku tidak bisa melakukan hal itu. Menyembuhkan? Hanya Yang Maha Kuasa yang dapat melakukannya. Untuk masalah semacam ini, aku hanya bisa memperbaiki apa yang sudah aku perbuat dan menyelamatkan orang tenggelam."
Tasia cemberut mendengarnya. "Ah.. Aku kira kau sehebat yang kau katakan dari tadi,"
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka dan tertutup dari luar kamar.
"Eh?! Sepertinya Nenek bangun! Cepat pergi! Ia akan masuk ke sini! Cepat!" Bisik Tasia panik, segera mengambil posisi tidur dan menarik selimutnya.
"Aku akan pergi. Berhati-hatilah padanya," Ucap Hadyan sebelum ia menghilang bersama cahaya lampu kamar yang ia matikan, lagi-lagi tanpa harus menyentuh tombol saklar.
Dalam sekejap, kamar Tasia menjadi hening seperti sedia kala. Ia mengerjap berkali-kali, menyisir seluruh sudut kamar dengan mata telanjangnya.
Hadyan benar-benar menghilang, seperti hantu. Tidak. Ia benar-benar adalah hantu.
Ternyata nenek Tasia hanya pergi ke toilet. Ia tidak mampir ke kamar cucunya karena jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi.
Hadyan menatap jendela kamar Tasia dari luar pagar. Ia berdiri di bawah bayangan tembok rumah warga yang tidak terkena cahaya lampu ataupun bulan. Ia memegangi dada dan kalimat-kalimat penolakan Tasia tadi kembali berdengung di telinganya.
'Aku tidak akan menyerah, Anastasia. Bahkan jika kau menolakku ribuan kali, akan aku gunakan jutaan cara untuk mendapatkanmu. Karena, aku tidak akan pulang tanpa dirimu.'